Gunung Raja Paksi, Jejak Sejarah 'Manusia Baja' dari Medan

Jakarta, CNN Indonesia --

Djamaluddin Tanoto, Kamaruddin Taniwan, dan Margareth Leroy pernah berbagi mimpi yang sama. Mereka ingin Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap produk-produk baja impor.

Perjalanan panjang PT Gunung Raja Paksi Tbk dan Gunung Steel Group dimulai dengan sebuah langkah berani. Di usia terbilang muda, ketiga sekawan itu membangun pabrik di Medan. Pabrik itu bernama PT Gunung Gahapi, bergerak di industri peleburan baja.

Di awal, mereka memiliki mesin Electric Arc Furnace (EAF) berkapasitas 5 ton. Bekal dukungan keluarga, serta dari pemerintah Sumatera Utara dan Bank Bumi Daya memantapkan langkah berikutnya, yakni mendatangkan mesin penggilingan baja dari Jepang pada 1972. Dengan mesin baru ini, kapasitas produksi bisa mencapai 500 ton.


Setiap langkah diambil dengan hati-hati, penuh perhitungan, dan berdasarkan riset. Tak lama, PT Gunung Gahapi berekspansi ke Jawa lewat PT Gunung Garuda yang didirikan di kawasan Cikarang Barat. Para founder juga teguh mengusung nilai-nilai kehormatan, integritas, transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme sembari menerapkan kualitas berstandar global.

Djamaluddin, Kamaruddin, dan Margareth tak kemudian hanya berpangku tangan. Mereka mencari ilmu ke banyak negara, rajin bertukar pikiran dengan figur-figur industri baja, hingga melakukan observasi perkembangan teknologi manufaktur baja di negara-negara tetangga. Salah satunya, ketika Djamaluddin Tanoto terlibat dalam IISIA (The Indonesian Iron and Steel Industry Association) dan SEAISI (The South East Asian Iron and Steel Institute) yang dibentuk pada 1971.

Keterlibatan itu melahirkan inspirasi yang membuat PT Gunung Garuda mulai memproduksi H-Beam (1986), disusul PT Gunung Raja Paksi yang memproduksi steel plate, iron concrete, round bars, deformed bars, wire rods, serta hot rolled coil (1991). Seiring kebutuhan baja yang makin tinggi di masa pembangunan dan perbaikan infrastruktur Indonesia, inovasi terus dilakukan, termasuk perubahan nama PT Gunung Naga Mas menjadi PT Gunung Raja Paksi (GRP).

Jalan yang dilalui ketiga figur di balik GRP tak selalu mulus. Mereka harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik, ditambah kondisi perekonomian dalam negeri yang menantang kala memulai usaha. Namun dengan tekad sekuat baja dan ketekunan, Djamaluddin, Kamaruddin, dan Margareth menemukan jawaban tantangan, antara lain lewat komunikasi dan pembagian ruang lingkup pekerjaan sesuai keahlian yang saling melengkapi.

Jika Djamaluddin aktif mempelajari perkembangan industri manufaktur baja di negeri tetangga dan membangun relasi dengan mitra, Kamaruddin memiliki peran penting di bidang produksi dan operasional. Sementara, Margareth menangani bagian pemasaran dan manajemen pegawai. Istri Djamaluddin, Limiwaty, turut terlibat di bidang komunikasi dan pengadaan.

Pada September 2019, GRP menggelar IPO dan memperoleh dana segar senilai Rp1,03 triliun. Sebesar 99,52 persen dana dipakai untuk melunasi utang pembelian aset tetap dan biaya operasi, sedangkan sisanya 0,48 persen untuk modal kerja.

GRP tak hanya menghasilkan produk baja berkualitas dunia. Mereka juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bergerak membangun sumber daya manusia berkompetensi tinggi dengan melibatkan ribuan ahli manufaktur baja dan pekerja dalam negeri. Bagi GRP, membesarkan industri manufaktur baja berarti menempa dan memberi bekal pengetahuan terbaik.

Di sisi lain, GRP turut berkontribusi mengurangi dampak pemanasan global lewat inisiatif program Go Green yang mencakup penghijauan, regenerasi daya, perawatan sirkulasi udara dengan alat kolektor debu, hingga daur ulang limbah.

Sebagai salah satu pemain utama industri baja Indonesia selama hampir tiga dekade, GRP tak berencana melambat. Tekad membangun industri yang besar dan berdikari dibuktikan dengan investasi pabrik Blast Furnace, Transformer, Light & Medium Section Mill, dan Billet Caster yang mencapai total Rp12 triliun. Investasi itu menjadi kunci industrialisasi, serta salah satu pilar perekonomian yang didukung Presiden Joko Widodo.

Kini GRP tiba di momen transisi kepemimpinan. Tugas generasi pertama membangun dan membesarkan GRP hampir usai. Sudah ada generasi lanjutan yang telah terlibat dalam industri sejak dini, di mana manajemen keluarga akan jadi lebih profesional. Perubahan yang diyakini menghembuskan angin segar, bahwa generasi kedua akan membawa GRP ke arah yang lebih baik sambil terus berkontribusi bagi negeri.

(rea)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/3rLJ9lZ

February 11, 2021 at 10:08AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Gunung Raja Paksi, Jejak Sejarah 'Manusia Baja' dari Medan"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.