Rudi (34) menengadahkan kepalanya, memandangi deretan lampion yang tergantung di sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro Singkawang, Kalimantan Barat dengan senyum. Meski di kelilingi hiasan yang sama setiap tahunnya, namun kekagumannya tak juga lekang.
Ia sebetulnya tak rela lampion akan segera diturunkan dari pusat kota karena Imlek telah berakhir. Pada Februari lalu, Rudi masih ingin menikmati benderangnya setiap sudut kota seperti tiga pekan belakangan kala Imlek menghampiri.
"Papa, lagi ngapa?" pertanyaan putranya, Juan, membuyarkan lamunan Rudi.
Merasa konyol karena takjub dengan hiasan kota yang itu-itu saja, Rudi menggelengkan kepalanya dan memilih menyimpan isi benaknya. Toh kalau pun bercerita, ia yakin anaknya yang baru berusia 5 tahun itu tak akan paham. Kekaguman Rudi memang muncul dari hal-hal sederhana, ketersediaan listrik salah satunya.
Namun saat ia seumur Juan, listrik di pemukiman warga masih jadi hal yang mewah. Pemadaman bergilir jadi makanan sehari-hari.
Bahkan sampai ia lulus SMA di awal 2000-an pun, pemadaman listrik masih jadi hal yang lumrah. Seingat dia, dalam seminggu setidaknya ada dua hari listrik tak mengaliri rumahnya. Kadang hanya beberapa jam, tapi bisa juga bisa seharian.
Sebagai anak bungsu, Rudi selalu kebagian menelepon petugas PLN, menyampaikan keluhan orang tuanya karena lampu mati. Pemadaman listrik menjadi bagian dari hal-hal kecil yang dikenangnya.
"Dari kehabisan lilin, enggak ngerjain PR, sampai nangis pas ikan peliharaan mati karena mesin pompa oksigen mati kelamaan juga pernah," ujarnya bernostalgia, Jumat (26/2).
Sementara itu Dian (55) juga mendapatkan pengalaman yang menyenangkan dalam 3 tahun terakhir: pemadaman listrik yang kian jarang terjadi di Kabupaten Sambas, Kalbar. Dia bercerita tak lagi khawatir ketinggalan sinetron kesukaannya karena listrik sudah mengalir tanpa interupsi.
Kalau pun terjadi, ia menyebut petugas datang relatif cepat dan biasanya listrik kembali menyala dalam waktu kurang dari satu jam. "Sudah beda dengan zaman gadis dulu, sekarang lancar, aman," katanya.
Senior Manager Pertanahan dan Komunikasi PLN UIP Kalbagbar Hariyadi menyebut pemadaman bergilir yang dialami Rudi dan Dian dikarenakan pembangkit listrik yang ada saat itu belum mampu menyokong kebutuhan listrik masyarakat.
Dulu, jaringan transmisi yang dibangun bergantung pada Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Untuk mengatasi itu, ia mengatakan sebetulnya telah sejak 2013 pembangunan infrastruktur mulai dilakukan. Namun, progres tidak bisa secepat yang diharapkan mengingat medan yang berat, topografi kawasan yang sulit, serta proses pembangunan yang memakan waktu.
Perlahan, lanjutnya, kualitas dan keandalan listrik kian membaik karena pembangunan yang kian merata. Dengan semangat transformasi menerangi negeri, ia menyebut berbagai proyek telah berhasil diselesaikan, termasuk program listrik desa.
Sejak berdiri pada 2016 hingga 2020 proyek yang telah berhasil diselesaikan antara lain adalah PLTU Parit Baru Site Bengkayang 2x50 MW, PLTU Ketapang 2x7 MW, dan PLTU Sintang 3x7 MW.
Lalu, lima Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yaitu 150 kV Siantan Tayan, SUTT 150 kV Bengkayang-Ngabang-Tayan, SUTT 150 kV Tayan-Sanggau, SUTT 150 kV Ketapang-Sukadana, SUTT 150 kV Ketapang Kendawangan, dan Gardu Induk (GI) terkait.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono).
|
Walhasil, rasio elektrifikasi di Kalbar pun meningkat mencapai 92 persen. Artinya, sekitar 92 persen dari total populasi memiliki akses ke sumber energi listrik. Angka ini melonjak dari 74 persen pada 2015 lalu.
Walau begitu, pembangunan belum berakhir. Ia menyatakan masih ada satu PR besar yang harus diselesaikan, yaitu menghubungkan transmisi listrik Kalbar bagian Utara dan Selatan. PR itu adalah bagian dari gambaran besar interkoneksi kelistrikan antara Kalimantan Barat dan Tengah.
"Misalnya ada defisit daya di Kalbar, evakuasi dayanya bisa diambil dari Kalteng, jadi sumber dayanya tidak hanya dari pembangkit di Kalbar," katanya.
PR Besar PLN
Presiden Jokowi menyebut secara keseluruhan, rasio elektrifikasi pada 2020 telah menyentuh 99,48 persen. Angka itu diklaim meningkat signifikan dibandingkan dengan posisi 2014 lalu yang masih berada di posisi 84 persen.
Meski begitu, sebaran tidak merata. Terbukti masih ada 433 desa di Indonesia yang belum mendapatkan aliran listrik.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut hingga saat ini masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjamah listrik terutama untuk daerah 3T atau tertinggal, terdepan, dan terluar.
Dia menyebut ada dua alasan yang mendalangi ketidakmerataan pembangunan kelistrikan. Pertama, karena terhalang infrastruktur: di daerah 3T, infrastruktur menjadi tantangan terbesar.
Ilustrasi. (Dok. Hutama Karya)
|
Kedua, investasi di daerah terpencil tidak menguntungkan. Dengan kecilnya jumlah populasi dan daya beli masyarakat desa yang rendah, sulit bagi PLN untuk meraup untung dari pembangunan pembangkit listrik di daerah pelosok.
Namun, karena tugas PLN sebagai BUMN untuk melayani masyarakat, Mamit yakin PLN akan tetap menjalankan tugasnya.
"Cuma butuh waktu saja bagi PLN untuk menghadiri wilayah-wilayah tersebut. Apalagi kan target rasio elektrifikasi kita tahun ini 100 persen," ujar dia.
Saran Mamit, di kawasan yang sulit aksesibilitas,PLN sebaiknya menggunakan energi terbarukan yang ada di daerah itu. Misalnya, menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk daerah yang memiliki air melimpah atau menggunakan biomass untuk daerah yang unggul dengan peternakan sapi.
Sedangkan untuk daerah bercuaca terik bisa menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Meski menantang, ia menyebut PLN harus menyelesaikan PR tersebut dalam tahun ini. Pasalnya, jika mampu menuntaskan PR besar ini, kontribusinya ke ekonomi rakyat dan secara keseluruhan akan sangat besar, di antaranya yang sudah dirasakan warga macam Rudi dan Dian.
(asa)https://ift.tt/2NC31cR
February 28, 2021 at 08:02AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Lampion Imlek dan Jalan Panjang PLN Terangi Khatulistiwa"
Posting Komentar