Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil program, proyek, hingga data pemerintah pusat dan daerah. Untuk proyek misalnya, ia melihat ada yang dilaksanakan di sejumlah wilayah yang menurutnya tak memiliki ukuran keberhasilan dan sasaran yang jelas.
Hal tersebut menggambarkan masih adanya kesenjangan arah pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.
Imbasnya, infrastruktur yang terbangun tak terkoneksi dengan program lain yang sedang dijalankan serta tak mendukung tujuan yang hendak dicapai.
Jokowi mencontohkan kasus itu bisa dilihat dari pembangunan waduk yang tak tersambung dengan jaringan irigasi baik primer, sekunder maupun tersier. Di tempat lain, ada pula pembangunan pelabuhan yang tak memiliki akses atau jalan masuk.
"Ini menyebabkan tidak optimalnya daya ungkit program yang dilaksanakan, dan masyarakat juga yang dirugikan karena tidak mendapatkan manfaat dari program itu," jelas kepala negara dalam Peresmian Pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah 2021, Kamis (27/5).
Meski demikian, minimnya daya ungkit infrastruktur terhadap perekonomian sebenarnya bukan masalah baru. Jauh sebelumnya, banyak kalangan sebenarnya sudah berkali-kali mengkritisi proyek infrastruktur pemerintah.
Mereka menyebut banyak proyek yang mubazir, tak sesuai kebutuhan dan tak sinkron dengan pembangunan di daerah. Salah satunya adalah pembangunan Bandara Internasional Kualanamu di Medan, Sumatera Utara. Pada 2017 lalu Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) menilai pembangunan proyek itu tak memberikan dampak apa pun bagi aktivitas bisnis mereka.
Pasalnya, bandara tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas penunjang yang mampu membuat kegiatan bongkar muat kargo lebih cepat. Padahal, kecepatan pelayanan kargo menjadi salah satu indikator penting bagi keseluruhan pelayanan bandara.
Wakil Ketua DPP Asperindo Budi Paryanto mengatakan waktu bongkar muat dari pesawat hingga masuk gudang barang di bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar dua jam.
Selanjutnya, dari gudang barang ke agen pengiriman bisa sekitar satu jam. Artinya, total waktu bongkar muat barang hingga ke pengiriman membutuhkan waktu tiga jam
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan tidak optimalnya daya ungkit pembangunan infrastruktur terhadap perkonomian tak hanya terlihat dari infrastruktur irigasi dan pelabuhan yang disebut Jokowi. Menurutnya, ada proyek lain yang juga memiliki masalah sama.
Contohnya, pembangunan bandara internasional yang jumlahnya terlalu banyak sementara utilitasnya di Indonesia cenderung rendah bahkan sebelum pandemi corona melanda Indonesia.
"Lalu ada proyek rail link Bandara Soekarno-Hatta yang penumpangnya hanya mencapai kurang dari 30 persen dari total kapasitas. Kalau didaftar banyak proyek yang tidak sesuai tapi dipaksakan," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/5).
Menurutnya, proyek-proyek 'tak jelas' yang dibangun pemerintah menggambarkan belanja modal infrastruktur ratusan triliun yang sudah digelontorkan pemerintah selama ini tidak sesuai dengan tujuan efisiensi dalam mengatasi ekonomi biaya tinggi yang selama ini membebani Indonesia.
Ini terlihat dari biaya logistik yang hanya mengalami penurunan tipis ke 23,5 persen PDB meski pembangunan infrastruktur marak dilakukan.
Padahal, syarat paling penting dalam pembangunan infrastruktur adalah integrasi konektivitas dan efisiensi dalam rangka menurunkan ekonomi berbiaya tinggi.
"Artinya kalau ada pemerintah membangun infrastruktur misalnya jalan tol ratusan kilometer tapi biaya logistik tidak turun patut jadi tanda tanya," jelasnya.
Bhima juga mengkritik sikap Jokowi yang terus-menerus meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk melakukan pengawalan terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Sebab, tanpa didorong pun, Pasal 2 dan 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 sudah jelas menyebutkan bahwa BPKP bertugas melakukan pengawasan intern terhadap perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan aset negara/daerah.
Yang jadi persoalan saat ini, terang Bhima, justru lantaran banyaknya rekomendasi BPKP yang belum dijalankan.
"BPKP bukan sekedar audit ketika proyek infrastruktur sudah terlaksana atau dalam proses, tapi juga bisa memberikan pengawasan di awal saat perencanaan. Tapi kembali lagi soal rekomendasi, ada di presiden atau kementerian teknis juga mau dijalankan atau tetap gaspol," tegasnya.
Masalah di Studi Kelayakan
BACA HALAMAN BERIKUTNYAhttps://ift.tt/3wHcLmG
May 28, 2021 at 07:14AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Meraba-raba Proyek 'Tak Jelas' yang Disentil Jokowi"
Posting Komentar