
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyampaikan terdapat empat hal kunci dalam implementasi perubahan kedua Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Adriana menerangkan empat hal penting tersebut yakni sosialisasi, pendampingan, evaluasi, dan komunikasi. Hal ini disampaikannya seiring dengan disetujuinya perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh DPR pada Kamis (15/7).
"Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan (alasan) penambahan pasal, perubahan pasal, hingga penghapusan pasal agar tidak memunculkan kesalahpahaman," kata peneliti asal LIPI (yang sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) tersebut seperti dikutip dari Antara, Senin (19/7).
Adriana menegaskan hal tersebut merupakan tindakan utama yang harus dilakukan pemerintah mengingat minimnya keterlibatan orang-orang Papua dalam proses revisi UU Otsus tersebut.
Untuk pendampingan implementasi UU Otsus Papua, menurut Adriana dilakukan dengan durasi yang ditentukan, bisa saja selama 20 tahun maupun hanya 5 tahun. Hal ini berfungsi untuk melihat capaian-capaian yang terjadi selama proses implementasi.
Apabila capaian yang terealisasikan tidak sesuai dengan target, maka tindakan ketiga adalah evaluasi bersama.
"Sebelumnya, baik Pusat maupun Papua melakukan evaluasi mereka sendiri-sendiri. (Sebaiknya) evaluasi dilakukan bersama," kata dia.
Terakhir adalah membuka ruang untuk berkomunikasi. Menurut Adriana, kegagalan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang terdahulu adalah kesalahan komunikasi. UP4B merupakan unit yang dibentuk pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2011. Unit ini dibubarkan pada era Joko Widodo (Jokowi).
Kini, lewat revisi UU Otsus Papua dibentuk Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3) untuk mengawal dan meningkatkan efektifitas pembangunan di Papua.
Adriana menambahkan bahwa BKP3 harus mendengar opini maupun kritik yang disampaikan orang Papua. Meskipun, sambungnya, badan tersebut dibentuk pusat, sejatinya mereka bekerja untuk masyarakat Papua.
"Mendengar, kemudian mencari solusi dan aksi yang nyata," ucap Adriana.
Sementara itu, akademisi Universitas Cenderawasih Marinus Yaung mengatakan pentingnya sosialisasi untuk menghapus perspektif serta narasi-narasi negatif terkait kebijakan pemerintah di kalangan masyarakat.
"Melalui sosialisasi, perspektif seseorang dapat berubah terhadap sebuah aturan hukum," kata Marinus.
Ia juga menekankan bahwa penting bagi pemerintah untuk menyediakan ruang berdialog guna memperoleh dukungan dari masyarakat Papua untuk melakukan implementasi UUOtsus yang baru. Marinus juga menekankan bahwa elemen masyarakat yang patut diajak berdialog oleh pemerintah bukan hanya dari kalangan pendukung kebijakan, namun juga dengan kelompok-kelompok resisten atau kelompok-kelompok perlawanan yang berada di Papua.
"Mulai adakan dialog damai dengan kelompok-kelompok nasionalis Papua, baik yang di luar negeri maupun yang ada di Papua tentang memperkuat dan memberi dukungan terhadap konsep UU Otsus Papua ke depan," kata Marinus memaparkan.
Terpisah, Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua belum sesuai harapan dan kebutuhan rakyat. Ia menyoroti 20 pasal hasil revisi UU Otsus Papua yang disahkan pemerintah dan DPR RI.
Lukas menyebut ada lima kerangka usulan yang harus diperhatikan dalam revisi UU Otsus Papua. Lima kerangka itu adalah kewenangan, kelembagaan, keuangan, kebijakan pembangunan, serta politik hukum dan hak asasi manusia (HAM).
"Aspek politik hukum dan HAM tidak mendapat porsi dalam perubahan tersebut. Padahal, desakan atas penyelesaian masalah politik hukum dan HAM secara komprehensif dan bermartabat rutin disuarakan oleh berbagai kalangan," ujar Lukas dalam keterangan tertulis di akun Twitter @PemprovPapua, Senin (19/7).
(Antara/kid)https://ift.tt/3hNOCpZ
July 20, 2021 at 02:59AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "JDP LIPI Soroti soal Penambahan Pasal UU Otsus Papua"
Posting Komentar