Selepas dari penjara, Andi mengecam Mahfud MD karena dianggap sembrono alias asal bicara seputar kasus yang menimpanya. Dia menganggap Mahfud sok tahu dan gelar profesor dipertanyakan.
Paling anyar, Selasa (12/3), Andi Arief menegaskan niatannya menggugat Karni Ilyas dan TV One atas pemberitaan yang dianggap telah merugikan namanya. Andi tak terima foto-foto saat penangkapan ditayangkan tanpa klarifikasi.
Foto-foto itu dianggap telah menggiring publik untuk menjustifikasi Andi Arief sebagai pengguna narkoba.
"Saya nanti akan mengambil langkah hukum. Kita akan tuntut Rp1 T," ucap Andi.
Manuver serangan balik Andi Arief ini memunculkan pertanyaan di tengah publik atas kejanggalan dalam kasus Andi Arief, mengingat proses pengungkapan kasusnya yang singkat dan terselipi kejutan yang melompat-lompat.
![]() |
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto mempertanyakan langkah polisi dalam melakukan penyergapan terhadap Andi Arief di Hotel Menara Peninsula, Minggu (3/3). Menurutnya, penyergapan Andi Arief seperti sebuah sensasi yang coba ditunjukkan polisi karena tidak disertai dengan penemuan barang bukti yang kuat.
Bahkan, lanjutnya, polisi juga tidak bisa menunjukkan bukti Andi Arief telah mengonsumsi sabu. Pasalnya, berdasarkan hasil tes urine terakhir di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta Timur urine politikus Partai Demokrat itu dinyatakan negatif mengandung zat yang identik dengan sabu.
"Ini seolah polisi hanya bikin sensasi saja. Substansi penangkapan dan penggerebekan itu tak ada. Barang bukti tidak ada, bahkan tidak terbukti mengonsumsi [sabu] karena hasil tes urine negatif," ucap Bambang kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/3).
Ia juga mempertanyakan keputusan polisi tidak meningkatkan kasus Andi Arief ke tingkat penyidikan dan memilih mengasesmen kasus ke BNN hingga akhirnya diputuskan rehabilitasi. Menurutnya, berdasarkan Pasal 103 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa rehabilitasi terhadap pengguna narkotika serharusnya diputuskan di tingkat pengadilan.
Dia pun menilai, langkah ini merupakan tindakan sembarangan polisi dalam menggunakan diskresi yang dimiliki.
"Dalam kasus AA ini, yang menangkap polisi, yang menganulir polisi, yang memutuskan rehabilitasi atau polisi. Dahsyat kan? Ini [polisi] banyak peran," ucap peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSeS) itu.
![]() |
Mengapa Direhabilitasi?
Terpisah, pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir mempertanyakan apakah keputusan rehabilitasi yang diberikan kepada Andi Arief sudah melalui mekanisme hukum yang diatur.
Menurutnya, keputusan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang komprehensif dan diputuskan secara kolektif oleh penyidik kepolisian, jaksa, dan dokter.
Sebelum memutuskan rehabilitasi, penyidik juga harus menentukan tingkat ketergantungan seorang pengguna narkotika.
"Menurut hukum, kalau mau direhabilitasi, harus diperiksa secara komprehensif dulu secara kolektif oleh unsur terkait, di sana ada penyidik, jaksa, kedokteran kemudian dilakukan penyidikan dulu [dan ditentukan] sebagai pengguna pasif, akut, berkelompok, atau pengguna sekaligus pengedar ke kalangan terbatas," ucap Muzakkir.
Dia pun mempertanyakan alasan BNN tetap merehabilitasi Andi Arief. Menurutnya, langkah rehabilitasi tidak tepat dilakukan terhadap sesorang yang hasil tes urinenya dinyatakan negatif dari zat terkait narkotika.
"Sekarang kalau dia tidak terkontaminasi [seharusnya] dia tidak melakukan rehabilitasi," kata Muzakkir.
![]() |
Lebih jauh, Muzakkir juga menyoroti keberadaan wanita yang diduga bersama Andi Arief di dalam kamar di Hotel Menara Peninsula saat penyergapan dilakukan pihak kepolisian.
Menurutnya, pernyataan polisi yang berubah-ubah tentang keberadaan wanita yang belakangan disebut berinsial L tersebut telah menambah kejanggalan dalam kasus ini.
"Apa dia [wanita] cuma main saja di situ atau ruangan itu sudah dipakai tapi dia nongkrong di situ," ucapnya.
Muzakkir melanjutkan, polisi memiliki kewenangan untuk menjerat wanita berinsial L tersebut bila kasus yang menyeret Andi Arief murni penyalahgunaan narkotika.
Menurutnya, jeratan pidana yang bisa dikenakan ke wanita berinsial L itu ialah terkait tindakan pasif atau tidak melaporkan aktivitas penyalahgunaan narkotika yang dilakukan Andi Arief ke pihak kepolisian.
"Bahasa hukum, kalau dia nongkrong di situ enggak lapor polisi salah juga dia, kalau [memang mau] dicari kesalahannya. Saya tidak mengerti posisi perempuan itu seperti apa," tuturnya.
![]() |
Preseden Buruk
Proses hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Andi Arief dinilai bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan narkotika di Indonesia.
Menurut Muzakkir, publik bisa saja menafsirkan bahwa pelaku penyalahgunaan narkotika dapat bebas dengan mudah bila memiliki kedekatan dengan polisi.
Hal tersebut, lanjut Muzakkir, berbahaya karena akan menimbulkan persepsi cawe-cawe atau sistem tebang pilih dalam pemberantasan narkotika di Indonesia.
"Kalau begini, ada apa ini? [Bisa dipersepsikan] ada permainan narkoba. Kalau begitu, ini menjadi tanda tanya dan bisa mempengaruhi pelaku narkoba lain yang nanti dia menyelesaikan seperti yang dilakukan Andi Arief," ucapnya.
(mts/gil)
https://ift.tt/2VQiNz3
March 13, 2019 at 12:00AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kejanggalan Kasus Andi Arief dan Manuver Serangan Balik"
Posting Komentar