
Bisa dikatakan kami cukup betah tinggal di sini. Selain menghabiskan waktu layaknya keluarga lain dengan bekerja dan sekolah, keluarga kami juga kerap menghabiskan akhir pekan dengan piknik atau bertualang di alam Selandia Baru yang kolosal.
Mendayung sampan di danau, berjalan kaki menembus lembah, mendaki gunung, atau bersantai di pantai adalah kegiatan rutin yang kami lakukan minimal sebulan sekali.Sayangnya, nama Christchurch justru dikenal dari tragedi teror penembakan di masjid Al Noor dan Lindwood Islamic Centre yang menewaskan puluhan orang, termasuk beberapa kerabat dekat keluarga kami.
Padahal kehidupan kaum Muslim di Christchurch selayaknya kehidupan masyarakat yang beradab pada umumnya, tenang, syahdu, dan tidak berlebihan. Biasanya semua kegiatan terpusat di masjid Al Noor, karena masjid tersebut merupakan masjid tertua dan terbesar di Christchurch.
Bahkan dalam menyambut bulan Ramadan, kami kerap membuat acara Eid Festival dengan menjual makanan, memberikan hiburan, dan terbuka untuk masyarakat umum agar mereka lebih mengenal komunitas Muslim, dan sambutannya selalu bagus.
Hal semacam ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahun, karena penduduknya sangat terbuka dengan setiap perbedaan, baik suku, ras, atau agama.
Saat insiden penembakan terjadi, kami sekeluarga sedang melakukan kegiatan rutin sehari-hari. Saya dan suami bekerja, sedangkan anak-anak sekolah. Saya sedang menyetir mobil ke arah rumah ketika ada pengumuman semua sekolah di Christchurch dekat Masjid Al Noor ditutup total atau lockdown.
Meskipun jarak sekolah anak-anak saya hanya di seberang rumah, namun mereka tidak bisa saya jemput karena kondisi sedang lockdown.
Lockdown jelas bukan situasi yang enak. Anak-anak diharuskan duduk di lantai, dan dengan posisi menjauhi jendela mereka harus duduk seperti itu dan baru diizinkan pulang selama sekitar 2,5 jam sampai status lockdown dicabut pukul 17.30 waktu Selandia Baru.
Hasilnya anak-anak pulang dengan kondisi capek, kelaparan, bahkan ada beberapa ada yang trauma.
Usai mendapat musibah seperti ini tentunya kami semua terkejut, tidak percaya, dan depresi. Namun hikmah di balik kejadian ini, justru menunjukkan bagaimana guyubnya masyarakat di Christchurch, mereka saling membantu mulai dari makanan, dana, transportasi, konseling kejiwaan, sampai hal yang sederhana.
Semboyan agama Islam yang Rahmatan Lil Allamin, benar-benar wujud di Selandia Baru, tanpa memandang latar belakang manusia. Meski kenyataannya Selandia Baru bukanlah negara Islam.
Untuk menjamin keamanan, polisi hingga kini masih juga berjaga-jaga di semua kawan bahkan sampai menjaga makam tempat para syuhada.
Pemerintah Selandia Baru juga telah melarang beredarnya senjata yang dipakai oleh teroris tersebut, dan bagi yang telah memilikinya diharuskan menyerahkannya kepada pihak berwajib setempat.
Selain itu pemerintah juga melarang mengedarkan video saat penembakan dan menyebarkan berita manifesto teroris tersebut. Pemerintah Selandia Baru telah dan masih menghapus tautan video tersebut, dan memberi hukuman berat bagi yang menyebarkan video serta berita manifesto. Setidaknya sudah ada dua orang yang diadili untuk hal ini.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com / ike.agestu@cnnindonesia.com / vetricia.wizach@cnnindonesia.com
(agr/ard)
https://ift.tt/2I0FAEP
March 30, 2019 at 09:48PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kerukunan, 'Obat Luka' Penembakan Masjid di Christchurch"
Posting Komentar