Mobil jemputan saya telat datang lantaran staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tambrauw salah menghitung. Saya dan dua rekan belum mendapat tumpangan untuk berkeliling Tambrauw selama tiga hari dua malam.
Selang setengah jam, mobil Mitsubishi New Triton Athlete berwarna hitam masuk ke parkiran dengan tergesa-gesa. Karena mengejar waktu, saya dan dua rekan langsung masuk ke mobil itu.
Ian nama supir mobil kabin ganda keluaran terbaru Mitsubishi tersebut. Mukanya kucal seperti orang baru bangun tidur."Langsung ke mana kita kakak?" tanya saya kepada Ian.
"Waduh saya tidak tahu e. Baru bangun ditelepon disuruh langsung ke bandara," ucap pria bernama lengkap Samudra Sitanggang itu sembari tersenyum.
Perjalanan dimulai dengan bertolak ke Distrik Miah, Kabupaten Tambrauw. Selama perjalanan tiga hari dua malam, Ian membagi ceritanya menggeluti profesi supir transportasi antardaerah di Papua Barat.
Pria 34 tahun itu sudah menggeluti profesi ini sejak empat tahun lalu. Ia diajak seorang rekan bernama Yunus untuk ikut lari, istilah yang digunakan orang Papua untuk menyebut berkendara. Orang Jakarta lebih senang menggunakan kata ganti "narik".
Sebagian orang Papua menyebut profesi Ian sebagai taksi. Moda transportasi ini digemari masyarakat menengah Papua dan Papua Barat karena sarana dan prasarana transportasi belum memadai.
Jangan dulu bicara sarana transportasi publik massal yang nyaman dan aman. Jalan di Papua Barat pun belum semuanya dilapisi aspal atau beton.
Ian biasanya mangkal di Pasar Wosi, Manokwari untuk menunggu penumpang. Ia mengetem layaknya taksi pada umumnya.
"Biasanya menunggu saja di Pasar Wosi. Nanti terserah penumpang mau ke mana," ujar Ian.
Biasanya selama sebulan bisa melakukan trip sekitar empat kali, tergantung durasi sewa. Sekali jalan, ia bisa menghabiskan waktu hampir seminggu untuk bolak-balik.
Tarif yang ia patok berkisar Rp2,5 juta-Rp5 juta per hari. Tarif sangat tergantung dari kesulitan medan dan durasi perjalanan.
Perlu dicatat kalau kesulitan medan di sini bukan soal macet, tapi jalanan yang bergelombang atau curam.
Rute favorit Ian adalah Manokwari-Bintuni. Jalan yang ekstrem sebanding dengan bayaran yang didapat. Ia bisa mengantongi uang Rp5 juta sehari. Sementara perjalanan ke Bintuni biasanya minimal dua hari satu malam.
"Saya biasa ke Bintuni karena uang banyak, kabupaten dollar Bintuni tuh," tutur pria blasteran Batak-Papua itu sambil tertawa.
Rata-rata ia mengumpulkan pendapatan kotor Rp30 juta dalam sebulan. Pendapatan tersebut biasanya masih dipotong biaya solar Rp700 ribu, cuci mobil Rp400 ribu, dan kernet Rp1 juta setiap perjalanan.
Uang besar tak pernah datang sendirian. Risiko berat tentu selalu ikut mengiringi, begitu pula profesi seperti yang Ian geluti.
Mulai dari ban pecah, kendaraan mogok, hingga kecelakaan fatal ada di depan mata. Namun Ian tetap tancap gas.
Pengalaman yang paling teringat di benak Ian adalah kehabisan logistik dan tidur di tengah hutan selama perjalanan Manokwari-Bintuni.
Medan di Bintuni sangat rusak. Tanah merah yang belum dikeraskan, mudah berubah menjadi bubur jika diguyur hujan.
Hal ini membuat perjalanan terhambat. Akibatnya Ian dan penumpang pun menambah waktu perjalanan. Tak jarang mereka kehabisan bekal makanan.
"Di Bintuni itu nasi basi laku, ikan busuk saja kita makan. Karena jalan hancur, keras kehidupan kalau lari ke situ," Ian bercerita.
Salah satu cara menghilangkan stres yang dilakukan Ian dan kawan-kawan sepanjang perjalanan adalah bercanda.
Mereka menggunakan walkie talkie untuk berkomunikasi karena sinyal ponsel nol besar. Lewat radio itu, mereka melontarkan candaan.
Seperti saat mengantar saya dari Tambrauw ke Sorong. Saya mengatakan kepada Ian untuk meminta rombongan berhenti karena saya hendak memberi flashdisk ke salah satu rekan.
"Suhar, suhar," panggil Ian kepada rekannya.
"Suharto, Suharto, Sukarno memanggil," canda Ian karena Suhar tak kunjung menjawab.
"Suharto, Suharto, ada rapat mendadak para jenderal, kondisi genting," kata Ian melanjutkam candaan. Kami pun terbahak dan rombongan berhenti sejenak.
Ian sempat bercerita ia punya keinginan untuk membeli mobil sendiri. Sebab saat ini ia menggunakan mobil milik orang tuanya.
Dia juga optimistis profesi ini masih akan bertahan lama.
Meski demikian Ian berharap presiden yang terpilih nanti bisa membuat jalanan di Tambrauw menjadi semakin mulus agar ia dan kawan-kawannya tak melulu pulang membawa pegal pinggang sesampainya di rumah.
(dhf/ard)
https://ift.tt/2Fw4fzx
March 25, 2019 at 12:54AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Profesi Gagah, Kernet di Tambrauw Kantongi Rp1 Juta Sehari"
Posting Komentar