
Gim ini menjadi sorotan setelah terjadi insiden penembakan di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 50 orang, akhir pekan lalu.
Pasalnya, aksi pelaku ketika memberondongkan peluru, yang direkam menggunakan kamera di atas kepala, mirip dengan tampilan gim baku tembak tersebut. Teori-teori pun beredar bahwa pelaku terinspirasi oleh gim baku tembak, meski dalam manifesto yang disebarkan sebelum penembakan sang pelaku menyatakan melakukan aksi terornya bukan karena gim Fortnite dan Spyro the Dragon 3.
Seorang ulama Malaysia, Mufti Negri Sembilan Datuk Mohd Yusof Ahmad merespons penembakan itu dengan meminta pemerintah Malaysia untuk memblokir game Player Unknown's Battleground (PUBG) yang notabene merupakan primadona game battle-royale di Asia.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat juga mewacanakan fatwa haram untuk gim besutan Brendan Greene itu. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) juga siap untuk melakukan pemblokiran apabila PUBG dinilai merusak gamer.
Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, menyebut kekhawatiran bahwa gim baku tembak bisa mempengaruhi seseorang untuk menembak orang lain di dunia nyata adalah hal yang masuk akal.
"Dalam kasus PUBG, stimulus tidak hanya berupa objek yang ditonton. Tapi objek yang berinteraksi dengan pemirsa. Karena stimulasi berlangsung multi-indrawi, maka masuk akal kalau ada kekhawatiran bahwa peniruan semakin potensial," ujar Reza saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Sabtu (23/3).
Dalam dunia psikologi, Reza menjelaskan ada Teori Belajar Sosial yang dicetuskan Albert Bandura dan menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman, dan evaluasi.
Teori ini menunjukkan seorang manusia bisa belajar lewat pengalaman langsung atau pengamatan dari yang ia baca, dengar, dan lihat di media, atau orang lain, atau lingkungan.
"Dalam psikologi memang ada Teori Belajar Sosial. Intinya, orang memunculkan atau mengubah perilaku berdasarkan apa yang dia pirsa," ujar Reza.
Kendati demikian, Reza menegaskan pengamatan tersebut tidak serta merta bisa mendorong seseorang meniru suatu aksi. Ada banyak faktor yang bisa menghalangi seseorang mengambil keputusan, salah satunya adalah faktor individu.
"Kenyataannya, tidak serta-merta atau (misalnya) tidak semua orang yang menonton aksi teror di Selandia Baru melakukan perbuatan serupa. Itu artinya, ada faktor individual yang menjadi penentu apakah stimulasi dari gim atau TV akan diduplikasi atau tidak," ujar Reza.
Salah satu faktornya adalah tendensi kekerasan yang sudah ada pada seseorang. Ia mengatakan apabila orang tipe ini distimulus dengan konten kekerasan, maka ia bisa dengan mudah melakukan kekerasan.
"Faktor lainnya adalah tendensi kekerasan yang sudah ada pada diri individu. Ketika tendensi itu ada, maka terstimulasi sedikit saja bisa akan melipatgandakan kemungkinan munculnya perilaku kekerasan oleh yang bersangkutan," tutur Reza.
Game Tak Melulu Negatif
Manajer Tim eSPorts PG.Barracx, Ardo, punya pendapat beda. Ia menyebut wacana fatwa haram sebagai hal yang sangat berlebihan karena yang harus disalahkan dalam insiden penembakan Selandia Baru adalah pelaku.
"Menurut saya (wacana) fatwa MUI sangat lebay atau berlebihan. Intinya menurut saya, sebuah kekerasan tidak berawal atau bersumber dari sebuah game. Game ga ada urusannya sama kekerasan, balik lagi ke orangnya itu seniri," ujar Ardo.
Dia juga berpendapat lebih baik kecanduan gim daripada kecanduan alkohol atau narkoba karena saat ini menjadi gamer bisa menjadi sebuah mata pencaharian.
Ekosistem gaming di Indonesia sendiri sangat luas dengan profesi youtuber gaming hingga atlet eSports bahkan menjamur di YouTube. Tak hanya itu, eSports bahkan mencatatkan sejarah saat Asian Games 2018 karena untuk kali pertama dipertandingkan dalam kompetisi level internasional secara eksibisi.
Atlet eSports juga diperlakukan selayaknya atlet olahraga pada umumnya, membutuhkan program latihan, gizi, disediakan markas utama bersama fasilitas, hingga kontrak kerja.
"Malah game bisa dijadikan sebagai pekerjaan. Sekarang gaji bulanan perkiraan saya sudah UMR Jakarta. Belum lagi ditambah kalau menang turnamen," ujar Ardo.
Tak hanya itu, Ardo juga memberikan dan menanggung biaya homeschooling demi menunjang pendidikan para gamer. Klub juga selalu meminta izin kepada orang tua ketika hendak mengontrak calon anggota tim.
Ardo mengaku tak terlalu risau bila PUBG diblokir, karena masih banyak gim-gim alternatif lain bergenre battle royale yang bisa digunakan sebagai mata pencarian.
"Kalau dibilang nasib, menurut saya PUBG hanya pekerjaan sampingan yang menghasilkan uang. Tapi masih ada Free Fire, Rules of Survival, Fortnite dan masih banyak lainnya," ujar Ardo.
Hal Berlebihan
Sementara itu Manajer tim eSports Aura, Shin, bingung dengan wacana haram bagi gim PUBG. Ia berpendapat inti nilai dari sebuah game adalah sebagai sebuah hiburan. Ia juga mempertanyakan kebenaran teori bahwa pelaku teror di Selandia Baru terinspirasi gim bergenre battle-royal.
"Kalau ada orang yang menangkap dari sisi negatif, itu balik secara individunya. Kalau membicarakan konten yang berbahaya, film konten kekerasan juga lebih berbahaya dari pada game," kata Shin.
Shin meyakini Tencent selaku publisher dari PUBG Mobile pasti akan melakukan mediasi dengan Kemkominfo hingga MUI untuk mencari solusi.
"Saya rasa pihak Tencent akan bertindak. Paling dimediasi sama mereka, soal dampaknya,"ujar Shin. (vws)
https://ift.tt/2HPEj3q
March 24, 2019 at 02:30AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Stimulus Multi-Indrawi PUBG dan Wacana Haram dari MUI"
Posting Komentar