Beberapa pekan terakhir saya sedang sering berkunjung ke Monas untuk liputan soal ajang Formula E yang bakal diselenggarakan tahun ini. Biasanya hanya melihat dari jauh, pada Jumat (21/2) saya memutuskan untuk menjelajah bagian dalam tugu setinggi 132 meter itu.
Selepas memarkir motor di area Ikatan Restoran dan Taman Indonesia (IRTI), saya harus berjalan melewati food court atau lebih ramah disebut Lenggang Jakarta untuk sampai di parkiran Mobil Wisata.
Monas memfasilitasi pengunjung dengan Mobil Wisata berkapasitas 13 penumpang secara gratis, dengan catatan hanya rute dari IRTI menuju Pintu Tugu Monas dan sebaliknya, tidak untuk berkeliling kawasan.Sebelumnya saya tidak membayangkan jika harus jalan kaki mengitari Monas yang berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 80 hektare itu, belum lagi terik matahari yang lumayan menyengat kulit.
Walau dikelilingi taman, area Monas nyatanya tak seteduh yang dikira. Tak heran banyak pengunjung datang bertopi atau berpayung.
Turun dari Mobil Wisata, pengunjung akan diarahkan masuk melalui terowongan bawah tanah dan dipersilahkan membeli tiket masuk.
Mobil Wisata. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
Tak terlalu menguras kantong, sebab untuk Harga Tiket Masuk (HTM) museum dipatok Rp5000 untuk dewasa dan Rp2000 untuk anak-anak.
Sedangkan HTM masuk puncak Monas dipatok dengan tarif Rp10 ribu untuk dewasa dan Rp2000 untuk anak-anak.
Tidak ada perbedaan HTM untuk para wisman, yakni disamaratakan dengan tarif untuk orang dewasa.
Khusus untuk pengunjung lanjut usia dan difabel tidak perlu membayar retribusi alias gratis. Hanya saja ini tidak berlaku pada hari libur nasional.
Ruang menuju puncak
Ketika memasuki area dalam Monas, saya disajikan relief di sepanjang tembok pembatas area dalam.
Saya sempat menikmati relief yang menggambarkan secara singkat kisah Sumpah Palapa dari Patih Majapahit tersohor, Gadjah Mada. Sisanya meski tidak hafal, saya yakin relief menceritakan peninggalan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia.
Dari pintu masuk pelataran Monas Utara, saya masuk ke ruangan bawah tanah yang merupakan ruang Diorama. Di situ saya disuguhi kurang lebih 50 miniatur tiga dimensi yang mengisahkan sejarah bangsa dari zaman kemerdekaan hingga pasca orde baru. Puluhan diorama itu terbagi dalam empat sisi.
Sisi pertama mengisahkan awal mula manusia purba hingga kejayaan kerajaan Hindu. Sisi kedua mengisahkan pergolakan yang terjadi semasa penjajahan bangsa Belanda yang menyulut perlawanan dari Pattimura, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, hingga Sisingamangaraja.
Sisi ketiga mulai bercerita soal derita Romusha serta perjuangan pahlawan secara diplomatik hingga akhirnya berhasil memerdekakan Indonesia.
Sedangkan sisi keempat yang berada di tengah menggambarkan peristiwa KTT Non-Blok, integrasi Timor Timur, hingga alih teknologi.
Sayangnya diorama tak berlanjut selepas masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Diorama peristiwa Lubang Buaya di Monas. (CNN Indonesia/Gilang Fauzi)
|
Selanjutnya saya melihat Ruang Kemerdekaan di pintu sebelah selatan.
Ruangan ini dikelilingi marmer yang memiliki tugu dengan empat sisi, salah satunya mimbar yang otomatis terbuka sejam sekali dengan alunan suara Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi. Ikut terlihat hiasan gugusan pulau-pulau di Indonesia berlapiskan emas.
Ruang Kemerdekaan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Masih di Monas, pengalaman selanjutnya saya masuk ke dalam lift dengan kapasitas delapan orang yang membawa saya ke puncak Monas.
Di situ saya dapat melihat pemandangan gedung pencakar langit Jakarta dari jauh Ingin lebih dekat saya mengakali dengan melihat-lihat gedung dengan teropong. Terdapat empat teropong yang bisa digunakan di sini.
Teropong di Puncak Monas. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
Olahraga di Monas
Saya sengaja menghabiskan waktu di Monas hingga sore, karena biasanya pengunjung mulai memadati Monas menjelang senja, terutama yang berniat olahraga.
Monas memiliki empat lapangan futsal, satu lapangan basket, dan satu lapangan voli yang dapat dipakai pengunjung asal telah mendapat izin dari UPK Monas.
Yang sering terlihat ialah pengunjung yang lari sore mengitari kawasan Monas.
Ditemui di sisi timur Monas, seorang pengunjung bernama Maulida tengah asik mondar-mandir bertelanjang kaki di atas bebatuan kerikil masuk area taman Monas. Ibu dari dua anak tersebut mengaku menjadikan spot olahraga tersebut sebagai favoritnya.
"Ya buat pegel-pegel lumayan, kayak pijat refleksi," ujarnya sembari terkekeh.
Bukan hanya tugu
Kawasan selatan Monas yang sempat menjadi polemik ihwal revitalisasi Monas awalnya merupakan lahan hijau terbuka.
Di dekat kawasan itu saya masih bisa menikmati taman yang berisi bangku duduk, ayunan serta beberapa sarana olahraga seperti tiang pull up serta batu kerikil pijat refleksi.
Senangnya di tengah terik matahari, saya masih bisa berlindung menghirup sepoi angin di situ. Beberapa orang memilih tiduran di kursi sembari bermain gadget ataupun terlelap.
Tak jauh dari situ, saya coba mengintip dari luar pagar setinggi 1.5 meter. Kawanan Rusa Tutul jantan dan betina tampak asik bermain di atas tanah berwarna merah yang basah karena baru saja turun hujan.
Sayangnya para pengunjung tidak diperbolehkan memberi makan kawanan Rusa tersebut.
Selain tugu dengan hiasan emas di atasnya, ada banyak pemandangan menarik di Monas. Salah satunya penjaja jasa foto keliling dan langsung cetak ditempat, seperti Riki yang mengaku telah menggeluti profesi tersebut hampir satu dekade.
Para penjaja jasa foto keliling tersebut berbekal kamera DSLR dan printer portable, dimana pengguna jasa mendapatkan hasil jadi foto dengan menunggu sekitar 15 menit.
"Mulai harga Rp20 ribu, tapi sekarang sih nggak serame dulu ya karena sudah banyak yang pegang hp," kata Riki.
Pengunjung berteduh di bawah cawan Monas. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
Tak jauh dari taman Monas dan IRTI, saya melihat ada enam jenis wahana yang cukup aman dimainkan anak-anak seperti rumah balon, odong-odong dan komedi putar yang dikenakan tarif Rp15 ribu hingga Rp20 ribu.
Saya coba melipir juga ke kawasan Souvenir yang menjual pernak-pernik khas Monas seperti miniatur kunci hingga kaos yang diobral murah,
"Sini dek, Rp100 ribu dapat enam," teriak salah satu penjaja memegang kaus bergambar Monas.
Lenggang Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Karena memang tak berniat membeli, akhirnya saya putuskan untuk melipir ke petak sebelahnya, surga makanan di Lenggang Jakarta.
Ada puluhan kios yang menjajakan beragam makanan, mulai dari bakso hingga seafood. Yang membuat nyaman, mereka mencantumkan harga menunya di gerobak kios ataupun meja.
Saya coba menyisir satu persatu kios di sana. Rata-rata penjaja mematok harga yang sama, mulai dari harga Rp20 ribuan.
Dari Lenggang Jakarta, saya masih bisa melihat pengunjung semakin bertambah keluar dari IRTI menuju kawasan Monas.
Tampaknya memang benar kata salah satu pengunjung Monas dari Lampung yang saya temui.
"Ya kalau nggak ke Monas, sama saja nggak ke Jakarta."
(ard)
https://ift.tt/2wGqHE3
February 23, 2020 at 04:12PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Wisata Sejarah Modal 'Goceng' di Monas"
Posting Komentar