Ulasan Film: 'The Dirt'

Jakarta, CNN Indonesia -- Kalau Anda tak tahu Motley Crue, tak perlu merasa tak kekinian. Mereka memang bukan band milenial. Tetapi jika Anda suka musik, maka seharusnya Anda pernah mendengar 'Home Sweet Home' atau setidaknya nama Tommy Lee.

Netflix menghadirkan kisah Motley Crue di bawah tajuk 'The Dirt'. Saya bangun pagi di akhir minggu lalu, bikin kopi dan memilih 'The Dirt' dengan bersemangat, berpikir akan mendapatkan hiburan dan kalau beruntung, edukasi baru, karena saya selalu menyukai film yang terkait musik.

'The Dirt' dibuka dari sudut Nikki Sixx (Douglas Booth), bernama asli Frank Carlton Serafino Feranna, Jr. dan dipanggil sayang 'Frankie' oleh ibu yang dibencinya. Setelah bertengkar hebat dengan sang ibu, di usia belasan tahun Sixx memilih tinggal di jalanan sebelum mengubah namanya secara legal menjadi Nikki Sixx.

Karakter lain yang juga mendapat porsi cukup besar adalah Tommy Lee (Colson Baker), sang drummer yang digambarkan naif dan selalu bersemangat seperti anak kecil. Ia dekat dengan keluarga, sampai tega memukul wajah tunangannya hingga berdarah dalam sebuah adegan ketika kekasihnya mengungkapkan pendapat tentang ibu Lee.


Mick Mars (Iwan Rheon) tidak seberuntung Sixx dan Jones. Ia lebih banyak diam menahan sakit akibat ankylosing spondylitis yang dideritanya sejak remaja. Ia mengajukan diri menjadi pendamping utama pria di pernikahan Jones, tetapi tetap saja tak jadi, lantaran cincin sudah dibawa oleh Sixx yang saat itu sedang teler berat.

Dan Vince Neil (Daniel Webber)? Yah, dia hanya menjadi vokalis Motley Crue, sebagaimana seharusnya. Datang dan bernyanyi, nyaris tanpa konflik berarti.

Cerita baru benar-benar dimulai pada 1981, ketika Nikki berkawan dengan Tommy Lee dan sepakat membentuk sebuah band. Mick Mars bergabung, dan tak lama, mereka merekrut kawan sekolah Lee bernama Vince Neil yang saat itu sedang menikmati karier sebagai vokalis band yang menyanyikan lagu-lagu orang lain.

Motley Crue lahir, dan hidup sedang berbaik hati pada mereka. Popularitas cepat diraih, artinya panggung demi panggung dijalani dengan lancar hingga akhirnya seorang produser junior Tom Zutaut (Pete Davidson) dari Elektra Records melihat potensi itu dan memutuskan mencoba kesempatan ini.


Uang berlimpah, gemilang popularitas, penampilan rock and roll maksimal, dan era di mana belum ada internet sehingga Anda tak bakal mengetahui apa yang Anda sedot atau telan. Motley Crue menikmati masa keemasan di era tersebut dengan total. Heroin, kokain dan alkohol mengisi keseharian, pesta demi pesta, tubuh wanita satu ke tubuh lainnya. Setiap hari.

Rock star!

'The Dirt' mulai terasa membosankan bahkan sebelum sampai pertengahan film. Ketika konflik bermunculan, seperti adiksi Sixx dan cerita cinta Tommy Lee yang selalu bermasalah, sampai peristiwa kecelakaan yang menewaskan Razzle, drummer Hanoi Rocks, rasanya bagian itu disengaja untuk menjadikan film ini semakin drama.

Tentu saya tidak bilang tewasnya Razzler atau Sixx yang harus kehilangan putri tunggalnya karena kanker adalah dramatisir, namun keterpurukan setelah itu dan bagaimana teman-teman bandnya datang untuk kembali bersatu dan saling 'menyelamatkan' satu sama lain membuat 'The Dirt' jadi kisah drama standar.

Tidak ada kejutan dalam 'The Dirt', kecuali banyaknya tubuh telanjang dan tebaran kokain dan heroin. Alur berjalan sebagaimana seharusnya, dan ditutup dengan manis ketika Sixx akhirnya menangis di pelukan rekan-rekan band-nya, serta menuju outro film saat keempat personel Motley Crue berjalan dari belakang panggung bersama-sama, bahagia karena mereka saling memiliki.


Motley Crue masih terus bermain bersama sampai 20 tahun setelah mereka berbaikan. Panggung terakhir mereka adalah saat Tahun Baru 2015.

Untuk ukuran band heavy metal, sebagian menyebut mereka hard rock, namun jelas menganggap penampilan dan aksi glamor sebagai bagian penting, 'The Dirt' tidak terasa rock and roll. Pesta, seks bebas dan segala jenis candu yang masuk dalam tubuh bukan hal tabu, terutama di era itu. Merusak kamar hotel, perkelahian, perselingkuhan, berlaku seenaknya sendiri, serta manajer ekstra-sabar Doc McGhee (David Costabile), apa yang baru?

Selebihnya, sutradara Jeff Tremaine yang menggarap 'The Dirt' berdasarkan buku yang ditulis oleh Neil Strauss ini menjadikannya sebagai film hiburan. Bukan dokumentasi, lumayan juga ditonton di akhir pekan, tetapi Anda tak akan keberatan menekan tombol 'pause' untuk memesan makanan di aplikasi ponsel.

Pada akhirnya, 'The Dirt' menjadi film drama 'keluarga' standar. Kata 'keluarga' saya beri garis bawah khusus karena tidak semua anggota keluarga sebaiknya diizinkan menonton film ini, harus ada batasan umur. Dan bahwa 'keluarga' Motley Crue bukanlah sanak-saudara mereka sendiri, tetapi rekan satu band.

Film ini juga tidak memiliki materi Academy Awards. Mungkin memang Motley Crue tidak memerlukannya, bukan masalah, toh mereka hidup bahagia bersama-sama. Satu-satunya kejutan buat saya adalah saat Ozzy Osbourne muda (Tony Cavalero) muncul dan membuat pengunjung kolam renang jijik padanya. Adegan itu membuat saya berpikir tentang mitos ulah-ulah aneh Osbourne.

Menonton 'The Dirt', tidak menyisakan kesan berarti, kecuali bahwa film ini memperkuat opini pribadi bahwa kadang teman bisa menjadi lebih 'keluarga' daripada yang sungguh bertalian darah. Dan oh, satu lagi. Jangan berkendara setelah menenggak alkohol.

[Gambas:Video CNN] (rea)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2UX37dq

March 27, 2019 at 11:26PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ulasan Film: 'The Dirt'"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.