Bus berangkat dari Cawang tepat pukul 07.30 WIB. Tujuannya makam Nike Ardilla, penyanyi yang meninggal di usia 19 tahun, 24 tahun lalu. Ziarah, tujuan mulianya. Tak heran jika sepanjang jalan lagu-lagu Nike terus diputar lewat organ tunggal yang terkadang sember.
Seisi bus ikut menyanyi. Tak peduli suara juga sumbang. Mikrofon dan pengeras suara yang terhubung ke telepon genggam lewat bluetooth semakin menguarkan dendang mereka.
Kalau bosan dengan lagu-lagu Nike, dangdut koplo diputar. Karaoke semakin ramai.
Saya duduk di paling belakang dalam tur ziarah mengenang 24 tahun Nike Ardilla itu. Di kiri saya duduk Habibie Lubis, pemuda 29 tahun asli Sumatera yang sudah menetap di Jakarta sejak 2010. Sementara di kanan saya, ada Muhammad Zihan Saputra. Usianya masih 17 tahun.
Kami sebagai peserta dari Jakarta, diminta berkumpul di pul bus Cawang pukul 05.00 WIB. Panitia ingin berangkat pagi agar tidak terhambat macet dan sampai tujuan tepat waktu. Namun itu hanya cita-cita belaka. Bus baru benar-benar jalan pukul 07.30 WIB.
Tur ziarah ini diselenggarakan oleh Nike Ardilla Fans Club (NAFC) Indonesia.
Mereka mengumpulkan fan dari seluruh daerah-bahkan ada yang dari luar negeri-di Ciamis.
Mereka jelas membayar. Biayanya berbeda-beda tergantung daerah asal. Semakin jauh dari Ciamis, semakin mahal. NAFC Surabaya misalnya, harus mengeluarkan biaya Rp800 ribu per orang untuk transportasi, kaus, pernak-pernik dan makan berat sebanyak dua kali.
Dua penggemar Nike Ardilla dari Malaysia. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
"Saya sudah empat kali ikut ziarah, setiap tahun datang. Insyaallah kalau ada rezeki ajak rombongan NAFC Malaysia, di sana kurang lebih ada 20 orang," ujar Aell bercerita.
Habibie yang duduk di samping saya, juga bukan pertama kali ikut tur ziarah ini. Ia yang sudah mengenal Nike sejak 1998, tiga tahun setelah sang penyanyi meninggal karena kecelakaan mobil, akrab dengan karaoke heboh sepanjang perjalanan Jakarta-Ciamis.
"Ini enggak seberapa ketimbang tahun lalu yang lebih heboh. Banyak peserta yang bikin heboh enggak ikut tahun ini," kata Habibie bercerita.
Ia menjelaskan, biasanya peserta absen tur ziarah karena ada acara lain yang tidak bisa ditinggalkan. Faktor lain adalah biaya. Ratusan ribu yang dikeluarkan bisa jadi murah bagi sebagian orang, namun mahal bagi yang lain. Seperti Zihan, yang masih 'bau kencur.'
"Saya kumpulkan dari uang jajan. Setelah diizinkan orang tua, saya berangkat," katanya.
Penggemar Biarlah Aku Mengalah dan Bintang kehidupan itu mengaku ingin ikut karena penasaran. "Mau ketemu Mami (ibu Nike) dan ketemu penggemar Nike yang lain. Lalu ingin juga ke makam dan Museum Nike," kata Zihan menambahkan.
Di sela-sela obrolan, suara sumbang nyanyian dan teriakan peserta lain mengiringi lagu yang diputar, menyeruak. Ketimbang terganggu, saya memilih memasang headset dan menonton.
Sampai bus memasuki Ciamis dan membelah hujan deras nan mengguyur, saya masih terbuai.
Rombongan Jakarta jadi yang paling telat tiba di Saung Nike. Bus kami baru mengerem dan berhenti pukul 16.00 WIB. Di saung itu sudah ada rombongan dari Bandung dan Surabaya. Penyanyi Mel Shandy, Conny Dio dan Diana Chora yang mengisi acara pun sudah tiba.
Penggemar lebih banyak berhura-hura saat ziarah. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
Seperti saya saat menonton di dalam bus, mereka pun seperti terbuai. Nyanyian belum juga berhenti meski hujan sudah reda. Peserta yang lelah dan bosan pun memilih duduk di pojok.
Ziarah yang sebenarnya baru dimulai sekitar pukul 17:40 WIB, saat peserta berjalan mengantre menuju makam. Jaraknya sekitar 550 meter dari Saung Nike. Diiringi langit yang semakin gelap, satu per satu peserta masuk ke kawasan makam Nike hingga sangat padat.
Kurang lebih kawasan makam itu dipadati 200 orang.
Peserta yang sudah lebih dahulu masuk membuka jalan ketika Mami jalan bersama Mel Shandy, Conny Dio dan Diana Chora. Mereka dipersilakan duduk di barisan paling depan dekat makam.
Fan membuka jalan untuk ibu Nike Ardilla. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
Perwakilan NAFC Bandung meminta ustaz memimpin doa.
Ustaz itu lalu berdiri di samping makam Nike, membelakangi makam Papi (ayah Nike) yang memang bersebelahan dengan putrinya. Tanpa basa basi ia langsung berceramah.
Bukan hanya wejangan untuk penggemar Nike, uraian ustaz itu cocok didengar fan secara keseluruhan. Sempat tertunda azan magrib, ia bicara soal penggemar boleh mengagumi tapi jangan menuhankan. "Syirik," katanya sembari mengintip ke ponsel di sela wejangan.
Ceramah dilanjut doa. Lalu ditutup dengan pembacaan surat Yasin dan Al-Fatihah.
Usai itu, acara dilanjutkan dengan makan malam dan kembali bernyanyi di Saung Nike.
'Hura-hura' itu terus berlanjut sampai sekitar pukul 22:00 WIB, ngaret satu jam dari yang diagendakan. Sampai waktunya tidur tiba, tak kunjung ada agenda berdoa bersama dalam ruangan sembari duduk bersila dan mengaji seperti yang saya bayangkan.
Ah, mungkin besok, pikir saya.
Hari kedua, Minggu (24/3) diawali dengan senam di lapangan depan rumah Mami. Hanya segelintir peserta yang ikut. Sebagian lagi memilih tidur atau sarapan. Setelah senam, ada acara tarik tambang yang dimenangkan NAFC Surabaya. Uang Rp1 juta jatuh ke tangan mereka.
Lagi-lagi hura-hura.
Namun harapan saya untuk merasakan ziarah kembali membuncah saat agenda selanjutnya adalah berkunjung lagi ke makam Nike. Waktunya berdoa bersama, mungkin. Namun kenyataannya, peserta justru lebih sibuk berfoto dan merekam video, alih-alih khidmat mendoakan idola.
Kawasan makam Nike Ardilla dipadati penggemar. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
Sepanjang perjalanan kembali diisi dengan menyanyi, meski tak sebanyak dan sesemangat saat berangkat. Sebagian mungkin sudah merasa lelah. Saya, lagi-lagi menonton lewat ponsel.
Sampai di museum sekitar pukul 15.00 WIB. Sebagian peserta semangat masuk untuk foto-foto. Namun justru lebih banyak yang menunggu saja. Sudah pernah, alasan mereka. Setiap tahun agenda tur ziarah memang itu-itu saja. Makam dan museum adalah destinasi wajib.
Di titik itu pula rombongan berpisah. Mereka saling berpelukan dan berharap bertemu kembali di ziarah tahun depan. Mereka juga saling mendoakan agar selamat sampai tujuan.
Kami sempat berkunjung ke SLB yang didirikan Nike, tak jauh dari museum. Namun meski sudah menunggu cukup lama, pintunya tak bisa dibuka lantaran sang pemegang kunci tak ada. Peserta pun hanya bisa mengambil foto dari luar, lalu kembali ke museum.
Juga kembali ke bus masing-masing.
Rombongan Jakarta berangkat sekitar pukul 18:00 WIB. Lampu dalam bus dimatikan, gelap. Suasana yang sangat tepat untuk tidur. Saya, kembali berbincang dengan Habibie dan Zihan, bertanya pendapat mereka mengenai keseluruhan tur ziarah mengenang 24 tahun Nike Ardilla.
Habibie menyebut acara itu lebih banyak hura-hura. Sudah dua kali ia ikut tur ziarah, acaranya begitu-begitu saja tak ada perkembangan.
Ia juga mengkritik peserta yang tidak dikumpulkan tidur bersama di Saung Nike. Ada yang memilih ke hotel, sampai rumah warga. Yang tidur di saung justru sedikit.
"Kalau memang tujuannya untuk silaturahmi, kenapa kebanyakan enggak gabung di saung? Bisa tukar pikiran atau apa. Ini malah pada milih cepat tidur dan bingung mau tidur di mana, ada yang di hotel juga. Mau ziarah atau piknik? Kalau piknik di Puncak saja," celotehnya.
Meski begitu, ia tetap ikut lantaran ingin 'PDKT' dengan pengurus NAFC dan meminta mereka agar tak memajang foto Nike yang menggunakan busana terbuka. Menurutnya, aurat Nike di foto itu terlalu diekspos.
"Kalau menampilkan foto Teteh Nike dengan aurat, itu bisa jadi dosa zariah buat Teteh Nike. Saya ini fan benar sama Teteh Nike, makanya ingin yang terbaik buat Teh Nike. Tahun depan kalau jadwal enggak bentrok saya mau ikut lagi," kata Habibie bersikukuh.
Tur ziarah Nike Ardilla bersama para penggemar dari berbagai daerah. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
"Memang lebih banyak hura-hura daripada berdoa, seharusnya lebih banyak berdoa," katanya.
Tahun depan Zihan kemungkinan besar tak ikut lantaran ia sudah hendak ujian akhir.
Saya? Cukup ikut sekali ini saja. (adp/rsa)
https://ift.tt/2HPDW8V
March 26, 2019 at 01:17AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ziarah Satu Malam ke Makam Nike Ardilla"
Posting Komentar