Belasan siswa SD Inpres Watunonju, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah langsung berlutut dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan di kolong meja saat mendengar ketukan penanda gempa.
Tanpa panik bahkan berteriak, mereka berjongkok sambil berpegangan kaki meja yang sehari-hari menjadi alas belajar.
Selama beberapa menit mereka bertahan di kolong meja. Setelah memastikan kondisi aman, para siswa mulai keluar dengan teratur sambil tetap memegangi kepala. Mereka berbaris di lapangan yang menjadi titik kumpul.
Para siswa itu baru saja menerapkan simulasi menghadapi gempa. Sejak gempa dan tsunami yang terjadi di Palu pada 28 September setahun lalu, mereka memang harus siaga karena gempa bisa terjadi kapan saja.
Aulia, salah satu siswa kelas 6 yang mengikuti simulasi begitu antusias ketika mendapat pelatihan menghadapi gempa dari Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah organisasi sosial sejak sebulan terakhir.
Ia begitu hafal dengan gerakan yang harus dilakukan melalui lagu yang diajarkan.
"Kalau ada gempa ingat BBMK, jangan berlari, jangan berisik, jangan mendorong, dan jangan kembali," pamer Aulia menyanyikan dengan nada 'Potong Bebek Angsa' saat CNNIndonesia.com menyambangi SD Inpres Watunonju beberapa waktu lalu.
Aulia juga memberitahukan lewat lagu sikap apa yang harus dihadapi saat ada gempa, yakni Berlutut, Berlindung, Bertahan, dan Berpegangan.
Iseng saya bertanya pada Aulia, "Kalau lari boleh tidak?"
"Tidaaak!" jawabnya lantang.
Siswa SD Inpres Watunonju memang terlihat begitu semangat saat mengikuti pelatihan simulasi gempa.
Namun pelatihan ini bukan tanpa kendala. Bagi siswa yang lebih kecil yakni kelas 1 dan 2, gempa memiliki trauma sendiri. Suara gemuruh maupun guncangan sedikit saja membuat mereka ketakutan.
"Ibu guruuuu takut ibu guruuu, saya tidak mau keluar," tutur Milda Djalil, guru kelas 1 di SD Inpres Watunonju menirukan siswanya saat mengikuti simulasi gempa.
"Jangankan anak-anak ya, saya sendiri kadang masih takut dengar gemuruh suara. Anak-anak ini juga, saat simulasi mereka tidak mau keluar cuma ada di bawah meja," ungkapnya.
Suasana usai gempa di Palu. (Foto: CNN Indonesia/ Priska Sari Pratiwi)
|
SD Inpres Watunonju termasuk salah satu sekolah yang bangunannya hancur sebagian karena gempa. Meski tak terlalu parah, namun kegiatan belajar mengajar sempat terhenti karena ketiadaan ruang kelas. Bantuan dari Kementerian Sosial untuk perbaikan gedung, baru benar-benar bisa digunakan sejak Juli lalu.
Milda mengatakan, kegiatan belajar mengajar usai gempa baru dimulai pertengahan Oktober 2018. Kondisi saat itu pun tak kondusif karena sekolah masih sibuk mendata siswanya yang terdampak gempa. Beruntung tak ada siswa dari sekolah tersebut yang menjadi korban.
"Saya saja sempat lama sekali tidak mengajar karena mengungsi. Cuma satu dua guru saja waktu itu yang masuk untuk mendata," katanya.
Tak ada ruang kelas, para guru di SD Inpres Watunonju pun menggunakan tenda darurat dari UNICEF untuk mengajar. Saat itu hanya tiga tenda yang diberikan kepada SD Inpres Watunonju. Alhasil, proses belajar mengajar pun digabung antara kelas 1 dan 2, 3 dan 4, serta kelas 5 dan 6.
Milda tak akan pernah lupa pengalamannya mengajar di dalam tenda. Selain atap tenda yang rendah, udara di dalam tenda juga terasa sangat panas. Ia kerap kali tak tahan dan hanya mengajar satu mata pelajaran setiap harinya. Kegiatan yang biasanya berakhir pukul 12.00 WITA, mesti berakhir pada pukul 10.00 WITA.
"Panas sekali mengajar di dalam tenda, sampai hitam semua ini muka," kelakarnya.
Konsentrasi anak-anak saat mengajar itu pun terpecah. Selain harus melawan udara yang begitu panas, Milda juga mesti memastikan para siswa memahami materi yang diajarkan. Sebab tak jarang anak-anak itu lupa karena terlalu lama absen sekolah karena gempa.
"Kita mengajar jadi ala kadarnya juga, yang ada di kepala. Alat yang digunakan juga seadanya" tutur Milda.
Berbagai alat tulis seperti spidol, papan, hingga buku-buku untuk mengajar saat itu memang berhamburan entah ke mana karena gempa.
Pihak sekolah mulai panik ketika siswa kelas 6 harus menghadapi Ujian Nasional (UN). Mustahil jika anak-anak harus mengikuti UN di dalam tenda. Sementara bantuan dari pemerintah saat itu belum diterima.
"Bingunglah kita sudah keburu mau UN itu anak-anak," katanya.
Bantuan akhirnya datang dari WVI untuk membangun gedung darurat di bagian belakang sekolah. Ada enam ruang kelas yang dibangun dengan kayu dan triplek. Perlengkapan seperti buku-buku dan alat tulis pun turut disediakan.
"Syukurlah 17 anak kelas 6 bisa UN dan lulus semua," ucapnya.
Selain ruang kelas, WVI juga membangun empat toilet dan tempat cuci tangan di sisi belakang sekolah. Siswa SD Inpres Watunonju rupanya memiliki kebiasaan untuk buang air di sawah dan got dekat sekolah sebelum toilet itu dibangun.
SD Inpres Watunonju juga menjadi salah satu dari lima sekolah yang ditetapkan sebagai 'sekolah aman bencana' di Palu. Sebagai sekolah aman bencana, SD ini mendapat pelatihan mitigasi bencana.
Sekolah ini juga memiliki tim siaga bencana yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan petugas sekolah sebagai penanggung jawab jika terjadi gempa.
Kepala SD Inpres Watunonju, Gisman mengatakan, siswa termasuk guru dibekali dengan pengetahuan mitigasi bencana agar siap menghadapi gempa. Meski belum ada dalam mata pelajaran khusus, pengetahuan mitigasi bencana ini diselipkan dalam beberapa mata pelajaran.
"Jadi kami selipkan tentang bencana, terutama yang sering terjadi di sini kan gempa bumi. Anak-anak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi gempa," katanya.
(pris/asa)
https://ift.tt/2mKnYof
September 29, 2019 at 04:53PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Potong Bebek Angsa' ala Bocah SD untuk Waspada Tsunami Palu"
Posting Komentar