Setya Novanto dan Jual Beli Kuasa di Gedung DPR

Martahan Sohuturon, CNN Indonesia | Senin, 30/09/2019 07:54 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah ruangan di Hotel Gran Melia, Jakarta, jadi saksi bisu pertemuan Setya Novanto bersama Andi Narogong. Pertemuan pada Februari 2010 tersebut adalah cikal bakal permufakatan hitam dalam mengatur anggaran proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), yang berujung kerugian keuangan negara hingga triliunan rupiah.

Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat pertemuan di Hotel Gran Melia dalam surat dakwaan terhadap Setnov pada kasus korupsi e-KTP.

Waktu pertemuan pukul 06.00 WIB. Selain Setnov dan Andi Narogong, surat dakwaan dari KPK mencatat kehadiran sejumlah pejabat di Kementerian Dalam Negeri. 

Kasus ini baru terbongkar pada Juli 2017, saat KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka. Kedudukan Setnov saat itu adalah Ketua DPR periode 2014-2019.

Dia menjadi salah satu dari puluhan anggota DPR periode 2014-2019 lain yang harus mendekam di bui karena kasus korupsi.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) per 15 September 2019, terdapat 23 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Anggota DPR periode 2014-2019 yang pertama ditangkap KPK ialah Adriansyah pada 9 April 2015.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu diciduk terkait kasus penerimaan suap untuk memuluskan izin usaha perusahaan tambang. Selang enam bulan atau tepatnya 15 Oktober 2015, giliran anggota Fraksi Partai NasDem Patrice Rio Capella yang ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Rio yang sedang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai NasDem tersandung kasus suap proses penanganan kasus bantuan sosial (bansos) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Sepekan berselang, giliran anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura di Komisi VII, Dewie Yasin Limpo, menjadi tersangka di KPK.

Dewie menjadi tersangka kasus suap pembahasan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua, pada 21 Oktober 2015.

Anggota Fraksi PDIP kembali ditangkap KPK pada awal 2016. Damayanti Wisnu Putranti terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 13 Januari 2016.

Damayanti disebut menerima suap terkait penerimaan hadiah atau janji dari Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir, agar PT WTU dapat pekerjaan di proyek Kementerian PUPR.

Setnov bukan satu-satunya pimpinan DPR yang ditangkap KPK.

Lewat dua tahun setelah penetapan tersangka Setnov, tepatnya 30 Oktober 2019, giliran Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ditetapkan KPK sebagai tersangka. Politikus PAN itu menjadi tersangka dalam kasus pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Kebumen yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2016.

Kasus korupsi anggota DPR lain yang mencolok adalah penangkapan Muchammad Romahurmuziy yang juga menjabat Ketua Umum PPP dalam operasi tangkap tangan di Sidoarjo, Jawa Timur, 15 Maret 2019.

Romi, sapaannya, terseret dalam kasus korupsi seleksi jabatan di Kementerian Agama.

Anggota DPR Nyoman Dharmantara menjadi wakil rakyat terakhir yang ditetapkan tersangka oleh KPK, pada 8 Agustus 2019.

Golkar Penyumbang Tersangka Korupsi Terbanyak

Dari 23 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terbanyak berasal dari Fraksi Golkar.

Ada tujuh anggota DPR dari Golkar yang jadi tersangka korupsi. Mereka antara lain Setya Novanto (Ketua DPR), Bowo Sidik Pangarsa (Komisi VI), Fayakhun Andriadi (Komisi (I), Markus Nari (Komisi VII), Eni Maulani Saragih (Komisi VII), Budi Supriyanto (Komisi V), dan Zulfadhli (Komisi X)

Diikuti oleh anggota DPR dari PDIP, Demokrat, dan PAN yang masing-masing menyumbang tiga orang.

Lalu Hanura dan PPP menyumbang masing-masing dua anggota DPR. Dan PKS, Nasdem, serta PKB masing-masing menyumbang satu anggota dewan. Sebagian dari 23 anggota dewan itu telah menerima vonis.

Setnov sendiri ketika kasus terjadi, menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI. 

Jaksa penuntut KPK dalam dakwaannya merujuk Pasal 80 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD menyatakan bahwa sebagai Ketua Fraksi, Setnov mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. 


Sementara dalam surat dakwaan, Setnov disebut menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya selaku Ketua Fraksi Golkar.

Kewenangan yang melekat pada Setnov disalahgunakan baik secara langsung maupun tidak, untuk mengintervensi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa e-KTP Tahun Anggaran 2011-2013.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menyebut penyalahgunaan kewenangan itu sebagai jual beli kekuasaan. 

Oce berdasarkan penelitiannya menyebut jual beli kekuasaan jadi modus yang paling banyak digunakan oleh anggota dewan yang melakukan praktik korupsi. Dalam jual beli kekuasaan, anggota DPR meminta uang sebagai imbal balik penggunaan kewenangan yang mereka miliki.

"Dalam kasus e-KTP, Ketua DPR mencoba mempengaruhi anggaran, mempengaruhi siapa yang memenangkan tender, mengatur sedemikian rupa. Dalam kasus suap pun begitu. Mereka merekomendasikan hal-hal tertentu yang terkait penganggaran," kata Oce kepada CNNIndonesia.com.

"Itu yang kemudian dilakukan, karena mereka punya kekuasaan. Mereka perjualbelikan kekuasaan itu dengan uang," lanjut dia.

Jual beli kekuasaan juga tercermin dalam kasus korupsi Romahurmuziy. Romi yang terancam hukuman 20 tahun bui, diduga mengintervensi pengisian jabatan di Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.

KPK dalam dakwaannya menyebut Romi mengetahui atau patut menduga bahwa uang yang diterimanya tersebut, diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai anggota DPR sekaligus Ketua PPP. (wis)

1 dari 2

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2nGLF10

September 30, 2019 at 02:54PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Setya Novanto dan Jual Beli Kuasa di Gedung DPR"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.