Teresa, nama panggilannya, sambil tersenyum malu-malu mulai bercerita tentang bagaimana janur mulai menarik perhatiannya.
"Awalnya di tahun 2007 saya mulai suka janur. Sebelumnya saya belajar fashion di London dan lulus pada 1989," kata Teresa ketika ditemui beberapa waktu lalu di World Flower Council Summit.
"Sekitar 10 tahun saya di fashion. Suatu saat saya diajak teman untuk ikut merangkai bunga. Ya pada dasarnya saya suka keterampilan."
Dari situ Teresa mulai berkenalan dengan janur. Helaian panjang janur yang kuat namun lentur untuk dibentuk mulai memikatnya. Beragam potensi janur pun mulai diliriknya. Sembari belajar otodidak, dia pun mulai berlatih berbagai cara melipat, menganyam, menyemat, dan mengiris janur.
"Saya enggak melihat adanya teknik yang unik dan cantik di mata saya seperti halnya di janur ini."
Sayang saat itu dia merasa banyaknya potensi janur yang khas dari Indonesia ini belum maksimal.
"Janur itu tida hanya untuk keperluan upacara tradisional, acara tradisional, atau untuk upacara religius saja," katanya.
"Janur sudah lama dipakai di Indonesia dan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Ada satu kerinduan dan saya ingin janur itu menjadi sebuah lifestyle, jadi gak hanya kalo ada kawinan, atau upacara religius. api sehari-hari bisa hadir sebagai hiasan di rumah atau sebagai pemberian, atau bagian dari fashion. Menurut saya ini bisa menjadi satu identitas dari bangsa Indonesia."
Foto: CNN Indonesia/ Christina Andhika Setyanti
janur yang dibuat sebagai aksesori |
Dia mengaku bahwa saat awal belajar janur, tak ada banyak literatur yang bisa membantunya belajar. Namun hal ini tak membuatnya menyerah dan malas belajar. Sebaliknya dia justru makin terpacu untuk lebih paham tentang janur.
Sebaliknya rasa penasaran akhirnya membuat dia mencari berbagai macam sumber untuk belajar sumber dan teknik yang asli Indonesia ini.
"Indonesia ini punya banyak potensi dari janur. Di Indonesia ada banyak pohon kelapa, di negara lain juga ada. Tapi yang asli dari Indonesia adalah tekniknya. Sama seperti batik. Semua tekniknya bisa diaplikasikan dan dikembangkan."
Sama seperti batik juga, lipatan dan anyaman janur juga memiliki filosofi dan artinya tersendiri. Hanya saja Teresa memilih untuk 'bermain aman' dan menghindari penyalahgunaan arti bentuk janur. Dia memilih untuk melakukan beberapa bentuk modifikasi dari model dasar yang sudah ada.
Bunga dan janur pun menjadi bagian dari kehidupan Teresa. Dia tak lagi mengubah potonga kain menjadi busana. Namun dunia desain masih tetap menjadi bagian hidupnya. Dia pun mengikuti beragam lomba merangkai bunga dan janur.
Sebanyak dia mengikuti lomba desain dan merangkai bunga sejak 2010, sebanyak itu pula dia keluar jadi juara terbaik atau terfavorit.
"Momen paling menantang adalah saat harus bekerja dekat air tapi harus bikin yang menarik perhatian," katanya sambil mengenang.
"Saya pernah mengkreasikan janur bukan hanya untuk bagian dari rangkaian bunga tapi sebagai busana juga. Itu saat pameran di Belgia."
Busana dari janur buatannya ternyata mengundang apresiasi dari banyak orang, khususnya orang luar negeri. Dari situ, dia makin berpikir kalau janur pada dasarnya disukai banyak orang.
"Saya berpikir, yang lebih banyak menghargai adalah orang-orang luar, bukan orang Indonesia sendiri."
Pada 2013 dia pun buru-buru membuat sebuah buku berjudul Janur. Namun saat itu tak ada satu penerbit pun yang mau menerbitkan bukunya dalam dua bahasa.
"Buku ini saya buat buru-buru, karena bukan cuma Indonesia yang punya janur. Tapi tekniknya kita yang punya. Ini yang saya khawatirkan bakal diklaim negara lain seperti batik," kata dia.
"Tapi sayangnya saat itu enggak ada yang mau. Saya terbitkan sendiri dalam dua bahasa. Dan seperti dugaan saya bahwa buku ini memang akan laris untuk orang luar negeri."
Sampai saat ini Teresa masih berjuang keras untuk melepaskan anggapan religius dari janur. Untuk itu dia pun mencoba untuk menghasilkan hal lain dari janur.
"Janur itu bisa dibuat jadi berbagai macam aksesori. Bisa digabungkan dengan kain, digabungkan dengan pita bisa menjadi kalung dan lainnya," ucapnya semangat.
"Sesuai kreativitas saja. Selain itu, janur juga termasuk sustaiable, karena bisa bertahan sampai 2-3 tahun asal enggak kena air. Malahan warnanya akan jadi semakin bagus, dan ramah lingkungan."
"Saya punya mimpi kalau janur itu bisa masuk ke kurikulum SMK. Tapi tentunya harus dimengerti bahwa janur itu harus dikembangkan. Mudah-mudahan ada yang mau bekerjasama untuk mengembangkan itu."
Foto: CNN Indonesia/ Christina Andhika Setyanti
aksesori janur |
"Menjadi pelaku pertama memang tak mudah. Pengertian orang enggak selalu sama dan penangkapannya masih berbeda. Berat sih tapi ini yang bisa saya lakukan ya saya lakukan. Sebenarnya kita punya sesuatu yang bagus dan punya nilai yang sangat baik, tapi penghargaannya belum. Sangat disayangkan."
"Janur itu menjadi baian penting dari identitas bangsa. Dari janur bisa berkembang kemana pun dan menjadi satu nilai yang bisa membantu banyak orang. Janur itu bisa menjadi bekal bagi anak mendapatkan skill, sebagai petani untuk penghailkan, sebagai eneliti yang belum ada, dan ingin sekali ada penelitiannnya terhadap janur."
Perangkai bunga Istana Negara
Sepanjang kariernya di dunia bunga dan janur, perempuan yang memiliki sebuah sekolah merangkai bunga di bilangan Pondok Indah ini juga menjadi seorang perangkai bunga Istana Negara.
Sambil tersipu malu dia kembali mengenang masa-masa pertama kali didapuk menjadi perangkai bunga Istana Negara saat 17 Agustus.
"Tahun lalu saya baru mengundurkan diri. Karena sudah repot dan butuh persiapan lama." katanya sambil tertawa.
"Saya pertama disuruh ikut desain bunga tahun 2000. Tapi sejak 2013 saya dan tim dipercaya untuk mulai mendesain dan merangkai bunga untuk 17 Agustus."
Dia mengungkapkan bahwa mempersiapkan bunga untuk acara kenegaraan tidaklah mudah. Butuh 10 bulan untuk mempersiapkan semuanya. Yang dihiasnya tak cuma satu gedung, melainkan beberapa gedung dengan desain beragam ukuran.
"Rangkaian bunga banyak di beberapa tempat, gedung utama, istana negara, tempat resepsi.Saya juga selalu memasukkan janur. Ada 100 orang tim yang membantu. Secara umum barang lokal suka tidak tersedia. Tapi kita tetap utamakan produk lokal."
Satu hal yang diingatnya adalah pakem-pakem yang harus diingatnya demi kelancaran acara. Misalnya beberapa jenis bunga yang tak boleh dipakai karena gampang layu, cepat rontok, dan baunya yang kurang pas.
"Saat 17 Agustus, harus ada unsur-unsur daerah yang dibawa. Mungkin tahun kemarin Kalimantan dan sebelumnya Sulawesi. Pokoknya ada kekayaan daerah yang harus dibawa."
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
janur yang dibuat sebagai bagian adat dan keagamaan |
https://ift.tt/2nBQYP6
September 29, 2019 at 04:36PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Teresa Turangan: Si Perangkai Bunga Istana dan Desainer Janur"
Posting Komentar