Sama halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, Kepolisian RI juga punya kewenangan untuk menangani kasus korupsi. Bahkan Polri memiliki unit khusus yakni Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) yang khusus menangani kasus-kasus rasuah di Indonesia.
Meski tak sementereng KPK atau Kejagung, namun Korps Bhayangkara tetap bekerja membasmi korupsi selama ini. Ini terbukti dari penanganan dan penyelesaian kasus korupsi sepanjang 2019.
Sepanjang tahun lalu, penyelesaian kasus korupsi yang ditangani Polri mencapai 51 persen dari total 1.504 perkara. Data tersebut mengacu pada laporan akhir tahun Mabes Polri yang menyatakan bahwa sudah 768 kasus yang rampung.
Sementara, kerugian negara yang berhasil terungkap dalam kinerja Polri selama satu tahun itu sebesar Rp1,8 triliun, di mana uang negara yang berhasil diselamatkan sebanyak Rp454 miliar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono menjelaskan mekanisme penanganan korupsi di kepolisian sama dengan sistem peradilan pidana lainnya. Pada tingkat Mabes Polri, terdapat Dittipikor yang berada di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Kemudian di tingkat Polda pun sama, terdapat Direktorat Tipikor, sementara di tingkat Polres ada Satuan Reserse Kriminal.
"Kasus Tipikor yang disidik di tingkat Mabes Polri, pemberkasan diteruskan ke Kejaksaan Agung. Kasus yang disidik di tingkat Polda diteruskan ke Kejaksaan Tinggi, kasus yang disidik di tingkat Polres diteruskan ke Kejaksaan Negeri, sedangkan Polsek tidak melakukan penyidikan kasus korupsi," kata Awi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (28/6).
Meski demikian, Awi enggan mengomentari soal kinerja penanganan kasus korupsi jika disandingkan dengan institusi penegakan hukum lain seperti KPK maupun Kejagung. Dia tetap berpatokan pada laporan akhir tahun yang sudah di rilis institusinya.
Awi menerangkan, dalam menjalankan tugas penyidikan korupsi, Polri dengan KPK memiliki sedikit perbedaan. Menurut dia, penyidikan Polri terhadap pidana korupsi biasa berdasarkan laporan masyarakat.
"Dituangkan dalam laporan polisi, atau berdasarkan laporan informasi kemudian penyelidikan oleh penyelidik Polri," kata Awi menjelaskan.
Kemudian, jika ditemukan unsur-unsur pidana korupsi dalam suatu laporan, maka penyelidikan itu dapat diproses untuk ditingkatkan ke penyidikan sesuai manajemen penyidikan pidana lainnya. Hal itu, kata Awi berbeda dengan proses investigasi yang dilakukan oleh KPK.
KPK memiliki kewenangan melakukan penyadapan untuk menyelidiki kasus korupsi. Sementara penyidik Polri baru bisa melakukan penyadapan jika perkaranya sudah masuk tahap penyidikan.
"Apabila ingin melakukan penyadapan tatarannya adalah kasus tersebut sudah masuk ke tahap penyidikan dan harus mengantongi izin dari pengadilan negeri setempat," kata dia.
Meski begitu, menurut Awi, masih ada sejumlah kasus korupsi kakap yang telah ditangani dan berhasil dirampungkan oleh kepolisian. Misalnya, kasus korupsi penunjukan kondensat bagian negara yang telah rampung di mana terdakwa divonis hakim.
Salah satu terdakwa, mantan Direktur Utama PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI) Honggo Wendratno yang divonis 16 tahun penjara.
Selain itu, vonisnya ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti merugikan keuangan negara senilai US$2.716.859.655 (sekitar Rp37,8 triliun) dalam penunjukan kondensat bagian negara. Meski demikian, dia diadili secara in absentia atau tanpa kehadiran karena hingga saat ini masih buron.
Sementara itu, dua pejabat yang bersama-sama Honggo melakukan tindak pidana tersebut, yakni mantan Kepala BP Migas Raden Priyono serta Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, masing-masing dijatuhi 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan penjara.
Sepanjang 2019 Polri telah merampungkan 768 kasus atau 51 persen dari total 1.504 perkara. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon).
|
Diketahui, kasus korupsi tersebut terendus sejak Mei 2015, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus penjualan kondensat yang melibatkan PT TPPI dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang merugikan puluhan triliun uang negara.
Namun, pelimpahan berkas ke pengadilan tak kunjung terjadi sejak 2018 lantaran Honggo masih belum ditangkap.
Kemudian, kasus lain yang turut menghebohkan publik ketika Bareskrim Polri membongkar kasus korupsi Gayus Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak dan dicap sebagai mafia.
Kasus ini bisa dikatakan sebagai tanda keberhasilan Polri dalam menangani kasus korupsi, meskipun dalam perjalanan kasusnya banyak oknum kepolisian dan kejaksaan 'masuk angin' karena turut menerima suap dari Gayus lalu terseret ke meja hijau.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 2010 lalu, penyidikan terhadap Gayus bukan perkara mudah. Pasalnya, Gayus bersama keluarganya sempat melarikan diri ke Singapura, meskipun pada akhirnya dijemput oleh Satgas Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.
Seiring berjalannya waktu, kepolisian berhasil mengawal kasus itu hingga ke persidangan hingga Majelis Hakim menjatuhkan vonis.
Hanya saja, selama mendekam di penjara, Gayus lagi-lagi membuat heboh ketika beberapa kali tertangkap kamera tengah plesiran. Misalnya, saat masih mendekam di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Gayus ternyata bisa keluyuran sampai ke Bali untuk menonton turnamen tenis di Nusa Dua.
Kontroversi Gayus selanjutnya adalah kehamilan istrinya, Milana Anggraeni. Saat itu muncul dugaan Gayus mendapat fasilitas khusus selama di penjara hingga bisa bebas berhubungan dengan istrinya. Milana melahirkan bayi kembar laki-laki pada 30 September 2011 di sebuah rumah sakit di Sunter, Jakarta Utara.
https://ift.tt/2YPA3ZQ
July 01, 2020 at 08:10AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jejak Polri Basmi Korupsi di Indonesia"
Posting Komentar