Dinda, seorang karyawati swasta di Jakarta Selatan pusing memikirkan nasib kakaknya, Aditya (bukan nama sebenarnya). Aditya dinyatakan positif virus corona (Covid-19) usai melakukan tes swab mandiri.
Dinda bercerita, kakaknya berinisiatif melakukan swab tes mandiri di salah satu rumah sakit di Jakarta, karena khawatir tertular dari kerabatnya yang telah wafat dan dinyatakan positif Covid-19.
"Kakakku 54 tahun laki-laki, punya komorbid hipertensi sama diabetes tipe satu. Dia sempat menjenguk pasien Covid-19, karena dia merasa enggak enak badan maka dia memutuskan swab mandiri bersama istrinya," kata Dinda saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (13/8).
Swab dilakukan pada Selasa (11/8), hasil swab dengan biaya Rp2.050.000 itu keluar pada Rabu (12/8), dari hasil itu Aditya terkonfirmasi positif sementara istrinya dinyatakan negatif covid-19.
Namun, petugas rumah sakit hanya memberikan hasil swab tanpa menjelaskan lebih lanjut langkah yang harus dilakukan Aditya sebagai pasien konfirmasi positif Covid-19.
"Kita cuma terima surat hasil swab, sudah telat suratnya, harus diambil sendiri dan ketika positif tidak ada penanganan lebih lanjut, surat diberikan gitu saja, tambah lagi hasil tes yang harusnya keluar satu hari yang sama tapi lebih dari 24 jam," kata Dinda.
Tanpa pemberitahuan apapun dari rumah sakit tempat Aditya swab, Dinda langsung mencari rumah sakit untuk merawat sang kakak. Ditemani dengan kerabat yang lain, Dinda, dan Aditya langsung mencari rumah sakit pada Rabu malam.
"Kami putuskan pergi ke RS rujukan di Jakpus, sebab kami dengar RS rujukan di Jaktim sudah penuh," katanya.
Infografis Daftar Rumah Sakit Rujukan Virus Corona. (CNNIndonesia/Basith Subastian)
|
Dinda tiba Rabu (12/8) tengah malam di RSPAD Gatot Subroto, ia sudah siap menerima jika sang dokter menyarankan kakaknya untuk isolasi mandiri meskipun memiliki komorbid dan gejala sakit demam. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Dinda ternyata mendapat informasi bahwa kakaknya tidak dapat diperiksa karena kondisi rumah sakit yang penuh.
"Di IGD kami masuk, kami jelaskan ke dokter di IGD bahwa kakak kami sudah swab dan positif, tapi dokter jawab tidak bisa memeriksa karena kondisi RS sudah penuh," kata Dinda.
Padahal, ia berharap setidaknya sang kakak dapat diperiksa kondisi kesehatannya lebih dahulu. Jika memang sang dokter meminta untuk isolasi mandiri, Dinda dan keluarga sudah siap merawat dengan arahan dan protokol yang ditetapkan.
"Kami bilang, 'Enggak bisa dok dilihat dulu keadaannya, dikasih resep obat atau vitamin, jika harus dirawat di rumah apa yang harus kami lakukan', tapi dokter menjawab tidak bisa begitu karena menyalahi SOP, katanya harus ada pemeriksaan menyeluruh, setelah itu jika harus dirawat maka RS harus merawat sementara di RSPAD enggak ada bedanya," ucap Dinda.
Mendengar informasi tersebut, Dinda kemudian meminta rekomendasi rumah sakit yang bisa memeriksa sang kakak. Dokter RS tersebut menyarankan untuk pergi ke RS Persahabatan.
Namun setelah Dinda melakukan kontak melalui telepon dengan RS Persahabatan, ternyata kondisinya sama. Dinda diminta mencari RS lain untuk merawat kakaknya.
Tidak hilang akal, ia kemudian mencari RS rujukan lainnya. Dinda mendapat kabar dari sejawatnya untuk mencoba memeriksakan kakaknya ke RS Pertamina Jaya. RS Pertamina Jaya merupakan salah satu rujukan Covid-19 di Jakarta Timur.
Dari RSPAD di Jakarta Pusat, malam itu ia pergi ke RS Pertamina Jaya di Jakarta Timur dengan harapan kakaknya bisa mendapat perawatan lebih mudah karena merupakan warga Jakarta Timur.
Namun ternyata, ia justru mendapat tolakan bahkan sebelum menginjakkan kaki di lobi rumah sakit. Saat masuk pintu parkir, Dewi bercerita dicegat oleh sekuriti dan ditanya soal tujuan kedatangan.
"Kami sampai di Pertamina Jaya pukul satu malam, tapi kami enggak tau prosesnya di Pertamina Jaya, wong masuknya saja sudah dicegat oleh sekuriti menanyakan surat rujukan, wah enggak ada, kami baru mau ke rumah sakit," kata Dinda.
Sekuriti tersebut kemudian mengatakan perlu ada rujukan untuk masuk Pertamina Jaya, Dinda disarankan mencari rumah sakit lain yang bisa memberikan rujukan.
Dini hari itu, Dinda masih mencari rumah sakit rujukan di daerah Jakarta Timur. Tidak jauh dengan lokasi RS Pertamina Jaya, ada dua rumah sakit swasta yang hendak ia datangi.
"Selama bolak balik RS itu, kakak tidak turun dari mobil ya, hanya saya dan om saya," kata Dinda.
Ia juga kemudian pergi ke RS Swasta yang berjarak tidak jauh dari RS Pertamina Jaya. Di sana, Dinda juga ditolak.
"Saya sampaikan maksud saya tadi, kemudian dokternya bilang 'mohon maaf kami sebenarnya tidak terlalu paham kalau ada pasien covid prosedurnya bagaimana, karena ini hasil swabnya bukan dari RS ini. Jadi kami tidak bisa merujuk'," kata Dinda menirukan kalimat petugas rumah sakit.
Dinda diberitahu oleh petugas tersebut, untuk kembali ke rumah sakit yang telah mengeluarkan hasil swab karena hanya RS tersebut yang bisa memberikan rujukan.
Ia pulang dengan tangan kosong. Kamis (13/8) pagi, ia ditemani keluarga dan kakaknya pergi ke RS Universitas Indonesia (RSUI) tempat sang kakak melakukan swab. Setibanya di sana, Aditya masuk IGD dan langsung diperiksa oleh dokter.
Pagi itu hasil pemeriksaan menunjukkan ada masalah pada jantung Aditya. Ia harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki kemampuan untuk memonitor jantung.
"Kami minta carikan bed di sini di RSUI. Tapi mereka enggak merawat pasien Covid-19, jadi ini rumah sakit kesekian yang menolak kami," kata Dinda.
Hingga pukul 13.00 WIB Kamis, sang kakak masih berada di IGD RSUI sambil menunggu rumah sakit rujukan. Kabar baik muncul pada sore, Dinda mengatakan RS UI akhirnya membuka kamar rawat untuk isolasi Covid-19.
"Akhirnya RS UI membuka kamar rawat untuk isolasi covid. Tadinya pembiayaan pribadi. Tapi karena dinyatakan positif dikonsultasikan ke Kemenkes dan kabarnya akan dibiayai pemerintah," kata Dinda.
Dinda telah melalui pengalaman sulit mencari rumah sakit rujukan Covid-19. Ia berharap tidak ada lagi orang yang mengalami nasib serupa seperti dirinya.
"Karena ini kami posisinya tidak terlalu sulit, dalam arti ada mobil, ada pulsa, jadi mungkin tidak sesulit warga lain yang butuh banget, bahkan kalau misalnya harus bayar layanannya pun mungkin masih sanggup. Tapi warga lain bagaimana, jadi ini harus diperjelas, alurnya bagaimana kalau ditolak di suatu tempat," ucap Dewi.
Wakil Kepala RSPAD Gatot Subroto, Brigadir Jenderal TNI Budi Sulistya mengakui saat ini ruang ICU untuk perawatan pasien Covid-19 sedang penuh. Diharapkan pasien dengan gejala ringan dapat isolasi mandiri, sementara untuk gejala berat dapat mencari RS rujukan lain.
"Memang banyak, untuk saat ini kondisinya ICU Covid kami sedang penuh, jadi untuk kasus yang sangat berat jangan ke RSPAD karena saat ini sedang penuh, bisa ke RS rujukan lain," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/8).
Sementara Direktur RSUP Persahabatan, Rogayah mengatakan rumah sakitnya memang sempat penuh dengan pasien Covid-19, namun pihaknya masih menerima pasien rujukan.
"Memang penuh tapi nanti berkurang, terus ada lagi yang masuk pasien yang terkena Covid-19. Sehingga masih bisa menerima pasien Covid-19," ucapnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria sebelumnya memastikan kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 masih mencukupi. Namun, ia mengakui ada peningkatan jumlah pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit.
"Tidak overload. Kapasitas (tempat tidur) kami lebih dari cukup. Memang ada peningkatan dari 45 menjadi 55 persen," kata Riza saat dikonfirmasi, Rabu (12/8).
Jakarta saat ini memiliki 59 rumah sakit rujukan, dengan kapasitas 4.556 tempat tidur, dan 659 ICU yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
Riza memastikan bahwa dengan kapasitas tempat tidur di rumah sakit saat ini, pasien positif Covid tidak akan ada yang terbengkalai.
(mel/ugo)https://ift.tt/2Q3TMQl
August 14, 2020 at 08:18AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita Pasien Covid-19 Ditolak Tiga Rumah Sakit di Jakarta"
Posting Komentar