Tentu saja yang saya maksud berburu bukan menembak dan membawa Cendrawasih pulang. Melainkan mengintip aktivitas Cendrawasih di alam liar.
Burung bernama latin Paradisaeidae ini jumlah populasinya kian menurun. Tercatat saat ini hanya ada 2-3 ekor setiap kilometer, turun drastis dari era awal 2000-an yang mencapai 15 ekor per kilometer.
Nah, untuk menemukan Cendrawasih, saya harus belusukan ke belantara Papua Barat. Nunggou Bird Watch terletak di hutan yang jaraknya 40 menit dari Distrik Sausapor.Matahari belum terbit saat saya bersiap berangkat ke sana. Pasalnya waktu terbaik mengunjungi Cendrawasih adalah pukul 06.00 WIT hingga 08.00 WIT saat mereka sedang aktif bermain.
Namun karena saya berangkat bersama rombongan, saya harus menunggu orang lain. Alhasil, kami baru bisa berangkat pukul 06.15 WIT. Ya, matahari sudah jelas tampaknya.
Saya berangkat menumpang mobil kabin ganda bersama tiga rekan saya. Medan yang akan ditempuh cukup curam dan berbatu.
Setelah 30 menit perjalanan, kami masuk ke hutan. Jalanan masih lebar sehingga mobil masih bisa masuk.
Namun tak ada lagi jalan beraspal, semua jalan berbatu dan berlumpur. Beberapa kali mobil saya harus menyeberangi sungai yang cukup deras. Sensasi off road begitu terasa di titik ini.
Jika sampai di titik itu, jangan lupa memandangi kanan-kiri jalan. Dan jangan lupa untuk menjaga keheningan.
Anda akan bisa mendengarkan nyanyian para Cendrawasih! Selain Cendrawasih, di hutan ini disebut ada sekitar 40 spesies burung, sehingga nyanyian sepanjang jalan begitu berwarna.
Pohon-pohon besar nan rindang dan alam yang sunyi juga akan menyapa yang datang di sana. Suasana yang mengingatkan saya pada Isla Nublar dari film Jurassic Park.
Hutan di distrik Miyah, Tambrauw, Papua Barat. (Dok. Kementerian Pariwisata)
|
Tak lama, saya sampai di pintu masuk sarang Cendrawasih. Jangan bayangkan seperti kebun binatang yang bisa dengan mudah dinikmati.
Saya masih harus berjalan 400 meter secara vertikal alias mendaki. Jalur yang dilalui juga masih mengundang adrenaline: jalan hutan tanpa satu pun anak tangga.
Maklum, tempat ini baru dibuka sekitar tiga tahun. Rombongan saya adalah yang keempat sampai di sini, sebelumnya ada beberapa rombongan turis mancanegara yang datang duluan. Jadi bisa dibilang sarang Cendrawasih ini masih sangat perawan.
Saya sarankan yang ingin berkunjung ke sini agar menggunakan sepatu gunung. Tongkat kayu juga sangat membantu menopang badan untuk memijak langkah di fase ini.
O ya, jangan mengenakan pakaian berwarna terang dan wewangian. Cendrawasih mudah mendeteksi hal asing tersebut dan malah menghindari Anda.
Sepanjang pendakian, saya tak boleh banyak cakap. Pemandu meminta saya hening karena Cendrawasih di sini masih belum terbiasa dengan manusia. Mereka mudah terusik dan kabur.
Untuk pria dengan berat 100 kilogram dan jarang olahraga seperti saya, jalur pendakian ini menyita banyak sekali energi. Saya beberapa kali memutuskan beristirahat karena perjalanan sangat melelahkan.
Saya dan rombongan butuh sekitar 20 menit guna mencapai pos pemantauan Cendrawasih. Di tempat ini bisa memandangi aktivitas Cendrawasih secara leluasa.
Sesampainya di pos pemantauan, saya beberapa kali mengambil video dan foto. Kami diharuskan menunggu karena tak ada cara lain untuk bisa bertemu si burung surga.
Sekitar 30 menit saya dan rombongan tak melihat apa-apa. Suara Cendrawasih yang bersahutan seakan mengejek kami yang datang kesiangan.
Hampir kami putus harapan. Lalu tiba-tiba seorang pemandu mengomandokan untuk jangan berisik.
"Itu," ucapnya berbisik seraya menunjuk ke pepohonan.
Tiga burung Cendrawasih sedang mampir di dekat kami. Mungkin jaraknya hanya 15 meter. Namun mereka singgah tak lama, mungkin karena menyadari keberadaan kami.
Duh. Bahkan kamera saya belum berhasil membidik mereka. Hanya suara mereka saja yang tertangkap sangat jelas.
"Sudah terlalu siang, kalau mau kita naik ke atas lagi," kata seorang pemandu bernama Niko Yohanes Naw.
Rombongan saya memutuskan untuk menyudahi pencarian karena masih harus menemui Bupati Tambrauw Gabriel Asem di Sorong.
Sayang memang. Namun setidaknya bertemu tiga ekor burung surga bisa mengobati lelahnya penantian kami.
Terima kasih, Cendrawasih!
(dhf/ard)
https://ift.tt/2HCf1pV
March 25, 2019 at 12:00AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Berjalan Vertikal Demi Bersua 'Burung Surga'"
Posting Komentar