Bali United, Secercah Harapan di Tengah Karut-marut

Jakarta, CNN Indonesia -- Senin, 17 Juni 2019, jadi hari yang bersejarah bagi Bali United dan persepakbolaan Indonesia. Tepat di hari itu untuk kali pertama ada klub sepak bola di Indonesia yang masuk ke pasar modal.

Bali United merupakan kesebelasan pertama yang melakukannya di Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara. Tim yang digawangi dua bersaudara, Pieter Tanuri dan Yabes Tanuri, itu kini sejajar dengan klub raksasa China, Guangzhou Evergrande, yang juga sudah melantai di bursa efek.

Sejauh ini baru Serdadu Tridatu, julukan Bali United, dan Guangzhou yang berani masuk ke pasar modal dari benua Asia. Dalam skala yang lebih besar, Bali United kini sejajar dengan klub papan atas Eropa seperti Juventus maupun Manchester United.

Bali United yang dikelola PT Bali Bintang Sejahtera Tbk dengan kode saham BOLA melepas dua miliar lembar saham atau 33,33 persen dengan harga penawaran sebesar Rp175 per saham pada Senin (17/6) lalu. Mengutip dari prospektus perusahaan, perolehan dana dalam pencatatan perdana ini berada di kisaran Rp350 miliar.

Saat pencatatan hari kedua pada Selasa (18/6), saham BOLA melejit hingga Rp370 per saham dari harga perdana Rp175 per saham dan menyentuh batas atas auto reject.

Langkah yang dilakukan Bali United dengan melantai ke bursa tergolong berani sekaligus berisiko. Hal ini tidak lain karena iklim persepakbolaan di Tanah Air, bahkan untuk level kasta tertinggi, belum masuk kategori menggembirakan.

Bali United mendobrak sejarah sepak bola Indonesia.Bali United mendobrak sejarah sepak bola Indonesia. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Maraknya kasus pengaturan skor, penjadwalan kompetisi yang kerap berubah-ubah, kinerja wasit yang kerap dikeluhkan, hingga masalah yang kerap terjadi di federasi, dalam hal ini PSSI, adalah persoalan yang kerap muncul.

Padahal kompetisi yang bersih dan transparan, penjadwalan yang rapih, hingga wasit berkualitas bakal berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik yang ujung-ujungnya menguntungkan klub sebagai penggerak utama kompetisi itu sendiri.

Kepada CNNIndonesia.com, CEO Bali United, Yabes Tanuri, tak memungkiri adanya risiko di balik keputusan untuk masuk ke pasar modal. Beragam risiko itu sudah dicantumkan dalam dokumen prospektus perusahaan PT Bali Bintang Sejahtera. Mulai dari risiko kinerja kinerja dan popularitas klub, hingga risiko yang bersifat material: risiko peraturan federasi sepak bola dunia (FIFA) dan Asia (AFC), risiko perizinan maupun risiko sanksi yang diberikan PSSI.

"Risiko pasti selalu ada. Kalau dilihat sejarah memang pernah berhenti atau dualisme, tapi liga, klub selalu ada. Perusahaannya masih tetap ada. Memang ada risiko terjadi hal itu, tapi tetap akan didukung pemerintah untuk terus bergulir," ujar Yabes.

"Karena penduduk Indonesia mayoritas fan sepak bola. Boleh dibilang ini hiburan super massal dengan biaya yang lumayan murah," ia melanjutkan.

Karut-marut sepak bola Indonesia memang seolah tidak pernah selesai. Teranyar, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) sempat menunda untuk mengeluarkan izin rekomendasi penyelenggaraan Liga 2 2019 karena ada tunggakan gaji pemain yang belum tuntas.

Tercatat PSPS Riau, PSMS Medan, dan Sriwijaya FC masih menunggak gaji pemain mereka musim lalu. Nama kesebelasan terakhir merupakan peserta Liga 1 2018 yang terdegradasi akhir musim lalu.

Persoalan tunggakan gaji termasuk sulit punah dan hampir selalu mewarnai perjalanan kompetisi profesional di Indonesia; Liga 1 dan Liga 2.

Tak sedikit klub yang masuk pusaran klub yang menunggak gaji pemain meski berlabel profesional. Klub ibukota, Persija Jakarta pernah merasakan situasi ini pada 2015 karena tak membayar hak pemain selama tiga bulan.

Pada 2012, Persebaya juga pernah menunggak gaji sejumlah mantan pemainnya. Mulai dari Andik Vermansah, Fastabiqul Khoirot, hingga Aris Alfiansyah. Kemudian Persik Kediri pernah dilaporkan oleh empat pemainnya ke Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) karena menunggak gaji plus seperempat dari uang muka kontrak.

Bali United, Secercah Harapan di Tengah Karut-marut
Bahkan, persoalan tunggakan gaji ini tak jarang berujung laporan ke FIFA, khususnya yang melibatkan pemain asing. Situasi ini pernah dialami Persis Solo, Persija, Persebaya, dan Persikabo (sekarang PS Tira Persikabo).

Selain itu persoalan yang berpotensi menggerus kepercayaan publik atau sponsor untuk berinvestasi di sepak bola adalah kasus pengaturan skor yang nyata terjadi di sepak bola Indonesia. Ironisnya, kasus pengaturan skor ini menyeret dua Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Hidayat dan Johar Lin Eng, Anggota Komdis PSSI Dwi Irianto, hingga mantan pengelola Deltras Sidoarjo dan PS Mojokerto Putra, Vigit Waluyo.

Dua Anggota Exco, Hidayat dan Johar Lin Eng, bahkan sudah berada di balik jeruji besi karena tersangkut kasus pengaturan skor yang diusut oleh tim Satgas Anti Mafia Bola. Johar ditangkap karena adanya laporan pemberian mahar Rp1,3 miliar untuk pria yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) Jawa Tengah.

Sedangkan Hidayat terlibat kasus pengaturan skor di Liga 2 2018. Manajer Madura FC, Januar Herwanto, mengaku Hidayat pernah mencoba melakukan suap dengan meminta timnya mengalah ke PSS Sleman dalam laga di Stadion Maguwoharjo. Usai tersangkut kasus tersebut, Hidayat memutuskan mundur dari jabatan sebagai Exco PSSI karena ingin menjaga marwah federasi yang berdiri 19 April 1930 silam.

Empat tahun sebelumnya atau 2014, kasus pengaturan skor juga terjadi antara PSS melawan PSIS di pentas Divisi Utama. Kedua tim saling balas gol bunuh diri demi menghindari Borneo FC di fase delapan besar.

Faktor lain yang menjadikan ganjalan bagi sepak bola Indonesia adalah persoalan waktu kick-off kompetisi hingga jadwal pertandingan yang kerap bentrok dengan agenda tim nasional.

Bali United mengambil risiko dengan melantai di bursa efek.Bali United mengambil risiko dengan melantai di bursa. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)
Sudah bukan hal yang baru, kick-off kompetisi kerap molor hitungan pekan atau malah bulan karena alasan tertentu, salah satunya urusan verifikasi klub yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Hal ini sudah terjadi jauh sebelum klub tidak diperbolehkan menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk membantu setiap kesebelasan mengarungi kompetisi musim 2009 lalu.

Bahkan pada 2015 lalu kick-off kompetisi yang seharusnya berlangsung pada 20 Februari diundur. Kala itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyatakan PT Liga Indonesia (sekarang PT Liga Indonesia Baru) dan klub peserta belum memenuhi standar regulasi FIFA, AFC maupun Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

BOPI terus memberi tenggat waktu, tetapi PT LI tak kunjung memenuhinya. Pada 17 April 2015, kompetisi justru batal dihelat setelah FIFA menjatuhkan sanksi kepada PSSI karena intervensi yang dilakukan pemerintah.

Menariknya, beragam pekerjaan rumah yang dimiliki sepak bola Indonesia ini tidak membuat Bali United gentar melantai di bursa. Termasuk pula dengan melakukan transparansi keuangan, suatu pilihan yang tidak terlalu populer untuk klub tanah air.

Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi mayoritas klub-klub di tanah air menutup rapat perihal uang yang masuk dan keluar. Mulai dari besaran dana yang masuk dari sponsor, besaran gaji pemain dan ofisial tim, hingga laporan laba-rugi klub yang seharusnya dipublikasikan secara berkala.

Padahal transparansi keuangan ini bisa jadi bentuk pertanggung jawaban klub kepada sponsor dan publik, terutama suporter klub itu sendiri. Selain itu transparansi ini bisa jadi medium untuk menggandeng sponsor lebih banyak karena keterbukaan yang diperlihatkan sebuah klub. Stigma klub di Indonesia yang tertutup soal keuangan inilah yang coba dipatahkan Bali United.

Bali United, Secercah Harapan di Tengah Karut-marut
"Sebagai sebuah perusahaan, apalagi pemegang saham terbanyak, kami sudah terbiasa mengaudit laporan sejak awal. Yang penting laporan beres, pajak terbayar penuh. Kami kebetulan salah satu yang lumayan tepat waktu bayar pajak," tutur Yabes.

Sementara itu pengamat sepak bola Kusnaeni menilai langkah Bali United untuk go public layak untuk ditiru oleh klub-klub profesional lainnya, terutama yang kerap tersandung masalah finansial. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa masuk pasar modal bukan perkara gampang.

Setidaknya, ada tiga aspek yang dinilai Kusnaeni jadi kunci yaitu legalitas perusahaan, struktur manajemen yang rapih, dan rencana bisnis yang jelas.

"Go public adalah jalan keluar masalah kebutuhan finansial. Klub yang punya kesulitan dengan struktur finansial bisa ikuti langkah Bali United," ucap Kusnaeni. (jal/har)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2J6RHPo

June 23, 2019 at 03:10PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Bali United, Secercah Harapan di Tengah Karut-marut"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.