Akan tetapi, kejadian tersebut justru menjadi senjata bagi negara-negara seteru AS untuk menyerang balik.
Pemimpin Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menyatakan kasus yang menimpa Floyd adalah wujud sikap mendua AS soal hak asasi manusia.
"Mereka melakukan kejahatan secara terbuka, dan mereka tidak meminta maaf. Namun, dengan tetap tidak tahu malu mereka masih berbicara soal hak asasi manusia," kata Khamenei dalam pidato peringatan kematian pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ruhullah Khumaini.
"Slogan yang disampaikan oleh penduduk Amerika, yaitu 'Biarkan kami bernapas' atau "Kami tidak bisa bernapas' muncul dari dalam hari mereka yang paling dalam dan senada dengan negara-negara yang mereka tindas," ujar Khamenei, seperti dilansir Associated Press.
Menteri Luar Negeri Iran, Muhammad Javad Zarif menyatakan mengecam cara AS menghadapi warga sipil yang melakukan unjuk rasa."Kami mengutuk pemerintah yang menggunakan taktik yang menekan pengunjuk rasa dengan pemenjaraan dan mengabaikan rasa frustasi penduduk AS," kata Zarif.
Padahal pada November 2019 lalu, pemerintah Iran juga menghadapi gelombang unjuk rasa dengan mengerahkan aparat keamanan. Mereka menangkap ribuan orang, membunuh ratusan orang serta memutus jaringan internet.
Menurut catatan lembaga pemantau HAM, Human Rights Watch, pemerintah Iran kerap membui aktivis yang memiliki pandangan politik berseberangan atau mengkritik kebijakan negara hingga pegiat lingkungan.
China yang tengah bertarung sengit dengan AS di kancah politik dunia, mulai dari perang dagang hingga saling menyalahkan soal pandemi virus corona, juga menggunakan kesempatan ini untuk menyerang.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, mengatakan hal tersebut juga menggambarkan sikap pemerintah AS yang tidak pernah konsisten mengurus persoalan hak asasi manusia, serta memperlihatkan masalah rasisme dan kekerasan polisi di negeri Paman Sam yang terus menerus terjadi.
"Kehidupan orang kulit hitam juga adalah masalah hidup. Hak asasi manusia mereka juga harus dijamin," ujar Zhao.
Di sisi lain, China juga dinilai memiliki cela ketika menghadapi aksi unjuk rasa di Lapangan Tiananmen pada April 1989, yang menewaskan ribuan demonstran.
Saat itu, para demonstran menuntut supaya praktik korupsi politik dan nepotisme di tubuh Partai Komunis China diakhiri.Mereka juga meminta pemerintah melakukan reformasi ekonomi dan menangani inflasi.
Rusia yang juga menjadi seteru AS ikut berkomentar terkait gejolak yang terjadi di negara itu.
"Amerika Serikat mempunyai masalah hak asasi yang terus menumpuk, yakni diskriminasi ras, etnis, dan agama, kekerasan polisi, sistem keadilan yang bias, penjara yang penuh, itu hanya beberapa di antaranya," demikian isi pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia.
Aksi demonstrasi solidaritas di New York atas kematian warga kulit hitam di AS, George Floyd. (AP/Alex Brandon)
|
Rusia juga dilaporkan menindak keras kelompok oposisi yang menentang pemerintahan. Bahkan, tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny, dilaporkan sempat ditangkap dan dibuang ke Siberia.
Korea Utara yang juga berseteru dengan AS turut mengomentari tentang kejadian yang menewaskan Floyd.
"Para demonstran marah oleh sikap rasisme ekstrem yang memadati bahkan hingga Gedung Putih. Ini adalah kenyataan AS saat ini. Liberalisme dan demokrasi Amerika membiarkan polisi menghadapi demonstran dan bahkan mengancam melepaskan anjing untuk menindas (mereka)," ujar juru bicara Departemen Hubungan Luar Negeri Partai Buruh Korea (WPK). (ayp/ayp)
https://ift.tt/3cG6qhi
June 05, 2020 at 07:10AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Demo George Floyd dan 'Peluru' Bagi Para Seteru AS"
Posting Komentar