Maklum saja, kebijakan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu membuat bank tidak menerima aliran dana dari pengembalian cicilan kredit yang sudah diberikan ke nasabah. Akibatnya, likuiditas bank akan terganggu.
Padahal, bank tetap membutuhkan likuiditas untuk melangsungkan pelayanan keuangan lain. Misalnya, penyaluran kredit baru hingga penarikan dana dari simpanan masyarakat.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani melihat kebijakan suntikan dana kepada bank jangkar memang perlu segera dilakukan pemerintah. Sebab, tekanan likuiditas akibat restrukturisasi kredit sudah terjadi di perbankan saat ini. Tak heran, katanya, muncul isu kesulitan penarikan dana atas simpanan nasabah belum lama ini. "Meski ini baru isu tapi jangan sampai menular. Kasus semacam ini tidak boleh terulang, apalagi kalau orang sampai benar-benar tidak bisa ambil uang," ucap Avi kepada CNNIndonesia.com, Senin (15/6).
Menurutnya, apabila skema bank jangkar sudah berlaku, perbankan akan memanfaatkan kebijakan tersebut. Kendati demikian, hal ini tak serta merta memberi celah penyalahgunaan penempatan dana pemerintah di bank.
Sebab, pemerintah hanya memberi kesempatan kepada beberapa bank saja untuk menjadi bank jangkar. Selain itu, pemerintah juga menerapkan syarat ketat bagi bank jangkar yang nantinya turut mendapat tugas untuk mengalirkan penyangga likuiditas ke bank pelaksana.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana pada Bank Peserta dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Aturan itu merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.Dari kedua beleid itu disebutkan bahwa skema bank jangkar hanya bisa diterapkan kepada bank umum yang berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia, dan paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh WNI. Selain itu, bank juga harus masuk kategori 15 bank beraset terbesar dan sehat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Ketentuannya cukup ketat, sehingga ketidaktepatsasaran diharapkan tidak terjadi. Tapi masalahnya ini harus cepat, mekanismenya pun kalau bisa jangan terlalu panjang, bisa sambil jalan," ujarnya.
Menurut Avi, poin penting pada kebijakan ini bukan sekadar mencegah penyelewengan penggunaan dana, namun lebih ke seberapa cepat kebijakan ini mampu menjawab tantangan likuiditas bank. Maka dari itu, penerapan skema kebijakan ini perlu segera mungkin.
Bank jangkar akan menerima penempatan dana dari pemerintah untuk menambah likuiditas. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
|
"Jadi bisa dilihat dulu saja, berapa nilai restrukturisasi kredit yang sudah diberikan bank kepada nasabah, misalnya sudah Rp500 miliar, nah gunakan acuan itu untuk memberi likuiditas sebesar itu ke bank, sambil verifikasi dijalankan," ungkapnya.
"Mekanismenya jangan terlalu panjang juga, karena restrukturisasi kredit sudah berjalan sejak Aprl-Mei 2020. Likuiditas itu kan bicara menit, bicara detik," sambungnya.
Selain itu, Avi turut menggarisbawahi agar persoalan tingkat bunga dan margin yang diberlakukan. Dalam skema bank jangkar, pemerintah akan menempatkan dana dalam bentuk deposito dan sertifikat deposito.
Penempatan berdurasi enam bulan dan bisa kembali diperpanjang. Bunga atas dana tersebut setara bunga Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli Bank Indonesia (BI) dikurangi besaran burden sharing BI.Sebagai gambaran, saat ini bunga SBN berkisar 6 persen sampai 7 persen. Sementara besaran burden sharing akan ditentukan oleh bank sentral nasional. Sedangkan rata-rata bunga deposito bank sekitar 5,5 persen pada akhir kuartal I 2020.
"Kalau bisa ini jangan lebih mahal dari bunga deposito, apalagi ada risiko yang ditanggung bank pelaksana. Kalau bunganya lebih tinggi dari deposito, maka mungkin bank pikir lebih baik cari dana di deposito nasabah saja," katanya.
Lalu, untuk margin antara penempatan dana pemerintah di bank jangkar ke bank pelaksana maksimal 3 persen. "Ini kalau bisa jangan terlalu tinggi, paling tidak bantu pemerintah untuk restrukturisasi," imbuhnya.
Senada, Ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan kebijakan bank jangkar sudah tepat, namun perlu dipercepat implementasinya. Aturan pun kalau bisa jangan terlalu ketat, asal tepat sasaran dan tetap antisipatif."Kalau terlalu ketat nantinya sulit bagi bank untuk memenuhinya. Misalnya, kalau persyaratan bank untuk mengajukan bantuan likuiditas adalah bank pelaksana yang sehat dan sangat sehat, maka kemungkinannya akan sedikit bank yang akan memanfaatkan fasilitas ini," jelasnya.
Sementara, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan aturan pemerintah soal bank jangkar sejatinya sudah cukup baik untuk membantu likuiditas perbankan dan menghindari penyalahgunaan. Aturan 'aman' ini juga tercermin dari peran BI yang dapat mendebit rekening giro dari bank pelaksana tersebut dalam rangka melakukan pembayaran kembali kepada bank jangkar.
"Dengan kombinasi kebijakan BI ini, maka dapat memitigasi risiko ketidakmampuan bank pelaksana untuk melakukan pembayaran kembali kepada bank jangkar," tuturnya.
Selain itu, ketentuan profil sehat dari OJK juga cukup menjamin. Sebab, turut mempertimbangkan kondisi solvabilitas dan likuiditas bank.Tak ketinggalan, sambung Josua, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga melakukan pengawasan kepada bank jangkar dan bank pelaksana. Bila hal ini dilakukan, ia percaya kekhawatiran nasabah akan masalah kesulitan penarikan dana di bank pun tidak akan terjadi.
"Kondisi likuiditas perbankan yang secara umum masih dalam kondisi yang ample (cukup) dan tidak sampai menyebabkan dampak psikologis yang negatif pada nasabah bank," pungkasnya.
(sfr)https://ift.tt/3eiAmSh
June 16, 2020 at 08:56AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Melihat Peran Bank Jangkar di Tengah Isu Tarik Dana Nasabah"
Posting Komentar