Dengan menggunakan one man one vote, hak pilih sangat penting. Satu suara orang pinggiran yang ada pelosok sama nilainya dengan seorang profesor yang sering muncul di televisi. Menyelamatkan satu suara berarti menjaga nafas demokrasi kita lebih panjang.
Di tengah-tengah pandemi, Pilkada 2020 dirancang berprotokol Covid-19. Artinya, menghindari pertemuan langsung dengan pemilih dalam tahapan pemutakhiran data pemilih.
Opsi ini bagai buah simalakama. Di satu sisi pertemuan langsung bisa berpotensi menularkan virus, tapi tidak bertemu langsung akan melahirkan kerentanan akurasi daftar pemilih.
Bawaslu sendiri sebenarnya telah memiliki sikap jelas, bahwa tahapan pilkada yang dilakukan di tengah pandemi berpotensi menyuburkan malparaktik. Salah satunya adalah dalam pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih - salah satu poin yang krusial untuk dijaga dan diawasi.
Pada pemilu 2019, sebagaimana ditulis M. Afifuddin dalam buku Membumikan Pengawasan Pemilu, terjadi dua kali perubahan data pemilih. Mulai dari Daftar Pemilih Tetap, perbaikan pertama (DPTHP 1) sampai DPTHP 2. Hal ini karena ditemukan kegandaan pemilih, fungsi Sistem Informasi Data Pemilu (Sidalih) yang tidak maksimal, dan problem perekaman E-KTP.
Bahkan Bawaslu mencatatkan kegandaan pemilih mencapai 116.513 pemilih kasus pada Pemilu 2019. Sidalih sebagai sistem berbasis teknologi pun tidak mampu mendeteksi kegandaan itu. Perubahan dan perbaikan daftar pemilih ini sampai memakan waktu sekitar 60 hari.
Tentu daftar pemilih ini perlu dijaga dan diawasi. Ketepatan, akurasi daftar pemilih menentukan kualitas proses dan hasil pilkada 2020.
Masalahnya, pengalaman menjaga hak pilih dalam situasi normal akan berbeda dengan saat pandemi. Tantangannya juga akan tambah berat. Potensi dan celah malpraktek tambah lebar menganga. Inilah yang perlu kita tambal sulam.
Pemutakhiran data pemilih pada 2019 dilakukan dalam kondisi normal. Penyelenggara pemilu turun langsung untuk memastikan setiap pemilih mendapatkan hak konsitusionalnya. Data pemilih terverifikasi secara faktual.
Dengan mengacu data sementara dari pemilu 2019 di 270 daerah yang mengelar pilkada, jumlah pemilih sementara mencapai 105.396.460 jiwa. Itupun perlu didata kembali secara akurat tentang pemilih yang meninggal, pemilih pemula, data ganda, pemilih pindah domisi dan sejumlah kriteria pemilih yang lain. Angkanya terus bergerak seiring mobilitas pemilih.
Tantangan Akurasi Data
Situasi 270 daerah yang akan Pilkada 2020 berbeda-beda. Tantangannya juga tidak sama, terutama dalam konteks wabah Covid-19.
Wilayah-wilayah di Indonesia kini mendapatkan label zona hijau, kuning, oranye, merah, dan hitam dari Gugus Tugas Pencegahan Covid-19. Hitam dan Merah untuk yang memiliki risiko tinggi, oranye untuk risiko sedang, kuning untuk risiko rendah atau kurva telah melandai, sementara zona hijau yang tidak memiliki kasus positif.
Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) pun masih diterapkan di berbagai kota besar, meski telah memasuki fase transisi. Di Surabaya misalnya, salah satu kota yang akan menyelenggarakan pilkada, pembatasan tidak hanya dalam skala kota saja, tetapi gang-gang sempit dibatasi secara mandiri oleh warga. Kota ini petanya sudah berubah jadi hitam. Tentu saja, akan berdampak pada proses pemutakhiran data pemilih.
Selain Covid-19, tantangan lainnya adalah masih belum meratanya infrastruktur digital. Bawaslu mencatat terdapat 1.338 Kecamatan di daerah penyelenggara pilkada yang memiliki kendala jaringan internet. Di antara kabupaten/kota yang memiliki kendala merata adalah Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke, Sintang, Kepulauan Aru, Bulukumba, Morowali Utama, Samosir, Kaimna, Asmat dan Kepulauan Talaud.
Metode daring tentu tidak bisa digunakan untuk memutakhirkan daftar pemilih di sana. Petugas harus turun langsung memeriksa data secara akurat dengan cara manual.
Sementara di sisi lain, masih banyak daerah yang akses geografisnya cukup sulit. Di Jawa Timur misalnya, Kabupaten Sumenep merupakan daerah dengan pemilih yang tersebar di banyak pulau. Perjalanan pulau terjauh bisa mencapai waktu 24 jam lamanya.
Petugas yang datang masih juga dihadapkan dengan psikologi publik saat pandemi. Banyak masyarakat memilih berada di rumah dan membatasi diri untuk berinteraksi dengan orang luar. Ketika ada petugas datang untuk memutakhirkan data pemilih misalnya, maka tidak menutup kemungkinan untuk menghindar dan tidak mau didata.
Yang patut diwaspadai, ketika pemutakhiran data pemilih tidak dilakukan secara faktual, kita tidak ingin data diselesaikan secara sembarangan. Sekali lagi, malpraktek itu harus diantisipasi dan waspadai bersama.
Jalan Tengah
Di tengah pandemi, ide-ide baru harus terus lahir dan mampu menembus masalah. Melakukan deteksi dini merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Kita ingin pilkada tetap berjalan lancar dan berintegritas, walau dalam situasi dan kondisi apapun.
Jauh sebelum kasus Covid-19 terus melonjak seperti sekarang, pada awal Maret 2020 Bawaslu telah mengidentifkasi bahwa virus ini akan menjadi kerawanan baru dalam pilkada. Ternyata, kini terbukti tahapan pilkada dijalankan dengan protokol Covid-19 di tengah ancaman kesehatan.
Sebenarnya pola penyebaran Covid-19 sudah mulai tampak terlihat. Penularan Covid-19 terjadi di kota besar dengan basis industri dan pusat perekonomian. Kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo yang akan juga memulai tahapan pilkada memiliki angka penularan kasus cukup tinggi.
Sementara kabupaten lainnya di Jawa Timur seperti Banyuwangi dan Sumenep, pola penularan Covid-19 lebih lambat. Walaupun angka kasus terus bergerak, tetapi tingkat penularannya tidak secepat dibanding kota pusat industri dan perekonomian.
Secara garis besar, kota besar yang menjadi pusat perekomian dapat kita lihat sebagai daerah dengan infrastruktur digital yang merata. Aksesnya juga lebih mudah. Berbeda dengan kabupaten yang jauh dari ibu kota provinsi. Ada daerah dengan geografis yang sulit dan jaringan internet terbatas.
Dengan menggunakan kaidah fiqih ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (Jika tidak di dapat seluruhnya jangan tinggal seluruhnya), maka jalan tengah yang bisa dilakukan untuk pemutakhiran data pemilih adalah dengan mempertimbangkan pola dan tingkat penularan tinggi dan rendah.
Pemberian warna oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk daerah yang zona hijau, kuning dan merah dapat menjadi role model pemutakhiran data pemilih.
Untuk daerah pilkada yang zona merah, memaksimalkan teknologi harus jadi pilihan utama. Sidalih perlu upgrade untuk bisa membaca langsung kegandaan pemilih. Sementara itu, daerah pilkada dengan kategori zona kuning, maka petugas perlu bekerja keras untuk memastikan pemilih secara faktual dengan protokol Covid-19 yang ketat. Pun demikian dengan daerah zona hijau, dapat sedikit leluasa untuk tetap door to door memutakhirkan data pemilih.
Pilihan strategi untuk tempat yang berbeda-beda ini menjadi niscaya dilakukan. Sebagaimana kita juga melihat ada beberapa daerah yang tetap ketat melakukan PSBB, ada yang melonggarkan, dan ada pula yang sudah siap menuju new normal.
Pilkada yang kita jalankan juga dengan new normal. Strategi dan taktik setiap petugas berkoordinasi dengan Gugus Tugas merupakan langkah adaptif untuk menjaga hak pilih. Nyala semangat menjaga hak pilih di seluruh negeri tetap harus dijaga.
Kerja petugas pemutakhiran data pemilih akan menjadi gayung yang bersambut manakala ditopang oleh kesadaran pemilih untuk mengecek hak pilihnya secara mandiri.
Solidaritas demokrasi harus kita lakukan ditengah kita bersama-bersama berjuang mewujudkan pilkada berkualitas dan berintegritas dalam kondisi pandemi.
(vws)
https://ift.tt/3e32ubz
June 15, 2020 at 09:06AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menjaga Hak Pilih Pilkada di Tengah Corona"
Posting Komentar