Pada 13 Juli 2020, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut prediksi puncak pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia pada Agustus-September nanti.
Sebelumnya, ia sempat pula menyebut puncak corona diperkirakan terjadi pada Mei-Juni tahun ini, sehingga mulai melandai pada Juli.
Bukan tanpa alasan, ada perubahan dari prediksi Jokowi tersebut karena jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 yang kian hari terus melonjak hingga saat ini. Bahkan, setelah terjadi pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menuju adaptasi kebiasaan baru (AKB) di sejumlah wilayah.
Jokowi pun mengakui prediksi terkini yang ia sampaikan pun bisa saja berubah jika ada kegagalan dalam pengendalian penularan Covid-19. Oleh sebab itu, dia mendorong para menterinya untuk bekerja lebih keras.
Menyikapi itu, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai pemerintah dapat melakukan mitigasi apabila sudah memiliki patokan dan tujuan yang jelas. Menurut dia penanganan pandemi dalam virus apapun selama ini tidak pernah berbeda. Sehingga, pemerintah hanya perlu memaksimalkan upayanya untuk dapat mengendalikan virus itu.
"Kan yang penting aksi. Karena apapun pedoman, apapun prediksi yang kita lakukan tentu intinya adalah bagaimana memitigasi atau mencegah dampak terburuk," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/7).
"Mau ada perubahan pedoman sekalipun, intinya strategi utama itu tidak berubah," imbuhnya.
Dia mengingatkan agar pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dalam menangani pandemi, perlu melakukan intervensi untuk melakukan testing (pengujian), tracing (pelacakan), dan isolasi. Tiga hal tersebut, tegasnya, yang perlu dimaksimalkan sehingga prediksi puncak pandemi itu dapat terwujud.
Dari segi pengujian, Dicky menyoroti kurang tersebarnya kapasitas tes Covid-19 di seluruh Indonesia. Menurutnya, dalam hal ini jumlah pengujian yang masif dalam skala nasional masih banyak terpusat di wilayah-wilayah besar seperti DKI Jakarta dan bagian Pulau Jawa lainnya. Sehingga, kata dia, banyak daerah yang belum dapat merasakan pelacakan secara masif. Padahal, pandemi telah berlangsung selama kurang lebih empat bulan di Indonesia--sejak pasien Covid-19 pertama diungkap Jokowi pada 2 Maret lalu.
"Kan secara ideal 1 persen dari total penduduk. Itu minimal ya. Karena daerah-daerah lain pun harus diberi target serupa," ujar Dicky.
Jika merujuk pada data Gugus Tugas Penanganan Covid-19, hingga 15 Juli 2020 pukul 12.00 WIB, sudah ada 657.655 orang yang melakukan pengujian melalui real-time Polymerase chain reaction (PCR) ataupun Tes Cepat Molekuler (TCM). Sementara, dari jumlah itu, setidaknya ada 1.122.339 spesimen yang telah diperiksa.
Namun terakhir, diketahui baru wilayah DKI Jakarta yang memenuhi standar pengujian Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni, 10 ribu pemeriksaan untuk 1 juta penduduk.
Masih merujuk pada data tersebut, persentase kasus positif di Indonesia pun dapat dikatakan masih terlampau tinggi, yakni 12,2 persen dengan total kasus konfirmasi 80.094 orang.
Oleh sebab itu, menurut Dicky, data pemerintah tersebut perlu menjadi perhatian.
"Itu menggambarkan masih banyak kasus positif di masyarakat yang belum terdeteksi. Jadi Indonesia ini ketika testnya banyak kasusnya memang banyak. Ketika testnya kecil, kasusnya juga menurun," kata pengajar di salah satu Universitas di Australia itu.
Atas dasar itu, menurutnya sejumlah arahan Presiden yang telah diungkapkan selama ini perlu diubah menjadi sebuah langkah strategis untuk mengantisipasi bulan-bulan rawan ke depannya. Itu semua pun, kata Dicky, perlu mendapat respons kebijakan yang bersinergi antar Kementerian/Lembaga yang dikoordinasi lewat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Anggota komunitas Transjakarta melakukan sosialisasi mengingatkan warga agar selalu menaati protokol kesehatan saat menggunakan transportasi publik di tengah wabah Covid-19. )CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
|
Dihubungi terpisah, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah perlu konsisten dalam menerapkan kebijakan untuk dapat mewujudkan prediksi yang acap kali dilontarkan itu.
Dia mengatakan prediksi itu tolok ukur dan tujuan bagi pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan. Artinya, kata dia, prediksi tersebut seharusnya dibuat secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Jadi tidak semata-mata memberi tanda petik, seperti menakut-takuti masyarakat. Gitu kan," kata Trubus saat dihubungi.
"Dalam hal ini, memfokuskan penanganan supaya tidak mengalami peningkatan," imbuhnya.
Menurut Trubus patut diakui hingga saat ini pemerintah masih terkesan 'panik' dalam mebuat kebijakan-kebijakan strategis untuk penanganan Covid-19 ini. Misalnya, kata dia, mengendurkan penerapan PSBB dengan mempopulerkan istilah New Normal yang kemudian dikoreksi jadi Adaptasi Kebiasaan Baru.
Hanya saja, sambungnya, tidak terlihat persiapan khusus yang memadai sehingga membuat masyarakat Indonesia dapat siap menyambut tatanan kehidupan baru itu. Pasalnya, dalam fase ini, seharusnya masyarakat sudah terbiasa dengan sejumlah protokol kesehatan, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi strategis dapat terus berjalan.
"Sosialisasi, pendekatan hukumnya, edukasi. Tapi yang sekarang di masyarakat terjadi kan normalnya saja," kata dia.
Menurut Trubus, kini masyarakat menjadi abai dan lengah karena pembukaan sejumlah kegiatan-kegiatan. Hal itu tidak hanya terbatas pada kegiatan primer saja, melainkan beberapa hal sekunder yang bersifat hiburan pun sudah dapat diakses masyarakat.
Kepalang tanggung, menurut Trubus, pemerintah saat ini sudah tidak dapat mengancam masyarakat dengan memberikan kebijakan 'injak rem' atau mengetatkan kembali pembatasan-pembatasan yang sebelumnya telah terjadi.
Guna diketahui, pendekatan seperti itu mulai dilakukan sejumlah kepala daerah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya mengancam akan memberlakukan PSBB kembali secara penuh jika kondisi penambahan kasus terus melonjak.
Ancaman itu dikeluarkan lantaran tingginya lonjakan penambahan kasus di wilayah ibu kota negara tersebut. Anies pun memperingatkan warga Jakarta untuk tetap mematuhi protokol kesehatan sebagai pencegahan penularan Covid-19.
"Ya kalau menerapkan seperti itu, jelas itu tidak efektif karena sudah terlambat," kata Trubus.
"Masyarakat sudah terlanjut terbiasa saat ini beraktivitas. Di satu sisi tidak ada jaminan ekonomi juga, jaminan pengaman sosial itu kan tidak berjalan efektif," tambahnya.
Dia mengusulkan, pemerintah perlu melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelanggar-pelanggar protokol kesehatan. Pasalnya, meski sudah diberi relaksasi, namun aturan-aturan kesehatan tersebut masih paten harus dilakukan. Selain itu, pemerintah perlu mengurangi permainan diksi atau kata-kata dalam memopulerkan kebijakannya dalam penanganan corona ke masyarakat. Hal itu justru malah membuat publik semakin kebingungan lantaran pemerintah yang tak tahu arah.
"Jadi tidak perlu lagi berdebat dengan diksi-diksi lagi. Itu enggak perlu lagi, masyarakat jadi bingung," katanya.
Terakhir, usul dia, pemerintah perlu memberikan karantina khusus bagi klaster-klaster Covid-19 yang terbentuk di berbagai daerah. Misalnya, beberapa klaster yang seringkali muncul saat ini adalah pasar, perkantoran, tempat umum seperti stasiun, dan lainnya.
|
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan laporan terbaru pemetaan zonasi risiko Covid-19 hingga Minggu (12/7) kemarin, ada lebih dari 30 wilayah yang masuk dalam zona merah.
"Pada minggu ini, ada 31 kabupaten kota dengan risiko tinggi (zona merah), 177 kabupaten kota risiko sedang (zona oranye), 204 kabupaten kota risiko rendah (zona kuning), dan 48 kabupaten kota tidak ada kasus baru serta 54 kabupaten kota tidak terdampak (zona hijau)," ujar Wiku di Graha BNPB, Selasa (14/7).
Untuk diketahui, penentuan zona pada sebuah daerah berdasarkan pada indikator kesehatan masyarakat seperti indikator epidemiologi, indikator surveilans kesehatan masyarakat dan indikator pelayanan kesehatan.
Tingkat kematian di Indonesia pun sempat melampaui Amerika Serikat. Berdasarkan data 13 Juli, Indonesia berada di peringkat enam dengan persentase angka kematian 4,76 persen. Sementara AS di peringkat 10 dengan angka 4,09 persen.
(mjo/kid)https://ift.tt/2WsB604
July 17, 2020 at 10:14AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menanti Langkah Taktis Jokowi dan Sigap Menteri Lawan Corona"
Posting Komentar