Keputusan Presiden Joko Widodo menyerahkan penggarapan lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah kepada Kementerian Pertahanan dinilai melenceng dari tugas militer dan meniru gaya Orde Baru. Aturan yang lebih rinci mengatur soal operasi militer selain perang (OMSP) pun didorong.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto diberi mandat oleh Jokowi untuk membangun food estate seluas 178 ribu hektare di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
"Leading sector-nya ini nanti karena menyangkut cadangan strategis pangan maka akan diberikan ke Pak Menteri Pertahanan," kata Jokowi kala melakukan kunjungan ke Kalimantan Tengah yang juga didampingi Prabowo, pekan lalu.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan food estate merupakan upaya pemerintah untuk menghadapi ancaman non-militer di masa depan.
Ia pun menyinggung soal survei yang dilakukan oleh The Economist pada 2017 yang menyebut negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang memiliki ketahanan pangan lebih kuat daripada Asia karena memperlambat industrialisasi dan meningkatkan sektor ekonomi hijau.
"Maka negara, dalam hal ini Presiden, merevitalisasi logistik kita, pangan kita melalui food estate itu. Itu kesadaran itu kemudian tumbuh di era Covid-19 ini secara baik," kata Dahnil, dikutip dari Antara.
Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan Kementerian Pertahanan tak bisa memegang kendali keseluruhan ketahanan nasional termasuk soal ketahanan pangan.
![]() |
Sebab, Kementerian Pertahanan dan TNI, yang kendali anggarannya ada di Kemhan, hanyalah salah satu kontributor ketahanan nasional.
"Soal kontribusi ketahanan pangan terhadap ketahanan nasional ya domainnya Kementerian Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, PUPERA, BKP, BULOG, dan tentu institusi penegak hukum sebagai instrumen pengawasan," kata Fahmi kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (13/7).
Lagi pula kata dia, tanpa diberi mandat langsung pun Kementerian Pertahanan bersama dengan TNI akan ikut membantu negara jika memang urusan terkait ketahanan pangan berpotensi mengancam pertahanan negara.
Hanya saja, dua institusi itu lebih terkait dengan pertahanan negara yang menyangkut ancaman militersitik.
Dia pun mengingatkan kedua institusi itu agar berhati-hati dalam kegiatan yang bukan langsung ranah dan tupoksi atau berhubungan dengan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Pasalnya, hal ini berpotensi mengulang klaim 'lumbung padi' Asia Tenggara di zaman Orde Baru lewat upaya represif terhadap petani dengan menggunakan militer.
"Ini berpotensi mengulang masa Orba dimana kita mengklaim berhasil membangun ketahanan dan swasembada namun dengan tekanan luar biasa pada petani untuk tanam padi, dengan tentara ikut turun ke sawah," kata dia.
Diketahui, Pasal 7 ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa TNI punya dua tugas, yakni operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. OMSP dibagi ke empat belas kategori, mulai dari menjaga perbatasan, objek vital nasional, membantu pemerintahan di daerah. Namun, tak ada yang terkait langsung dengan ketahanan pangan.
![]() |
Pada bagian penjelasan pasal ini, hanya dicantumkan 'cukup jelas' tanpa rincian lanjutan.
Cawe-cawe
Tak hanya soal tumpang tindih tupoksi, Fahmi juga menyoroti soal kekuatan dan kemampuan TNI yang berkaitan langsung dengan Minimum Esential Forces (MEF), terutama di bidang personel.
MEF sendiri mencakup tiga hal utama, yaitu organisasi, personel, dan materiil (alat utama, sarana dan prasarana). Jika dilihat dari sisi personel, jumlah prajurit Indonesia masih jauh dari rasio perbandingan ideal dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.
"Artinya jika untuk fokus pada tugas pokoknya saja TNI masih belum ideal, lalu mengapa 'cawe-cawe' ke urusan pemerintahan yang lain?" cetusnya.
"Jika untuk menjaga batas wilayah dan kedaulatan kita saja jumlah personil masih belum ideal, mengapa memaksakan diri terlibat? Apa motifnya? Kesejahteraan? Politik? Kalau iya, tentu saja itu menyimpang dari mandat reformasi," ia menambahkan.
Terkait kasus cetak sawah oleh TNI, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebut ada potensi kembalinya dwifungsi TNI.
Ia menyatakan memang perlu pelibatan TNI dalam perbantuan di beberapa bidang karena memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Namun, perlu ada rincian OMSP di ranah sipil agar tak tumpang tindih dengan lembaga lain.
"Kita butuh Undang-undang Perbantuan Militer dan kita juga butuh rincian apa saja itu OMSP. Jadi tidak cukup dengan 'cukup jelas' [di bagian penjelasan UU], harus dirincikan," ujar Ikhsan, Selasa (8/10/2019).
(tst/arh)https://ift.tt/3gT6HQc
July 13, 2020 at 10:14AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kemenhan Pimpin Lumbung Pangan: Memori Orba dan Isu OMSP"
Posting Komentar