Wa Ana (37) terkejut ketika sepucuk surat dari Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara diantar ke rumahnya di Desa Sukarela Jaya pada 17 Juli 2019.
Surat yang berkop Polda Sultra itu berisi panggilan kepada Wa Ana untuk memberikan klarifikasi di ruangan Unit II Subdirektorat IV Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Ditreskrim Polda Sultra pada 22 Juli 2019.
Polisi memanggil perempuan tersebut atas Surat Perintah Penyelidikan Nomor : SP.Lidk/138.a/VII/2019/Ditreskrimsus pada 14 Juli 2019 terhadap laporan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group yang beroperasi di Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan.
Kantor pusat PT GKP yang merupakan perusahaan tambang nikel itu ada di Jakarta.
Dalam laporan tersebut, Wa Ana diduga melakukan tindak pidana terkait dengan aktivitas pertambangan mineral dan batubara di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GKP.
"Saya tidak tahu apa kesalahan saya dilapor ke polisi, tiba-tiba dapat surat panggilan. Saya kaget baru pertama kali berurusan dengan polisi," kata Wa Ana saat ditemui di kampungnya, Maret lalu.
Wa Ana merupakan satu dari 27 warga Pulau Wawonii yang dilaporkan oleh PT GKP atas tiga kasus berbeda. Tiga orang itu adalah Wa Ana, La Baa dan La Amin yang dilaporkan karena diduga menyerobot lahan PT GKP untuk berkebun.
Sementara 21 warga lainnya dilaporkan atas dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan terhadap seseorang mengacu pada Pasal 333 KUHP dengan Laporan Polisi Nomor: LP/423/VIII/2019/SPKT Polda Sultra Agustus 2019.
Dua warga lainnya justru sudah menjadi terpidana atas dugaan tindak pidana penganiayaan terhadap pekerja PT GKP.
Mereka adalah La Site, yang divonis 10 bulan penjara karena menganiaya dua pekerja PT GKP, Februari lalu. Sementara Idris (30), adik kandung La Site, divonis 3,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Unaaha dalam kasus yang sama pada Mei lalu.
Wa Ana ingin tetap mempertahankan tanahnya karena telah jadi sumber penghidupan dari generasi ke generasi. "Tanah itu telah diolah turun-temurun lebih dari 30 tahun. Di situ hasilnya kami makan. Pertanian dan perkebunan sumber kehidupan kami," katanya.
Pulau Wawonii memiliki luas 708,32 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 31.688 jiwa. Warga di sana menyebut diri mereka sebagai orang Wawonii. Mereka yang telah berdiam di daerah ini terdiri dari beragam suku di antaranya, Tolaki, Kulisusu (Buton Utara), Buton, Bugis dan Jawa.
Wawonii terdiri dari dua kata: Wawo dan Nii yang berarti di atas kelapa. Kata terakhir paling kental dengan masyarakat di sana, Pulau Kelapa. Penamaan Pulau Kelapa ini sesuai potensi pertanian daerah itu yang kaya kelapa.
Data Pemkab Konawe Kepulauan 2016 menunjukkan, kelapa merupakan komoditas paling mendominasi dengan luas 9.798,72 ha yang tersebar di tujuh kecamatan di pulau tersebut. Hampir seperempatnya berada di Kecamatan Wawonii Tenggara seluas 3.108 ha.
Perjalanan menuju Wawonii dari Kendari, ibu kota Sultra, ditempuh dalam waktu 4 jam dengan kapal laut. Setelah sampai di pelabuhan, perjalanan menuju kecamatan itu butuh 3 jam melalui jalan darat.
Orang Wawonii yang hidup dari perkebunan kelapa. (Foto: CNN Indonesia/Fandi)
|
Aksi warga lain yang memprotes operasi perusahaan juga ditunjukkan oleh Marwah. Dalam videonya yang sempat beredar banyak di media sosial, dia berdiri di depan alat berat untuk mempertahankan tanahnya.
"Saya berani karena itu lahan saya. Perusahaan tidak punya hak menggusur tanah saya," kata Marwah saat ditemui di Wawonii.
Meski sempat melawan, lahannya seluas 4x60 meter yang terdiri dari pohon kelapa, jambu mete dan cengkeh sudah ditumbangkan alat berat milik PT GKP. Begitu pula tanaman milik Wa Ana, yang harus tumbang karena digusur.
Bagi sebagian warga, membarter tanah perkebunan dengan uang untuk kepentingan tambang adalah pantangan.
Indonesia sendiri menjadi penghasil nikel terbesar dunia. Berdasarkan data U.S. Geological Survey pada Januari 2020, produksi tambang komoditas itu mencapai 606 ribu dan 800 ribu ton pada 2018 dan 2019, dengan cadangan mencapai 21 juta ton.
Sementara posisi kedua adalah Filipina dengan produksi tambang 345 ribu dan 420 ribu ton di periode yang sama, sementara cadangan mencapai 4,8 juta ton.
Di tempat ketiga, ada New Caledonia dengan produksi 216 ribu dan 220 ribu ton pada periode yang sama, namun tak ditemukan cadangan sama sekali.
"Tambang itu tidak lama. Tanaman untuk anak cucu kami yang akan bertahan lama. Lebih baik saya mati daripada jual tanahku," kata Marwah.
Aksi mahasiswa menolak tambang di Wawonii. (Foto: CNN Indonesia/ Fandi)
|
Jejak Penolakan Warga
Penolakan terhadap tambang, terjadi sejak Pulau Wawonii masih masuk wilayah administrasi Kabupaten Konawe.
Pada 2013, Pulau Wawonii mekar menjadi daerah administrasi tersendiri, bernama Kabupaten Konawe Kepulauan. Dari cerita beberapa mantan aktivis yang menolak namanya ditulis, penolakan terhadap hadirnya industri yang dikhawatirkan merusak lingkungan terjadi sekitar 2000-an silam.
Kala itu, perusahaan asing yang bergerak pada produksi kayu ditolak oleh masyarakat Munse, Kecamatan Wawonii Timur Laut. Perusahaan ini tak jadi beroperasi.
Kehadiran perusahaan tambang pasir kromium pada 2007 lalu di Desa Polara Kecamatan Wawonii Tenggara pun kembali memicu perlawanan warga.
Mahasiswa beberapa kali menggelar demonstrasi dan tidak sedikit berujung bentrok. Pada 2015, massa membakar kantor perusahaan itu hingga tutup. Akibatnya, salah satu pentolan gerakan, Muammar dipenjara 8 bulan.
Penolakan terhadap tambang emas juga terjadi di Desa Lamoluo Kecamatan Wawonii Barat pada 2008 silam. Dalam beberapa kali aksi, perusahaan tambang itu akhirnya batal beroperasi.
Di tahun yang sama pula, PT GKP yang memiliki luas IUP hampir 1.000 ha di Desa Lampeapi, Kecamatan Wawonii Tengah juga mendapatkan penolakan.
Perizinan tambang di Pulau Kelapa itu diketahui terbit pada 2008, ketika Lukman Abunawas menjabat Bupati Konawe. Kini, Lukman adalah Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, mendampingi Ali Mazi sejak September 2018 lalu.
Saat izin tambang diterbitkan, Pulau Wawonii masih masuk wilayah administrasi Kabupaten Konawe, sebelum memekarkan diri menjadi Kabupaten Konawe Kepulauan pada 2013.
Pada 2017 lalu, PT Harita Jaya Raya menguasai saham PT GKP. Saat itu, PT GKP memperoleh IUP seluas 950 ha dan diperbaharui pada Maret 2018 menjadi 850 ha.
Pihak PT GKP mengklaim, dari 850 ha itu, perusahaan mengantongi 707 ha Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Berdasarkan dokumen yang dimiliki Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pemegang saham PT GKP adalah PT Harita Jayaraya dan PT Citra Duta Jaya. Sementara direkturnya adalah Parasian Simanungkalit, sementara komisaris diduduki Donald Johnny Hermanus.
Perlawanan warga kian berat karena diperhadapkan dengan situasi konflik sesama mereka, pro dan kontra terhadap tambang. Puluhan warga yang getol menolak dilaporkan ke polisi.
Ilustrasi. (Foto: iStockphoto/Bogdanhoda)
|
Sementara warga yang proinvestasi dan dianggap memprovokasi, sama sekali tidak diproses oleh aparat.
"Ini upaya kriminalisasi terhadap warga yang berusaha mempertahankan haknya atas tanah yang mereka miliki," kata Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar.
Dugaan kriminalisasi terhadap warga, lanjut Melky, tergambar dalam proses hukum yang sudah berjalan.
Salah satu contohnya, polisi lebih cepat merespons laporan perusahaan tambang dibandingkan dengan aduan warga tentang perusakan tanaman. PT GKP, diduga tiga kali menerobos lahan milik masyarakat Desa Sukarela Jaya.
Terakhir, pada 22 Agustus 2019 tengah malam, ekskavator dan bulldozer yang memasuki desa pun dikawal ketat aparat kepolisian dari Polda Sultra.
Wa Ana, La Baa, dan La Amin yang lahannya diterobos perusahaan juga telah melaporkan PT GKP ke Polres Kendari dan Polda Sultra pada 28 dan 29 Agustus 2019, namun tak diproses oleh polisi hingga hari ini.
https://ift.tt/3eKnvHV
July 20, 2020 at 08:22AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nawacita di Tanah Tuhan dan Orang-orang Wawonii"
Posting Komentar