Liputan Khusus
Arby Rahmat & Surya Sumirat, CNN Indonesia | Rabu, 26/06/2019 07:16 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Minggu pagi pertengahan Januari itu lapangan Brigif Kota Cimahi riuh-rendah. Suara-suara mesin dan knalpot memenuhi udara dan memekakkan telinga ratusan pengunjung.Satu malam sebelumnya panitia telah menyulap area yang semula lapangan menjadi sirkuit non-permanen. Di berbagai sudut lintasan, terlihat ban-ban bekas yang ditumpuk dan disusun sedemikian rupa untuk difungsikan menjadi pengaman. Lubang-lubang dan aspal yang terkelupas pun telah ditambal.
Sekitar pukul 08.30 WIB, ratusan peserta mulai memanaskan dan menyiapkan motor di paddock. Segala tetek-bengek ini disiapkan untuk ajang road race Trijaya Sumber Production 2019 yang dimulai pukul sembilan pagi.
Balapan ini hanya satu dari puluhan road race yang digelar di berbagai daerah di Indonesia. Para pebalap yang punya mimpi berkompetisi di level internasional harus memulainya dari level kejuaraan daerah seperti ini. Memenangkan balapan dari usia dini pada sirkuit-sirkuit yang jauh dari kata glamor atau sorotan media.
Namun, apapun bentuknya, balapan tetaplah balapan, seperti batu asah yang menajamkan insting para pebalap sebelum akhirnya berkompetisi di level internasional.
Misalnya saja Dimas Ekky, atlet Indonesia yang kini tengah berkompetisi di Moto2. Ia memulai perjalanannya di balap motor jalanan pada usia 12 tahun, dari sirkuit-sirkuit non-permanen, sebelum akhirnya naik ke kelas Supersport 600cc dan kemudian Moto2.
Suasana road race di Indonesia saat balapan akan dimulai. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H)
|
Road race seperti Trijaya Sumber Production 2019 lazim dimulai sejak pagi hari atau menjelang siang dan berlangsung hingga sore. Biasanya berlangsung sampai pukul 17.00 WIB.
Balapan digelar dua hari dengan dua sistem yang berbeda. Ada balapan yang menggunakan hari pertama untuk menggelar kualifikasi, kemudian final pada hari berikutnya. Sementara penyelenggara lain menggabungkan kualifikasi dan final dalam satu hari, tapi hari pertama dan kedua dibagi ke dalam beberapa kelas berbeda.
Suasana balapan di Sirkuit Brigif Kujang II, Cimahi (13/1). (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H)
|
Namun, balapan yang kualifikasi dan final dibabat dalam satu hari cukup menyita konsentrasi dan tenaga pebalap. Apalagi beberapa di antara mereka mengikuti beberapa kelas yang jadwalnya berdekatan. Belum lama menghirup udara segar saat istirahat, pebalap sudah harus bersiap untuk kesempatan berikutnya. "Sebentar ya, kang. Tunggu sini saja. Nanti habis balapan kita lanjut wawancara lagi," ujar pebalap tim Hamosena, Teddy Darmansyah, saat ditemui CNNIndonesia.com. Tergesa-gesa ia meninggalkan kami dan menuju sesi kualifikasi. Kami baru bisa berbincang lama dengannya setelah ia menuntaskan balapan.
Cuaca yang cerah membuat semringah penyelenggara dan juga tim balap. Aksi kebut-kebutan di atas trek terasa nikmat dilihat saat lintasan kering. Meski begitu, bukan tidak mungkin balapan digelar saat hujan turun. Selama volume hujan masih masuk batas toleransi dan tidak mengganggu pebalap, balapan terus dilanjutkan.
Pelaksanaan kejuaraan road race sendiri membutuhkan biaya yang bervariasi tergantung tingkatan balapan. Makin banyak pebalap nasional terutama yang sarat prestasi hadir, balapan dijamin akan banjir peserta.
Seperti yang terjadi di Trijaya Sumber Production 2019 yang diserbu 920 starter. Jumlah yang membludak ini tidak terlepas dari penyelenggaraan yang tergolong mewah dan bahkan dengan biaya produksi yang mencapai Rp500 jutaan.
Di ajang itu panitia menyediakan total hadiah ratusan juta rupiah. Selain uang pembinaan, kejuaraan itu menyertakan sepeda motor sebagai hadiah tambahan di beberapa kelas bergengsi.
Nilai kocek yang harus dirogoh ini sesungguhnya cukup sebanding dengan pemasukan panitia. Dengan biaya pendaftaran peserta sebesar Rp450 ribu, maka pendapatan dari sektor ini saja bisa mencapai Rp405 juta. Belum ditambah dari sponsor serta pedagang di sekitar sirkuit.
|
Di Indonesia, ajang balap jalanan ini mulai marak pada era 1990-an. Meski begitu, sejarah balap motor di Indonesia menurut Ikatan Motor Indonesia (IMI) dimulai di periode 1940 sampai 1960-an ketika merek-merek motor Jepang mulai memasuki Tanah Air.
Kabid Olahraga Sepeda Motor IMI DKI, Sigit Widiyanto menyebut, balap motor di Indonesia mulai berkembang di era 1970-an, seiring kehadiran Sirkuit Jaya Ancol Jakarta yang dibangun pada 1971 dengan kebutuhan dana mencapai Rp150 juta pada masa itu.
Saat balap motor digelar di Sirkuit Ancol, sepeda motor yang digunakan bertipe 'batangan'. Kapasitas motor-motor 2 tak itu juga tidak besar, seperti Yamaha L2 Super, Yamaha RX series, Yamaha RD125, Suzuki TS125, Kawasaki Binter Merzy, hingga Honda CB100 dan Honda GL100.
Suasana penonton yang menyaksikan balapan road race di Cimahi. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H)
|
Di akhir periode 1980-an, ada pergeseran lokasi balapan sepeda motor jalanan dari Sirkuit Ancol ke Kemayoran. Pada era itu tidak lagi motor batangan yang ikut serta, tetapi mulai diisi dengan motor bebek pada zamannya.
Penggunaan Sirkuit Ancol pun berakhir pada 1992 karena area tersebut mulai dibangun dan berubah menjadi permukiman. Ajang balapan kemudian dipindah ke Sirkuit Sentul, sementara level balap jalanan tetap bertahan di Sirkuit Kemayoran.
"Setelah di Jakarta, balapan road race ini langsung berkembang serentak di Pulau Jawa. Di beberapa daerah di Pulau Jawa banyak yang mulai menggelar balap jalanan di sirkuit non-permanen," ucap Sigit.
Keterbatasan jumlah sirkuit permanen di Indonesia membuat balap jalanan lebih sering digelar di area parkir supermarket, mal, atau kompleks militer. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, IMI menetapkan kejuaraan road race level nasional hanya bisa diselenggarakan di sirkuit permanen.
Untuk level kejurda atau klub baru boleh diselenggarakan di sirkuit non-permanen.
Sirkuit permanen sendiri lebih lebar dengan tikungan yang lebih luas, sementara sirkuit non-permanen kerap terbentur dengan keterbatasan lahan.
Suasana di salah satu road race yang digelar di Yon Armed, Purwakarta. (CNN Indonesia/Artho Viando)
|
Beberapa penyelenggara menilai lebih nyaman mengadakan balap jalanan di kompleks militer seperti di Lapangan Brigif. Salah satu faktornya, pengurusan izin hanya satu pintu dan tidak ribet. Tak perlu membayar biaya parkir yang relatif besar serta tidak terkena pungli-pungli dari organisasi masyarakat sekitar.
"Kami mengadakan di kompleks militer ini lebih nyaman dan efektif karena perizinan hanya satu pintu, tidak seperti sirkuit lain. Dan untuk kompleks militer ini sangat dimudahkan sarana serta prasarananya," ujar Abu, Racing Committee U2noline.
Sirkuit Yon Armed 9 Purwakarta serta Brigif Kujang Cimahi adalah beberapa kompleks militer yang kerap dipakai untuk balap jalanan tingkat Kejurda. Sedangkan sirkuit permanen level nasional bisa menggunakan Sirkuit Bung Tomo Surabaya, Gery Mang Subang, Puncak Mario Sidrap, atau Manggul Lahat.
(vws)
https://ift.tt/2X4R3XC
June 26, 2019 at 02:16PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Geliat Kebangkitan Balap Jalanan Indonesia"
Posting Komentar