Brasil, Neymar, dan Gejala Inferiority Complex

Jakarta, CNN Indonesia -- Timnas Brasil membuktikan tak butuh nama besar macam Neymar di Copa America 2019.

Setidaknya Selecao tembus ke final usai menyingkirkan Argentina dengan skor 2-0. Ya, laga dua tim itu menegaskan perbedaan terkait sosok bintang di dua tim itu.

La Albiceleste masih diperkuat 'dewa' mereka, Lionel Messi. Sementara skuat arahan Tite sudah kehilangan Neymar dari sejak laga fase grup.

Perjalanan Brasil dari fase grup hingga semifinal sebelum bersua Argentina memang tak begitu mulus.

Dani Alves dan kawan-kawan sempat ditahan imbang tim sekelas Venezuela tanpa gol pada laga kedua mereka di Grup A. Di perempat final, Canarinho bahkan harus melalui drama menghadapi Paraguay.

Laga langsung dilanjutkan adu penalti setelah berakhir imbang tanpa gol. Keberuntungan masih menaungi mereka dengan memenangkan adu penalti dengan skor 4-3.

Satu-satunya algojo penalti Brasil yang gagal mencetak gol adalah Roberto Firmino. Sedangkan dua penendang titik putih Paraguay yang gagal yakni Gustavo Gomez dan Derlis Gonzalez.

Brasil, Neymar, dan Gejala Inferiority ComplexTimnas Brasil ke semifinal setelah menang adu penalti atas Paraguay. (REUTERS/Diego Vara)
Jika Brasil tak terlalu mulus hingga semifinal, apalagi Argentina. Tim Tango bahkan nyaris pulang lebih cepat di fase grup.

Tim arahan Lionel Scaloni tertolong dengan kemenangan atas Qatar 2-0 setelah dua laga sebelumnya tidak menang. Pada laga perdana, La Albiceleste dikalahkan Kolombia 0-2. Messi dan kawan-kawan juga ditahan imbang Paraguay 1-1.

Di laga semifinal, perbedaan antara Argentina dan Brasil pun terlihat jelas. Perbedaan itu tampaknya ada pada beban kebintangan yang ditanggung klub.

Secara permainan, kekuatan memang relatif seimbang. Hasilnya bahkan bisa saja imbang seandainya dua upaya Argentina tak membentur tiang.

Argentina sial karena bola sundulan Sergio Aguero membentur mistar pada babak pertama. Begitu pula sepakan sang bintang, Messi, membentur tiang gawang pada babak kedua.

Tim Tango bahkan tercatat melahirkan jauh lebih banyak percobaan ke gawang ketimbang Brasil. Berdasarkan catatan Whoscored, Argentina menciptakan 14 kali percobaan, empat di antaranya dari bola mati.

Brasil, Neymar, dan Gejala Inferiority ComplexSergi Aguero nyaris mencetak gol ke gawang Brasil. (REUTERS/Luisa Gonzalez)
Berbeda dengan Tim Samba yang hanya membuahkan empat percobaan. Satu di antaranya lahir melalui skema serangan balik.

Secara keseluruhan, Argentina juga sedikit lebih unggul dalam hal penguasaan bola. Namun, Brasil jauh bermain lebih efektif dengan mengonversi empat percobaan menjadi dua gol.

Proses dua gol Selecao yang jelas sekali menegaskan ketidakhadiran nama besar seperti Neymar justru membantu mereka.

Contohnya gol pertama Brasil yang dilesakkan Gabriel Jesus di menit ke-19. Gol itu tercipta kerja sama umpan segitiga yang sangat apik dari Alves ke Roberto Firmino dan diselesaikan Jesus.

Dani Alves melakukan penetrasi dan melewati dua pemain Argentina sebelum memberikan umpan kepada Roberto Firmino. Firmino lalu mengirim umpan ke depan muka gawang.

Jesus berdiri bebas dan dengan mudah menceploskan bola ke dalam gawang Argentina.

Gol kedua Brasil pada menit ke-71 juga menjadi bukti sahih permainan efektif mereka. Gol tersebut tercipta melalui serangan balik cepat.

Messi tak bisa berkutik menghadapi para pemain Brasil. (Messi tak bisa berkutik menghadapi para pemain Brasil. (REUTERS/Pilar Olivares)
Jesus sukses mematahkan penguasaan bola Argentina langsung berlari kencang ke pertahanan lawan. Di dalam kotak penalti, ia melepaskan umpan kepada Firmino yang diteruskan menjadi gol.

Bisa dibayangkan jika Neymar hadir, bisa saja skema-skema permainan simpel Brasil yang berbuah gol tak terjadi.

Neymar tetap akan menjadi 'center of attention' bukan hanya dari para pemain lawan, tetapi juga dari rekan-rekan setim.

Tengok saja kegagalan Brasil di Piala Dunia 2018, para pemain seperti mengalami gejala inferiority complex alias minder dengan kehadiran Neymar. Para pemain seolah tak percaya diri jika tidak memberikan umpan kepadanya.

"Jika buntu, berikan saja bola ke Neymar," seakan demikian yang ada dalam benak mereka.

Sinar Neymar seperti membuat para pemain silau. Terlebih dengan sosoknya yang sarat ego kebintangan. Kondisi itu justru membuat gejala tidak percaya diri semakin kronis.

Neymar memang bukan Messi. Membandingkan dua pemain itu ibarat menyandingkan manusia dan dewa. Messi dengan segala kedigdayaan dan kaya pengalaman tak memerlukan lagi egocentric atau rasa ke-aku-an di lapangan.

Brasil, Neymar, dan Gejala Inferiority Complex
Meski demikian, aura Sang Messiah di lapangan tetap membuat para pemain seolah merasa butuh pertolongan. Gejala inferiority complex itu agaknya masih menjangkiti Tim Tango.

Berbeda dengan Brasil, perlahan tapi pasti mulai melupakan Neymar. Memang, asumsi itu masih harus dibuktikan di laga final Copa America 2019 nanti. Namun setidaknya, Brasil ke final dengan memenangkan duel atas Argentina yang identik dengan Messi.

Ketiadaan sang bintang di skuat Canarinho pun secara bertahap membuat sejumlah pemain lainnya lebih 'hidup'. Tanpa Neymar, para pemain macam Jesus, Firmino, bahkan Philippe Coutinho yang selama ini melempem di Barcelona, malah bersinar. (jal/nva)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2XqTd90

July 04, 2019 at 02:07PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Brasil, Neymar, dan Gejala Inferiority Complex"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.