Dari sederet program yang disiapkan, terlihat jelas fokus Jokowi kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, antara lain sopir ojek online (ojol), sopir taksi, pengusaha mikro dan kecil (UMK), pedagang kaki lima, hingga pekerja sektor informal lainnya.
Wajar, mengingat kelompok ini paling merasakan pukulan pandemi corona. Masyarakat kelompok ini juga terancam masuk jurang kemiskinan lantaran pendapatan mereka terhenti kegiatan kota metropolitan. Tetapi, Kepala Ekonom CSIS Yose Rizal Damuri mengingatkan kebijakan pemerintah juga bisa salah alamat.
Bantuan pemerintah, lanjut dia, belum cukup karena tidak memasukkan program bantuan langsung tunai (BLT). BLT dibutuhkan agar pekerja informal yang kehilangan pendapatan bisa segera membelanjakan uang untuk kebutuhan dasar mereka. "Fokus pemerintah, harusnya bagaimana membuat orang jangan sampai kelaparan. Mereka (pekerja informal) biasanya tidak masuk dalam penerima bansos manapun, karenanya seharusnya ditambah instrumen BLT," ujarnya kepada CNNINdonesia.com, Rabu (1/4).
Toh, saat ini, Yose menilai, bukan lagi waktunya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Oleh sebab itu, penyaluran BLT tanpa syarat yang kaku seharusnya bisa menjadi solusi.
Sekadar mengingatkan, beberapa program bansos yang digelontorkan Jokowi, antara lain PKH, kartu sembako, bantuan sosial beras sejahtera (rastra), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Namun, semua diberikan hanya kepada orang miskin dan diberikan dalam bentuk kartu.
Memang, ada bantuan uang tunai dari kartu prakerja. Bahkan, nilainya pun ditambah dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun. Namun, program kartu prakerja juga dibagi ke anggaran pemberdayaan pekerja.
"Kartu prakerja ini dikasih uang, tapi ada juga pemberian dana yang nantinya diberikan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini tidak bersifat urgensi untuk sekarang. Ini bisa dialihkan," kata Yose.Menurut dia, program pelatihan itu cocok untuk masa pemulihan ekonomi di dalam negeri setelah persoalan virus corona usai. Pekerja formal yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pekerja informal yang kehilangan pendapatan dapat meningkatkan keterampilannya dengan mengikuti program tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso bilang penerima kartu prakerja akan mendapatkan insentif sebesar Rp1 juta dan fasilitas pelatihan online dengan biaya sebesar Rp1 juta.
Namun, Yose berpendapat lebih baik pemerintah memberikan uang tunai 100 persen, manfaatnya akan cukup besar bagi pekerja informal. "Yang dibutuhkan sekarang ini bantuan langsung, pelatihan-pelatihan nanti dulu," terang dia.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy bilang program kartu prakerja tak cocok untuk saat ini karena masih memiliki syarat-syarat khusus untuk mendapatkannya."Niat awal kartu prakerja bagus, tapi ada syarat. Ini kalau pemerintah mau berikan insentif, lebih baik bantuan tunai saja. Jadi, tidak perlu program kartu prakerja dulu," imbuh dia.
Apalagi, penerima program kartu prakerja memiliki syarat, antara lain berstatus Warga Negara Indonesia (WNI), berusia lebih dari 18 tahun, dan juga tidak sedang mengikuti pendidikan formal.
[Gambas:Video CNN]
Data Penerima Bansos
Penyaluran BLT pun, Yusuf melanjutkan, harus diawali dengan data penerima yang jelas. Artinya data harus akurat. Selama ini, data acap kali menjadi masalah dalam penyaluran bantuan tunai.
"Pemerintah sepertinya tidak ada data yang sepenuhnya valid untuk menyalurkan BLT. Mengumpulkan data valid itu memang susah. Tapi, bila perlu, turun hingga ke level kecamatan, koordinasi dengan RT untuk mendata berapa PKL, sopir ojol, dan lain-lain," jelasnya.
Ia mengingatkan jangan sampai ada kebocoran bantuan yang diberikan pemerintah, termasuk kekeliruan membuat masyarakat yang berhak malah tidak mendapatkan bantuan tunai tersebut.
Tidak bisa dinafikan, sejauh ini kritikan pemberian bansos terus berdatangan. Salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pemerintah harus memperbaiki sumber data penduduk di Indonesia, karena penyaluran bansos masih saja tidak tepat sasaran.
Beberapa dari mereka yang mengantre mendapatkan bansos justru datang dengan sepeda motor dan memiliki ponsel. "Belum ada data pasti keluarga yang benar-benar miskin," tutur Alex.
Sumber Dana ProgramSelain membenahi data penerima bansos, Yusuf juga menyoroti sumber dana program. Saat ini, pendanaan program penanggulangan virus corona, termasuk kesehatan, sosial dan dampak ekonomi dimasukkan dalam APBN 2020.
Artinya, pemerintah harus cepat-cepat menjabarkan hal tersebut dalam APBN-P 2020. "Ini harus segera lakukan APBN-P (perubahan). Karena, selain penambahan belanja nantinya asumsi makro juga berubah. Pendanaan harus jelas dari mana saja," katanya.
Misalnya, ia menyebut, pemerintah bisa saja menerbitkan surat utang khusus yang akan dialokasikan untuk menanggulangi virus corona. Namun, penggunaannya bersifat jangka panjang.
Pemerintah sebelumnya mengumumkan akan menerbitkan surat utang dengan skema baru bertajuk recovery bond guna membantu arus kas perusahaan yang terdampak virus corona. Tujuannya, agar perusahaan tetap memiliki dana untuk menggaji karyawannya, sehingga mengurangi risiko PHK.Nantinya, surat utang akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI). Kemudian, hasil dananya disalurkan dalam bentuk kredit khusus ke perusahan-perusahaan yang terdampak virus corona.
Menurut Yusuf, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, pemerintah perlu membuat aturan baru agar BI bisa menyerap langsung surat utang pemerintah di pasar primer. "Kan sekarang BI hanya bisa menyerap surat utang dari pasar sekunder," tandasnya.
Atau, opsi lain, pemerintah juga bisa mengandalkan pinjaman dari lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
(bir/bir)
https://ift.tt/2R3j6Xv
April 01, 2020 at 09:13AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Rp405 T Jokowi Tanpa BLT, Jurang Kemiskinan Menganga Lebar"
Posting Komentar