Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan akan kembali mengaktifkan tim pemburu koruptor yang anggotanya diikuti sejumlah kementerian lembaga untuk menangkap buronan pelaku korupsi.
Ia mengatakan anggota dari tim pemburu koruptor ini akan terdiri atas pimpinan Polri, pimpinan Kejaksaan Agung, dan pimpinan Kementerian Hukum dan HAM.
"Nanti dikoordinir dari kantor Kemenko Polhukam, ini tim pemburu koruptor ini sudah ada beberapa dulu, hadir," kata Mahfud dalam siaran video, Jumat (10/7).
Tim pemburu koruptor yang dulu sudah ada dimaksudkan Mahfud itu adalah pada zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Mahfud mengatakan, tim ini dulu memiliki payung hukum yang diatur melalui Inpres. Namun, sambungnya, Inpres itu sudah tak tak aktif lantaran belum diperpanjang lagi.
Untuk itu Mahfud mengakui akan segera memperpanjang aturan tersebut agar Tim Pemburu Koruptor di bawah koordinasi institusinya bisa kembali berjalan.
"Kita akan coba perpanjang, dan Kemenko Polhukam sudah punya instrumennya dan kalau itu diperpanjang langsung nyantol ke Inpres itu," kata dia
"Nanti mungkin dalam waktu yang tidak lama tim pemburu koruptor ini akan membawa orang juga, pada saatnya akan memburu Djoko Tjandra," janjinya.
Djoko Tjandra adalah buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.
Bertahun-tahun disebutkan buron ke luar negeri, Djoko Tjandra berhasil masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi satu pun institusi hukum dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni lalu. Pada hari yang sama, Djoko pun berhasil merekam data dan mendapatkan e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan.
Terkait tim pemburu koruptor terdahulu, dibentuk Presiden SBY lewat inpres pada 2004. Tim yang kali pertama dibentuk waktu itu dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) saat itu Basrief Arief.
Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki lembaga independen yang bertugas untuk meringkus para pelaku korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain KPK, Kejaksaan Agung dan Polri juga memiliki tugas untuk menyelidiki dan menangkap pelaku korupsi.
KPK adalah lembaga yang diberi kewenangan mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, yang pembentukannya diatur undang-undang. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
Tim Pemburu Koruptor Dipertanyakan
Menyikapi rencana Mahfud tersebut, pengamat dan aktivis antikorupsi menilai tim tersebut tak begitu krusial dibutuhkan.
engamat dari Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie berpendapat pemerintah tak perlu mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor.
"Bukan pemburu koruptor yang dibutuhkan. Menurut saya aktifkan saja yang sudah ada. Misalkan ditambah jumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Jerry, Kamis (9/7) seperti dikutip dari Antara.
Jumlah penyidik KPK saat ini hanya berjumlah 117 orang. Jumlah itu berbeda jauh dengan Hongkong yang memiliki 3.000 orang penyidik.
Jerry menuturkan untuk menangkap pelaku korupsi, lembaga antirasuah cukup memperkuat koordinasi dengan lembaga lain seperti Polri dan Kejaksaan.
"Kalau perlu perkuat kinerja KPK dengan membuat kantor cabang di 34 provinsi. KPK juga bisa bekerja sama dengan kepolisian, khususnya bagian Tipikor. Jadi, jangan bentuk badan lagi," jelasnya.
Menurut dia, korupsi di Tanah Air tetap akan merajalela selama punishment atau hukuman yang diberikan kepada para koruptor masih saja ringan.
"Lebih baik merancang hukuman mati bagi koruptor di atas 1 miliar dan 500 juta hukuman seumur hidup. Ini bagian shock therapy bagi koruptor. Extra ordinary corruption sangat tinggi jadi perlunya memperberat para pelaku koruptor. Atau metode memiskinkan para koruptor sampai 5 generasi," ujar Jerry.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai rencana pengaktifan kembali tim pemburu koruptor itu tak relevan, karena yang lampau pun bisa dikatakan tak efektif. Selain itu, kata dia, evaluasi terhadap tim tersebut di masa lampau juga tidak pernah dipublikasikan pemerintah.
"Data ICW menunjukkan setelah 8 tahun dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan," ucap Peneliti ICW Wana Alamsyah dalam keterangannya.
Wana berpendapat seharusnya pemerintah fokus untuk memperkuat aparat penegak hukum (APH) dibandingkan mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor. Menurut dia, tim tersebut berpotensi tumpang tindih dari segi kewenangan karena melibatkan kementerian dan beberapa perangkat penegak hukum.
"Berdasarkan catatan ICW sejak 1996-2018, terdapat 40 buronan kasus korupsi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum. Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya," kata Wana.
Ia pun lantas menyoroti penangkapan buronan kasus pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif, Maria Pauline Lumowa, melalui jalur ekstradisi.
Wana berharap pemerintah ke depan dapat menggunakan pendekatan non-formal antarnegara atau Government to Government (G to G) guna mempercepat proses penangkapan puluhan buronan yang bersembunyi di negara lain.
"Jangan sampai di dalam kondisi pandemi saat ini, upaya untuk membuat task force baru malah menjadi kontraproduktif," pungkasnya.
(tst, ryn/kid)https://ift.tt/2C2UR7h
July 12, 2020 at 07:13AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Geliat Mahfud Bangkitkan Pemburu Koruptor di Bawah Polhukam"
Posting Komentar