Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Kemenkeu Yunirwansyah mengatakan sejatinya insentif ini mengambil konsep seperti tax allowance. Di dalam tax allowance, pemerintah sengaja memperbesar faktor pengurang pajak agar nilai PKP perusahaan semakin kecil.
Jika nilai PKP semakin rendah, maka Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayar perusahaan bisa semakin mini. </span>Jika perusahaan berhasil menggunakan hasil litbang untuk produksi, maka mereka akan mendapatkan tambahan faktor pengurang pajak sebesar 100 persen.
Namun, jika perusahaan berhasil mendaftarkan hak paten atas hasil litbang tersebut, maka perusahaan berhak mendapat tambahan faktor pengurang pajak sebesar 200 persen.
Sehingga, dengan faktor pengurang pajak yang lebih besar 300 persen, maka PKP akan jauh lebih kecil, sehingga PPh yang dibayar juga kian rendah. "Apakah ini hal yang aneh? Tidak, ini tidak aneh. Sebab negara lain juga melakukan hal yang sama. Bahkan di negara lain, biaya riset ini jadi kredit pajak, bahkan ada yang dijadikan sebagai tax holiday," jelas Yunirwansyah, Kamis (14/3).
Karena nilainya yang jumbo, maka kebijakan ini akan disebut sebagai fasilitas pengurangan pajak besar, atau super deductible tax. Selain litbang, kebijakan serupa juga akan dilakukan bagi perusahaan yang mau melaksanakan kegiatan vokasi.
Namun, untuk kegiatan tersebut, pemerintah hanya memberikan fasilitas tambahan faktor pengurang pajak sebesar 200 persen.
"Nanti kebijakan ini bisa dilakukan untuk perusahaan yang melakukan litbang secara in house maupun melakukan sub kontraktor dengan litbang lain. Kemudian, litbang pun akan dibatasi pada fokus, tema, dan topik risetnya," papar dia.
Dengan kebijakan ini, ia berharap semakin banyak perusahaan yang tergugah melakukan kegiatan litbang. Sebab, kegiatan litbang di Indonesia saat ini masih terbilang minim.
Yunirwansyah mengutip data The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyebut bahwa biaya riset yang dilakukan perusahaan di Indonesia hanya US$547 ribu dalam setahun.
Angka ini kalah jauh dibanding negara maju seperti AS atau Jepang, di mana dunia usahanya berani melakukan riset hingga masing-masing US$340,73 juta dan US$131,8 juta. </span>Kemudian, ia juga tak mau perusahaan di Indonesia terus menggunakan hasil riset negara lain. Apalagi, beban royalti yang dibayarkan perusahaan Indonesia dalam menggunakan riset negara lain juga terbilang besar.
Berdasarkan data DJP yang dihimpun dari data Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan Wajib Pajak (WP) Badan, 156 perusahaan di Indonesia mengeluarkan dana Rp103,75 miliar untuk membayar royalti riset asal luar negeri. Dari hasil royalti tersebut, pemerintah mendapatkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 yakni PPh yang didapatkan dari kegiatan sewa dan PPh pasal 26 yakni PPh yang perlu dipungut pemerintah atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
"Kami tak mau ini berlangsung dalam jangka panjang. Kami ingat waktu Kementerian Kesehatan dulu pernah melakukan penelitian di luar negeri dengan membawa sample dari sini dan dibawa ke sini lagi. Dan jangan sampai juga misalnya penelitian mengenai sastra Jawa dilakukan di AS," tambah dia.
(glh/agt)https://ift.tt/2u7oBsn
March 14, 2019 at 09:22PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Insentif Pajak 'Jumbo' Tunggu Industri Pengguna Hasil Litbang"
Posting Komentar