Aviliani menyayangkan sikap Trump yang emoh menanggapi parameter pembangunan sosial yang disyaratkan untuk memasukkan sebuah negara ke dalam negara maju, seperti tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, dan tingkat harapan hidup.
Menurutnya, dari berbagai parameter tersebut, Indonesia belum dapat disebut negara maju. "Pertanian kita masih tradisional tapi di negara maju sudah pakai teknologi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pendidikan di Indonesia juga masih rendah, paling banyak masih SMP," katanya pada Kamis (27/2).
Trump kata Aviliani hanya menggunakan ekspor Indonesia yang melebihi 0,5 persen di dunia dan keanggotaannya di dalam G-20 sebagai parameter. Padahal katanya, ekspor Indonesia yang mencapai 0,9 persen di 2018 tak bisa serta membuat Indonesia menjadi negara maju. Apalagi katanya, jika dilihat dari Pendapatan Bruto Nasional (GNI) per kapita di tahun yang sama, Indonesia berada di kisaran US$3.840 per kapita, jauh dari negara maju yang US$12.055 per kapita.
Lebih lanjut, menurut Indef, pemberian status negara maju kepada Indonesia tersebut dapat berakibat fatal. Konsekuensi dari status tersebut, tarif bea masuk impor atas produk Indonesia ke AS karena perubahan status tersebut berpotensi menekan ekspor sebesar 2,5 persen.
Potensi penurunan, dihitung berdasarkan hasil simulasi Global Trade Analysis Project (GTAP) dengan asumsi kenaikan 5 persen dari posisi tarif saat ini. Penurunan ekspor terbesar diproyeksikan akan menekan beberapa ekspor produk Indonesia. Untuk kelompok produk tekstil ekspor bisa minus 1,56 persen, alas kaki minus 2,2 persen, komoditas karet minus 1,1 persen, komoditas kepala sawit (CPO) minus 1,4 persen, produk mineral dan pertambangan minus 0,3 persen, dan komponen mesin listrik minus 1,2 persen.
"Nanti kalau masuk WTO, kita (Indonesia) diam saja dan tidak memberikan bukti bahwa kita belum bisa dianggap negara maju dan cuma pertumbuhan ekonomi 5 persen, konsekuensi sebagai negara maju maka akan berdampak terhadap Indonesia," katanya.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan jika tak mau kehilangan kemudahan seperti fasilitas pinjaman luar negeri atau soft loan dan technical assistance atau bantuan dari negara maju maka pemerintah harus melakukan protes kepada AS.Dia menilai, pemerintah harus tegas menyampaikan keberatan akan status negara maju tersebut. Protes dalam persidangan WTO bersama negara-negara yang juga dicoret dari daftar negara berkembang dinilainya akan lebih efektif.
"Kalau kita berhadapan dengan negara maju itu perlu amunisi yang banyak dan kuat. Apa saja? Tentu adalah argumentasi yang berlandaskan kajian atau data dan fakta di lapangan yang menunjukkan kita masih negara berkembang," katanya.
Sebelumnya, AS secara sepihak mengumumkan pencoretan 26 negara dari daftar negara berkembang, salah satunya Indonesia. Pencoretan ini dikhawatirkan akan menghapus fasilitas perdagangan ekspor dan impor yang diterima oleh negara-negara berkembang.
Salah satunya, fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum (GSP). GSP adalah fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara berkembang yang diberikan oleh negara maju demi membantu negara berkembang.
(wel/agt)
https://ift.tt/3a7m300
February 28, 2020 at 07:14AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pengamat Pertanyakan Gelar Negara Maju dari AS Untuk RI"
Posting Komentar