Insentif Fiskal Harga Mati Selamatkan Ekonomi RI dari Corona

Jakarta, CNN Indonesia -- Kata siapa wabah virus corona hanya berdampak pada pariwisata. Industri lainnya kini mulai terdampak efek penyebaran virus yang mulai mewabah di China sejak akhir 2019 tersebut.

Pasalnya, industri mulai kekurangan bahan baku yang kebetulan diimpor dari China. Alhasil, mereka mulai kesulitan memproduksi barang dan rentan gulung tikar.

Industri yang paling terdampak, antara lain tekstil, elektronik, baja, dan bahan kimia. Tak ingin masalah tersebut berlanjut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan 'pembantunya' untuk segera membuat kebijakan untuk mempermudah impor bahan baku.


Tak ingin mengecewakan bosnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mulai bergerak. Ia menyatakan pemerintah akan segera merilis paket stimulus fiskal jilid II. Stimulus yang diberikan berbentuk kemudahan ekspor dan impor.

"Jadi kami sedang mempersiapkan stimulus kedua. Itu terdiri dari ekspor dan impor, terutama kemudahan perizinan, ditambah juga kemudian ekspor, integrasi dari sistem perdagangan, perhubungan, dan bea cukai agar dokumentasi ekspor itu lebih sederhana," ungkap Airlangga, Rabu (4/3).

Airlangga bilang kemudahan impor bahan baku khususnya akan diberikan untuk 500 perusahaan yang memiliki reputasi baik. Pemerintah saat ini masih mengevaluasi 500 perusahaan itu.

Ekonom UI Fithra Faisal beranggapan insentif fiskal untuk relaksasi aturan impor bahan baku memang amat diperlukan saat ini. Industri membutuhkan bahan baku agar perusahaan tetap beroperasi.

Jika kelangkaan bahan baku tak segera diatasi, bukan tidak mungkin kegiatan produksi menyusut. Kalau itu terjadi, perusahaan bisa berhenti produksi dan bahkan bangkrut.

Jika sudah begitu, mau tak mau perusahaan memutus hubungan kerja (PHK) karyawannya. Jumlah pengangguran pun meningkat dan berdampak pada tingkat konsumsi di masyarakat.

"Mekanisme dampak seperti itu, konsumsi pengaruh ke ekonomi keseluruhan. Tapi mungkin pengaruh seperti ini tidak akan segera terjadi," ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com.

Menurut dia, insentif berupa pelonggaran izin impor bahan baku harus segera dirilis untuk seluruh perusahaan. Hal ini akan memudahkan industri mencari pengganti bahan baku dari negara lain.

"Banyak mitra dagang yang sebenarnya belum terjamah, seperti India. Itu bisa dicoba," terang dia.

Fithra menilai sejauh ini Indonesia menerapkan tarif bea masuk impor yang tinggi terhadap sejumlah negara. Makanya, aturan harus segera direvisi agar mendapatkan sumber bahan baku selain dari China.

"Harus ada langkah mitigasi dari sisi perdagangan antar negara, perdagangan internasional," jelas Fithra.

Relaksasi impor bahan baku tak hanya berguna untuk industri, tapi juga ketersediaan bahan pokok jelang Ramadan. Ia mengingatkan kepada pemerintah untuk juga mengevaluasi bahan pokok di pasaran.

"Ini juga berpotensi untuk menjaga harga, jangan sampai harga naik. Kalau terjadi kenaikan harga nanti berdampak ke konsumsi," ucap Fithra.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan bantuan pemerintah untuk industri mendesak diberikan. Pasalnya, pemerintah harus memastikan industri tetap bergerak di dalam negeri.

"Ini kan bagaimana yang punya usaha tetap bisa menjalankan usahanya. Harus ada stimulus. Ini kan untuk jaga daya beli juga," ungkap Faisal.

Kemudian, pemerintah juga bisa memberikan insentif lain kepada industri berupa penundaan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Hal ini disebut Faisal akan mengurangi beban pengusaha, sehingga perusahaan bisa bertahan dan tak terjadi PHK.

[Gambas:Video CNN]
"Peluang penundaan PPh 21 bisa dijalankan. Itu menambah stimulus," imbuh Faisal.

Selain itu, sambung dia, pemerintah juga bisa membuat aturan yang mengharuskan pengadaan barang di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berasal dari dalam negeri, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

"Arahkan pengadaan barang dan jasa melalui APBN dikerahkan untuk beli produk dalam negeri. Kalau bisa BUMN juga diarahkan beli di UMKM," kata Faisal.

Dengan kata lain, pemerintah bukan hanya menyelamatkan industri besar, tapi juga menengah dan menengah ke bawah. Semua ini, kata Faisal, harus dijalankan secara paralel agar seluruh lapisan tersentuh.


Dampak untuk Impor-Ekspor

Lebih lanjut Faisal menerangkan penyebaran virus corona di global dan domestik akan berdampak pada nilai impor dan ekspor. Masalahnya, China yang merupakan negara asal impor dan tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia saat ini tertekan virus corona.

Penurunan produksi di China membuat impor bahan baku merosot drastis. Begitu juga dengan ekspor, karena mayoritas kegiatan industri di China dihentikan sementara saat ini.

"Otomatis kalau kegiatan industri berkurang, ekspor ikut terganggu. Impor berkurang, ekspor juga berkurang," kata Faisal.

Menurutnya, nilai impor secara keseluruhan bisa saja turun 10 persen pada kuartal I 2020. Namun, untuk penurunan ekspor diperkirakan tak sampai dua digit.

"Ini sebenarnya tergantung seberapa lama. Impor maksimal kuartal I 2020 penurunan 10 persen, kalau ekspor masih terbantu karena ada pasar lain," jelas Faisal.

Diketahui, nilai impor nonmigas China pada Januari 2020 sebesar US$3,95 miliar. Angkanya turun sebesar US$125,2 juta secara bulanan.

Realisasi impor nonmigas dari China menyumbang 32,11 persen terhadap total impor nonmigas sebesar US$12,29 miliar. Sementara, total nilai impor pada Januari 2020 sebesar US$14,28 miliar.

Kemudian, ekspor nonmigas ke China tercatat sebesar US$2,1 miliar pada Januari 2020. Nilai ekspor juga turun sebesar US$211,9 juta secara bulanan.

Realisasi ekspor nonmigas ke China ini berkontribusi sebesar 16,69 persen terhadap total ekspor nonmigas yang sebesar Rp12,61 miliar. Sementara, total ekspor sendiri tercatat sebesar US$13,41 miliar.

Di sisi lain, Fithra masih cukup optimistis nilai impor dan ekspor tak akan turun signifikan dalam waktu dekat. Sebab, ia menyebut industri di China akan segera bangkit sejalan dengan berkurangnya peningkatan kasus virus corona di negara tersebut.

"Kalau saya lihat impor dan ekspor tidak parah penurunannya karena penyebaran virus corona mulai ditangani secara baik, peningkatan di China mulai turun," tutur Fithra.

Mengutip CNN, jumlah laporan kasus infeksi di China berangsur-angsur menurun. Data per Selasa (3/3) kemarin, jumlah penduduk yang terinfeksi sebanyak 2.500 orang, sedangkan pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 2.600 orang.

Melihat situasi yang mulai positif di China, Fithra memproyeksi nilai impor secara keseluruhan hanya turun 3 persen pada April 2020. Sementara, penurunan nilai ekspor diprediksi tak sampai 3 persen.

"Ekspor kan selama ini juga tidak sebesar impor, jadi tidak terlalu khawatir. Apalagi beberapa tahun terakhir ekspor nonmigas juga turun," kata Fithra.

Secara keseluruhan, ia menilai potensi penurunan impor dan ekspor ini pengaruhnya tak terlalu besar terhadap ekonomi domestik. Sebab, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak besar.

Kalau dilihat, tingkat konsumsi masyarakat masih menjadi penyumbang terbesar untuk PDB di Indonesia. Data BPS menunjukkan kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 sebesar 56,62 persen, sedangkan ekspor barang dan jasa hanya 18,41 persen dan dikurangi impor barang dan jasa sebesar 18,9 persen.

"Potensi penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sebesar negara lain, di bawah 5 persen tapi tidak anjlok," pungkas Fithra. (agt)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2Tx4Ia8

March 05, 2020 at 09:07AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Insentif Fiskal Harga Mati Selamatkan Ekonomi RI dari Corona"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.