
Pemerintah Indonesia dan Australia melalui kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) membentuk economic powerhouse. Kesepakatan mulai berlaku sejak 5 Juli lalu.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut kerja sama itu dilakukan untuk memaksimalkan keunggulan dua negara untuk membidik pasar ekspor baru. Nah, agar itu semua bisa diwujudkan, melalui IA-CEPA, Indonesia dan Australia sepakat menghapuskan tarif bea impor kedua negara.
Agus mencontohkan kebutuhan gandum untuk kebutuhan produksi mi instan yang selama ini diimpor dari Australia. Dengan adanya IA-CEPA, ongkos produksi dapat ditekan sehingga harga pasaran dapat bersaing di pasar global.
Head of Research PT Samuel Sekuritas Suria Dharma menyebut berlakunya IA-CEPA bakal menguntungkan perusahaan yang selama ini menggunakan bahan baku impor asal negeri Kanguru.
Selama ini, katanya, Indonesia merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar Australia untuk komoditas konsumsi khususnya daging, holtikultura (buah dan sayur), serta gandum.
Apalagi, katanya, untuk perusahaan produksi raksasa yang memasok dalam jumlah besar. Dengan penghapusan bea masuk, perusahaan dapat menekan cost of goods sold (harga pokok penjualan/HPP) sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan penjualan yang lebih besar.
Dalam hal ini, ia menilai duo Indofood yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dapat menikmati manfaat perjanjian itu. Sebab, kedua emiten konsumsi tersebut mengandalkan gandum sebagai bahan baku produk mereka.
Diketahui, INDF melakukan pembelian bahan baku gandum secara rutin. Pembelian bahan baku tersebut berkontribusi sekitar 80 persen dari total biaya produksi tepung terigu Bogasari, salah satu merek dagangnya.
Sejalan, ICBP juga mengandalkan gandum dalam produksi mi instannya. "Misal impor gandum harganya lebih murah kan diuntungkan. ICBP juga marginnya bisa lebih bagus lagi, costs of good sold jadi lebih murah," katanya pada Senin (13/7).
Lebih lanjut, ia yakin jika perseroan memanfaatkan IA-CEPA, untuk jangka menengah dan panjang, efisiensi akan mendongkrak pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, ia menilai untuk investasi jangka menengah-panjang, INDF dan ICBP dapat dijadikan pilihan investor.
Sebab, harganya pun masih relatif murah dibandingkan dengan harga normalnya. Pada perdagangan Jumat (10/7) lalu, INDF dibanderol seharga Rp6.500 per saham dan ICBP berada di posisi 9.225. Harga tersebut, menurutnya, masih lebih rendah sekitar 30 persen dari sebelum pandemi virus corona melanda pasar saham.
Fundamentalnya pun cemerlang. Untuk sektor konsumer, ia menyebut INDF dan ICBP tergolong saham kelas kakap, sebelas dua belas dengan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Kepercayaan publik terhadap kedua saham, lanjutnya, teruji pada Mei lalu saat ICBP mengumumkan niatnya mengakuisisi penuh kepemilikan Pinehill Company Limited sebesar US$ 2,99 miliar atau setara Rp44,6 triliun (kurs Rp 14.900 per dolar AS).
Sempat direspons negatif, saham ICBP merosot belasan persen dari posisi 9.900 menjadi 8.150. Keadaan serupa juga terjadi pada INDF yang terjun dari posisi 6.750 menjadi 5.600 dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Namun tak ada matinya, pada awal Juni, saham mulai pulih dan harga pun merangkak naik. Selain ditopang branding yang kuat dan kualitas produk yang baik, penjualan selama PSBB juga berseri-seri.
Tengok saja ICBP yang pada kuartal I 2020 mencatatkan pertumbuhan penjualan bersih konsolidasi sebesar 7 persen dari Rp11,26 triliun menjadi Rp12,01 triliun (yoy). Dari sisi laba usaha, perseroan mencetak kenaikan 43 persen dari Rp1,9 triliun menjadi Rp2,8 triliun dengan perbandingan sama.
Sementara INDF membukukan kenaikan penjualan bersih konsolidasi sebesar 1 persen dari Rp19,17 triliun menjadi Rp19,3 triliun dengan perbandingan kuartal sama tahun sebelumnya. Sedangkan laba usaha naik 33 persen atau dari Rp2,58 triliun menjadi Rp3,43 triliun.
Dari sisi laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk tumbuh 4 persen dari Rp1,35 triliun menjadi Rp1,4 triliun yoy. Pun begitu, ia mengingatkan investor bahwa harga saham tak bakal langsung melejit sebab dibutuhkan waktu dalam implementasi IA-CEPA dan dari sisi permintaan (volume penjualan) pun belum akan naik secara signifikan.
"Bahan baku biasanya mereka punya stok untuk beberapa bulan jadi jangka menengah baru akan terasa efeknya, kalo pendek belum terasa," lanjutnya.
Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee menilai IA-CEPA memang kabar menggembirakan untuk sektor usaha yang tidak diproduksi dalam negeri. Namun, untuk sektor lainnya, ia menilai tantangan akan semakin berat.
Ia mencontohkan sektor pertambangan batu bara yang merupakan jagoan kedua negara. Jika pelaku usaha Indonesia tak mampu bersaing dan Australia dapat menyediakan harga lebih kompetitif, ia khawatir Indonesia hanya akan menjadi pasar.
Namun untuk sektor konsumer, ia melihat peluang yang cukup menggembirakan. Di luar IA-CEPA pun, sebetulnya sektor terkait masih tergolong yang paling aman selama pandemi virus corona. Ia merekomendasikan saham ICBP dengan harga target Rp11.150 dan INDF di kisaran Rp7.200.
"ICBP lebih diuntungkan kalau gandum. Tapi karena lagi menghadapi ancaman covid dan angka akan terus naik, saham akan terus fluktuasi," paparnya.
(wel/agt)https://ift.tt/3enVXHO
July 13, 2020 at 07:09AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Melihat Saham yang Berpotensi Berkilau dari IA-CEPA"
Posting Komentar