Emas kembali menjadi instrumen investasi primadona di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global. Investor ramai-ramai melarikan dananya ke instrumen aman (safe haven) seperti emas.
Akibat pelarian tersebut, harga emas PT Aneka Tambang (Persero) atau Antam mendapatkan berkah. Harganya berada di posisi Rp1,016 juta per gram pada perdagangan Kamis (30/7).
Sementara itu, harga pembelian kembali (buyback) naik menjadi Rp913 ribu per gram.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya menilai pelaku usaha yang bergerak di pertambangan emas akan menikmati pertumbuhan signifikan seiring dengan menanjaknya penjualan logam mulia itu.
Karena itu, ia merekomendasikan untuk memantau saham PT United Tractors Tbk (UNTR). Pasalnya, kontribusi penjualan emas terhadap pendapatan perusahaan pada kuartal II 2020 tercatat tumbuh 21,9 persen menjadi Rp2,08 triliun jika dibandingkan periode sama tahun lalu.
"Meski pada kuartal II 2020 pendapatan dari pertambangan emas hanya tumbuh 6,8 persen dari kuartal sebelumnya, namun laba kotor dari penjualan emas melonjak 67 persen. Ini seiring dengan volume penjualan emas yang naik 4,3 persen dari kuartal sebelumnya," katanya, Senin (3/8).
Selain kontribusi penjualan emas yang menarik, Hariyanto menyebut UNTR tergolong saham ciamik yang diperdagagkan di harga murah (undervalue).
Ini tercermin dari tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) perusahaan yang diproyeksikan pada 2021 mencapai 14,4 persen, lebih tinggi dari rata-rata perusahaan penghasil emas di level 10,2 persen.
Selain itu, valuasi rasio price to earning atau PE perusahaan berada di level 9,9 masih jauh lebih rendah dari PE industri pertambangan emas di posisi 14. Sebagai informasi, PE adalah rasio yang digunakan untuk mengukur harga suatu saham. Semakin kecil PE suatu saham dibandingkan PE industri, maka semakin murah (undervalue) harga saham tersebut.
"UNTR masih undervalue mengingat sekitar 34 persen dari pendapatan konsolidasi sebelum pajak berasal dari bisnis pertambangan emas," lanjutnya.
Sebagai informasi, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Astra Internasional Tbk ini membukukan penurunan laba bersih sebesar 28,2 persen dari Rp5,66 triliun pada semester I 2019 menjadi Rp4,06 triliun pada semester sama 2020.
Total pendapatan UNTR dari Januari-Juni 2020 yang berasal dari penjualan alat berat, komoditas pertambangan, dan lainnya sebesar Rp33,19 triliun atau turun 23,37 persen dibandingkan semester sama 2019 yaitu Rp43,31 triliun.
Penurunan pendapatan berdampak pada laba bersih perusahaan, laba bersih per saham pada kuartal II 2020 tercatat menurun menjadi Rp1.089 per saham jika dibandingkan kuartal sama 2019 yaitu Rp1.518 per saham.
Ada pun beban UNTR mengalami penurunan jika dibandingkan dari kuartal sebelumnya. Beban pokok pendapatan UNTR pada kuartal II 2020 sebesar Rp20,65 triliun, turun dari kuartal sama 2019 yaitu Rp32,68 triliun. Senada, beban penjualan perusahaan juga mengalami penurunan dari kuartal II 2019 Rp390,94 miliar menjadi Rp303,86 miliar pada kuartal sama 2020.
Dari sisi aset, hingga 30 Juni 2020 UNTR melaporkan total aset sebesar Rp104,22 triliun yang terdiri dari aset lancar Rp44,95 triliun dan aset tidak lancar sebesar Rp59,27 triliun.
Sementara, jumlah utang jangka panjang perusahaan pada semester II 2020 tercatat sebesar Rp16,98 triliun dan utang jangka pendek sebesar Rp25,64 triliun.
Lebih lanjut, Hariyanto memproyeksikan pendapatan perusahaan akan naik hingga 2021, sehingga ia merekomendasikan beli dengan harga target di Rp26 ribu dengan ekspektasi untung sebesar 21 persen dari harga penutupan Jumat (31/7) yaitu Rp21.350.
Pendiri LBP Institute Lucky Bayu Purnomo menyarankan investor untuk berburu saham-saham yang masih undervalue. Menurut Lucky, saham-saham di sektor industri dasar (basic industry) dapat menjadi pilihan.
Ia merekomendasikan memantau saham PT Semen Indonesia Persero Tbk (GSMR) pada perdagangan pekan ini. Untuk jangka pendek, Lucky meramal emiten dapat menguji level 9.870.
Melansir RTI Infokom, BUMN yang bergerak di industri semen ini ditutup melemah pada perdagangan Jumat (30/7) di level 9.225 atau turun 2,64 persen. Pada perdagangan pekan lalu investor mencatatkan jual bersih sebesar Rp6,94 miliar.
Saham lainnya yang dapat dipantau menurut Lucky adalah PT Astra Internasional Tbk (ASII) beserta beberapa saham di sektor pertambangan seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Timah Tbk (TINS), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Sementara, Pendiri LBP Institute menyarankan bagi investor untuk menghindari sektor perbankan yang dinilainya sudah terlalu mahal (overvalued).
Ia mencontohkan saham Bank Mandiri (BMRI) yang dihargai Rp5.800 per saham. Padahal sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang memiliki risiko tinggi akibat penyaluran restrukturisasi yang berpotensi menerbangkan rasio kredit macet (non performing loans/NPL).
Lucky pesimis saham-saham perbankan seperti BMRI, BBNI, BBRI, BBTN, dan BBCA dapat bangkit jelang rilis data perekonomian kuartal II 2020. Oleh karena itu, dia mengingatkan investor yang memiliki portofolio investasi besar di sektor perbankan untuk melakukan diversifikasi portofolio untuk menghindari rugi.
"Menurut saya Mandiri sudah overvalued karena diketahui ternyata kinerja sektor perbankan sudah masuk ke teritori mahal, untuk pengelompokan valuasi harus melihat sektor terkait," katanya.
(agt)https://ift.tt/31eGuVY
August 03, 2020 at 07:05AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Membidik Saham Menguntungkan di Tengah Kemilau Harga Emas"
Posting Komentar