Presiden Joko Widodo (Jokowi) lagi-lagi menyentil anak buahnya lantaran realisasi belanja masih rendah. Kali ini, kepala negara geram karena realisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah per 9 November 2020 tak sampai 50 persen dari total target pengadaan secara elektronik yang diumumkan dalam Rencana Pengadaan dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP), Rp853,8 triliun.
Artinya, realisasi pengadaan barang dan jasa secara elektronik masih di bawah Rp426 triliun. Jumlahnya masih sangat rendah, sementara penutup tahun 2020 sudah di depan mata.
Jokowi bilang pemerintah daerah (pemda) dan kementerian/lembaga (k/l) hanya punya waktu kurang lebih satu bulan untuk menghabiskan anggaran belanja barang dan jasa. Pasalnya, pengadaan barang dan jasa tahun ini akan ditutup pada 22 Desember 2020.
"Ini harus terus diperbaiki, pengadaan barang dan jasa hanya sampai 22 Desember 2020. Satu bulan lagi ini harus betul-betul dibelanjakan sesuai dengan rencana baik di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," papar Jokowi dalam Peresmian Pembukaan Rakornas Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dikutip Kamis (19/11).
Sementara, Jokowi juga tampak kesal karena masih ada pengadaan untuk pekerjaan konstruksi sebesar Rp48,8 triliun jelang tutup tahun. Hal ini semakin menandakan penyerapan belanja di k/l dan pemda lambat.
"Sampai November 2020 masih ada yang proses untuk konstruksi Rp40 triliun. Terus mengerjakannya kapan? Pengerjaannya kapan? Tinggal sebulan. Kalau jadi barang kayak apa, kalau bangunan ambruk, jembatan ambruk. Jangan diulang-ulang menumpuk pada akhir tahun," kata Jokowi.
Dengan realisasi ini, Jokowi kembali menyinggung kinerja beberapa anak buahnya yang masih bekerja normal. Padahal, seharusnya pejabat negara bekerja di luar kebiasaan atau extraordinary saat pandemi covid-19.
Ia heran mendengar alasan pemda atau k/l khawatir akan terkena masalah jika mencairkan anggaran belanja dengan cepat. Pasalnya, Jokowi sudah meminta pengawalan langsung dari beberapa lembaga, seperti LKPP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan proteksi kepada mereka.
Sementara, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto mengakui bahwa pemda dan k/l ragu untuk mempercepat penyerapan belanja pengadaan barang dan jasa di tengah pandemi mengingat beberapa harga barang sempat naik.
"Mereka takut untuk pengadaan khusus untuk covid-19. Harga mahal waktu itu. Tapi sebenarnya tidak masalah karena ada petunjuk dan bukti dari penyedia bahwa harga memang sedang naik, tapi mereka takut," ucap Roni kepada CNNIndonesia.com.
Tak ayal, banyak pemda dan k/l yang tak segera menggelar pengadaan barang dan jasa. Masalah klasik pun kembali terjadi pada 2020, pemda dan k/l baru akan menggenjot belanja pada akhir tahun.
"Selalu k/l k/l berlomba-lomba (penyerapan) pada akhir tahun. Ini jadi tidak efisien. Tidak optimal untuk layanan publik. Jadi banyak barang dibeli tapi tidak dimanfaatkan, bangunan jadi tapi rusak, ambruk. Konstruksi yang seharusnya empat bulan dipaksa dua bulan," terang Roni.
Ia menyarankan untuk seluruh pemda dan k/l lebih cepat melakukan pengadaan barang dan jasa. Sebab, ada proses tender yang harus dilalui untuk nilai barang atau jasa di atas Rp200 juta.
Dalam tender, ada proses penawaran dan negosiasi antara pemda atau k/l dengan beberapa penyedia barang atau jasa. Seluruh proses itu akan terekam dalam sistem elektronik, sehingga terpantau jelas oleh LKPP.
Proses ini tentu akan memakan watu. Makanya, Roni menyarankan agar pemda atau k/l tak menunda pengadaan barang dan jasa hingga akhir tahun.
"Rencana pengadaan barang dan jasa itu penting. Misalnya, Januari 2021 sudah harus membangun konstruksi, nah dari sekarang ini harusnya sudah pengadaan, bukan akhir tahun," tutur Roni.
Di sisi lain,untuk pengadaan barang dan jasa yang nilainya di bawah Rp200 juta, pemda dan k/l bisa menunjuk langsung penyedia yang tertera dalam LKPP. Proses ini akan lebih cepat karena tak lewat tender yang biasanya ada penawaran dari beberapa penyedia kepada pemda dan k/l.
"Misalnya butuh konsultan nilai jasa Rp75 juta untuk dua bulan, ya tunjuk saja. Itu pengadaan langsung namanya," jelas Roni.
Kebal Hukum
Sementara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat pemda dan k/l seharusnya tak takut dalam mencairkan belanja APBN dan APBD di masa pandemi covid-19. Pasalnya, mereka terbilang kebal hukum saat ini.
Pemerintah pusat sudah memberikan kewenangan kepada pemda dan k/l untuk mempercepat belanja tanpa regulasi yang berbelit-beli. Mereka tak akan bermasalah selama memang memiliki itikad baik.
"Pejabat pelaksana dibekali kekebalan hukum jadi tidak ada alasan untuk tidak membelanjakan dana pemerintah, asal jelas dan transparan," terang Bhima.
Kekebalan hukum itu, kata Bhima, tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UU.
Dalam Pasal 27 Ayat 2 disebutkan bahwa anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan aturan ini tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
![]() |
"Kalau banyak yang khawatir maka kontraproduktif dengan UU tersebut," imbuh Bhima.
Di samping itu, Bhima menilai penyebab rendahnya penyerapan anggaran lainnya adalah beberapa pejabat negara kesulitan dalam melakukan koordinasi di masa pandemi covid-19. Pasalnya, pola komunikasi berubah dari yang biasanya tatap muka menjadi serba daring (online) selama pandemi.
"Ada ketidakmampuan pejabat teknis yang tidak bisa melakukan koordinasi secara virtual karena mereka terbiasa secara manual, hadir fisik. Jadi mereka gagap di situasi pandemi untuk melakukan koordinasi lintas k/l," ujar Bhima.
Sementara, Ekonom Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam berpendapat pandemi covid-19 membuat ruang gerak pejabat menjadi lebih terbatas. Terlebih, pejabat terkait juga harus memastikan penyaluran sesuai dengan tujuan.
Ia mencontohkan dalam penyaluran bantuan sosial. Pejabat yang bertanggung jawab dalam program itu harus memastikan penyalurannya tepat sasaran.
"Nah, ini ada hambatan dari sisi tata kelola, kan harus tepat sasaran. Kalau dari sisi data tidak cukup, ini akan jadi muara masalah," ucap Piter.
Tak ayal, pejabat negara akan sangat hati-hati dalam menyerap anggaran belanja. Sebab, meski ada beberapa lembaga seperti KPK dan BPKP yang mendampingi pemda hingga k/l, mereka tetap akan takut jika ada kesalahan penyaluran.
"Meski ada backup, tapi takut juga," imbuhnya.
Selain itu, pejabat negara juga sudah terbiasa mencairkan anggaran belanja pada akhir tahun. Dengan kata lain, mereka terbiasa lambat dalam menyerap anggaran belanja.
"Orang sudah terbiasa tidak cepat (dalam menyerap anggaran belanja), sekarang disuruh cepat, memang mudah? Mengubah kebiasaan tidak mudah," jelas Piter.
Tindakan Tegas
Untuk mengatasi hal ini, Piter menyarankan Jokowi untuk menindak tegas pemda, kepala lembaga, dan menteri yang penyerapan anggarannya rendah. Jangan sampai, Jokowi hanya marah-marah tanpa ada tindakan konkret yang membuat anak buahnya jera.
"Pak Jokowi beraninya 'ngomel' saja, tapi tidak ada tindakan," tutur Piter.
Jika seperti ini terus maka tak akan ada efek jera untuk pemda, kepala lembaga, dan menteri. Piter bilang beberapa tindakan tegas yang bisa dilakukan adalah memecat menteri atau pejabat eselon I di kementerian jika penyerapan anggaran rendah.
"Jadi jelas. Ada tindakannya. Kalau 'ngomel-ngomel' saja ya seperti ini terus," jelas dia.
Sependapat, Bhima menyarankan Jokowi langsung memberikan surat peringatan (SP) kepada anak buahnya yang lambat dalam mencairkan anggaran belanja. Lalu, jika SP sudah melampaui batas yang ditentukan, Jokowi bisa memecat anak buahnya, tanpa terkecuali untuk jabatan menteri.
"Bisa SP 1 SP 2 sampai pencopotan. Jangan hanya marah atau menyindir, harus ada sanksi," kata Bhima.
Ia menambahkan pengadaan belanja barang dan jasa harus dipercepat untuk mendorong konsumsi masyarakat di masa pandemi covid-19. Jika pengadaan belanja barang dan jasa lancar, pihak swasta sebagai pemasok barang akan mendapatkan dana.
Dana yang didapat dari pengadaan barang pemerintah bisa untuk menambah arus kas perusahaan swasta. Perusahaan pun bisa menyerap tenaga kerja baru jika diperlukan, atau minimal tak memotong gaji karyawannya.
"Dari tenaga kerja ada pemulihan konsumsi rumah tangga," jelas Bhima.
Apabila konsumsi rumah tangga terjaga, dampaknya akan positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maklum, kontribusinya lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) domestik.
Sebagai gambaran, ekonomi Indonesia kuartal III 2020 minus 3,49 persen. Di sini, konsumsi rumah tangga berkontribusi membentuk PDB sebesar 57,31 persen, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 1,29 persen, konsumsi pemerintah 9,69 persen, investasi 31,12 persen, ekspor barang dan jasa 17,47 persen, serta impor 14,8 persen.
(aud/sfr)https://ift.tt/2HhRZWY
November 19, 2020 at 07:04AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengurai Masalah Klasik Belanja Negara yang Disentil Jokowi"
Posting Komentar