Darmin mengatakan sejumlah bahan makanan yang masuk musim panen pada Januari dan Februari, misalnya cabai dan bawang merah. Dua komoditas itu diklaim Darmin memang lebih mahal dibandingkan pada akhir tahun lalu.
"Makanya, sumber utama deflasi itu di bahan makanan, deflasinya 1,11 persen," ujarnya, Jumat (1/3).
Ia berpendapat deflasi merupakan hal positif jika terjadinya hanya sesekali saja. Misal, karena sebelumnya harga komoditas itu mahal, kemudian turun, maka mengakibatkan deflasi. Namun, kalau harga komoditas berada dalam rentang normal, lalu tiba-tiba turun, bisa dikatakan negatif jika terjadi deflasi.
"Sebenarnya tidak baik kalau deflasi terus, tapi kan lihatnya kalau cabai naik karena musim panceklik, kemudian ada panen jadi harga turun, itu bagus. Lihatnya begitu ya cara menilainya," papar Darmin.
Selain cabai dan bawang, bahan makanan lainnya yang berkontribusi menciptakan deflasi adalah daging ayam ras dan telur ayam. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), daging ayam ras memiliki andil 0,06 persen, telur ayam ras 0,05 persen, cabai merah 0,06 persen, cabai rawit 0,02 persen, dan bawang merah 0,04 persen.
"Kalau masalah ayam dan telur ada peranannya dalam urusan jagung kemarin, artinya makanan ayamnya sudah mulai bisa tersedia dengan baik pada Januari," ungkap dia.
Sekadar mengingatkan, pemerintah membuka keran impor jagung sejak awal tahun demi menyediakan pakan ternak ayam. Hal ini guna menurunkan harga telur ayam di pasaran.
Pada akhir Januari 2019, pemerintah telah memberikan izin penugasan kepada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) melalui persetujuan impor (PI) yang dirilis pada 25 Januari 2019 sebanyak 150 ribu ton. Namun, sebelumnya pemerintah juga berkomitmen mengimpor jagung sebanyak 30 ribu ton.
(aud/bir)
https://ift.tt/2SBqSpk
March 02, 2019 at 01:53AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Darmin: Musim Panen dan Impor Jagung Pemicu Deflasi Februari"
Posting Komentar