Kursi Ketua PSSI Makin Sulit Dijinakkan

Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir satu dekade pergantian tampuk pimpinan PSSI tak pernah berjalan mulus.

Persisnya dihitung sejak Nurdin Halid terlempar dari posisi Ketua Umum PSSI pada 2011. Praktis, kursi panas tersebut selalu mengempaskan mereka-mereka yang mencoba menaklukkannya.

Terempasnya Nurdin dari posisi PSSI 1 seolah menjadi awal 'kutukan'. Pria asal Makassar itu tak mampu menaklukkan kursi Ketua PSSI untuk tiga periode beruntun.

Pria yang akrab disapa Puang tersebut dikenal sebagai pelobi ulung. Politikus Partai Golkar tercatat sebagai Ketua Umum PSSI terlama sejak 15 tahun belakangan yaitu hingga dua periode atau delapan tahun.

Nurdin nyaris menjabat sebagai Ketua Umum PSSI untuk tiga periode sejak 2003 menggantikan Agum Gumelar. Pada 2011, Puang mencoba mencalonkan diri lagi setelah pada 2007 terpilih secara aklamasi di Kongres PSSI di Makassar.

Penolakan dari masyarakat pencinta sepak bola terutama elemen suporter Indonesia begitu kencang. Terlebih, PSSI mulai masuk pusaran konflik dengan dualisme kompetisi profesional dalam negeri. Indonesia Super League (ISL) di bawah PSSI dan ada pula break-away league atau liga sempalan yakni Indonesia Premier League (IPL).

Nurdin Halid (kanan) pernah menjabat Ketua PSSI dalam dua periode. (Nurdin Halid (kanan) pernah menjabat Ketua PSSI dalam dua periode. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Selepas era Nurdin, tak ada satu Ketua Umum PSSI yang mampu meneruskan jabatan mereka hingga dua periode. Semuanya pun lengser selalu dipicu konflik dalam organisasi tersebut.

Sebut saja Djohar Arifin Husin, suksesor Nurdin yang terpilih pada Kongres PSSI bertahan hanya satu periode.

Hanya tiga bulan usai Djohar terpilih sebagai Ketua PSSI, pecah dualisme di tubuh PSSI. Djohar berusaha bersih-bersih termasuk 'menggusur' para pengurus di era Nurdin.

La Nyalla yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Umum merasa geram karena politik sapu bersih pengurus-pengurus lama dianggap tidak adil. Dia berharap PSSI tetap mengakomodasi mereka yang masih punya kualifikasi untuk mengurus organisasi tersebut, termasuk kompetisi di bawah naungannya.

Permintaan La Nyalla yang menginginkan nama-nama seperti Joko Driyono, Hinca Panjaitan, dan Tigor Shalomboboy tetap dilibatkan di PSSI dan kompetisi profesional tak digubris Djohar. Alhasil, mantan Ketua KONI Jawa Timur itu membentuk aliansi perlawanan bernama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) dan membuat PSSI tandingan.

Kursi Ketua PSSI Semakin Sulit DijinakkanLa Nyalla hanya seumur jagung memimpin PSSI. (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra)
KPSI kemudian menghidupkan kembali ISL yang digantikan Liga Primer Indonesia (IPL) kala itu. ISL yang di kepengurusan Nurdin sebagai liga resmi, berubah menjadi liga 'haram' di era Djohar.

Konflik berlarut-larut hingga akhirnya Djohar 'menyerah'. Djohar kemudian merapat ke kubu La Nyalla pada 2014. Secara faktual, organisasi ini diarahkan La Nyalla dkk meski Djohar berstatus sebagai Ketua Umum PSSI.

Pada Kongres Pemilihan PSSI 2015 di Surabaya, La Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum PSSI dengan raihan 92 suara. Sementara hanya 14 suara memilih Syarif Bastaman.

Tiga calon lain, yaitu Benhard Limbong, Subardi, dan Muhammad Zein, tidak mendapatkan suara sama sekali. Djohar yang sempat maju kembali sebagai calon Ketua PSSI, mundur di Kongres itu.

Masa kepemimpinan La Nyalla rupanya hanya 'seumur jagung', lebih singkat dari Djohar. Baru saja terpilih, Ketua Kadin Jawa Timur itu didesak mundur.

Kemenpora RI bahkan langsung membekukan PSSI. Alasannya, PSSI selaku induk sepak bola nasional gagal menjalankan roda organisasi, terutama penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional.

Alhasil, PSSI juga dibekukan FIFA karena dianggap telah dintervensi pihak luar dalam hal ini pemerintah.

La Nyalla akhirnya terdongkel dari jabatannya pada Kongres Luar Biasa PSSI 2016 di Jakarta. Saat itu ia juga sempat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pelepasan saham ke publik (IPO) Bank Jatim.

Kongres itu juga memilih Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI periode 2016-2020. Namun, jabatan mantan Pangkostrad TNI tersebut di pucuk pimpinan PSSI itu tak sampai satu periode.

Edy mundur pada Kongres Tahunan PSSI 2019 atau sisa setahun lagi dari masa jabatannya. Polemik kembali membayangi PSSI di era kepengurusan pria kelahiran Sabang, Nangroe Aceh Darussalam, tersebut.

Terungkap kasus pengaturan skor di Liga 3 atas pengaduan mantan Ketua Umum Asosiasi Kabupaten PSSI Banjarnegara Budhi Sarwono dan manajer Persibara Banjarnegara Lasmi Indaryani. Sejumlah nama pejabat dan mantan pengurus PSSI ditahan Satgas Anti Mafia Bola lantaran dianggap terlibat.

Edy pun mundur pada Kongres Tahunan PSSI, Januari 2019 di Jakarta. Ia mengaku gagal mengurus organisasi itu.

Pria yang juga baru terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara pada 2018 tersebut memang sempat didesak mundur karena rangkap jabatan sebagai Ketua PSSI dan kepala daerah.

Edy Rahmayadi mundur dari posisi Ketua PSSI pada 2019. (Edy Rahmayadi mundur dari posisi Ketua PSSI pada 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Edy lantas digantikan oleh Joko Driyono sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua PSSI. Joko terdepak dari kursi itu setelah ditetapkan sebagai tersangka penerobosan garis polisi dan pengambilan barang bukti di bekas kantor Komisi Disiplin PSSI, Rasuna Office Park.

Joko digantikan oleh Gusti Randa sebagai Plt Ketua PSSI. Hanya bertahan sebulan, Plt Ketua PSSI dijabat Iwan Budianto karena Gusti mendapat penolakan dari para anggota PSSI termasuk sejumlah Anggota Komite Eksekutif PSSI.

Ibarat permainan rodeo, semakin liar 'kerbau' justru semakin banyak penunggang yang berusaha menaklukkannya. Padahal, ujung-ujungnya mereka terempas juga.

Kenapa jabatan Ketua Umum PSSI masih jadi rebutan?

Padahal, tak jarang pentolan organisasi sepak bola nasional itu yang kerap menjadi 'sasaran tembak' publik ketika sedikit saja ada masalah di sepak bola nasional.

Bisa jadi, PSSI masih dianggap seksi dalam mendongkrak nama terlepas muatannya negatif atau positif. Cara seperti ini biasanya jadi kendaraan empuk mereka yang ingin terjun ke dunia politik praktis.

Kursi PSSI jadi sebuah perjudian demi mendapat posisi penting dalam ranah politik praktis. Para alumni PSSI ini ada yang maju bertarung dalam arena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebut saja, Nurdin di Pilkada Sulawesi Selatan, Edy di Sumatera Utara, dan La Nyalla yang sempat berinisiatif maju untuk pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Kursi Ketua PSSI Semakin Sulit Dijinakkan
Pada akhirnya, hanya Edy yang berhasil dalam pertaruhan itu. Nurdin kalah dalam pertarungan di Sulsel, sedangkan La Nyalla sudah terjegal lebih awal dalam mekanisme pengusungan partai politik.

Di satu sisi, posisi PSSI kerap menjadi 'kambing hitam' atas masalah-masalah yang terjadi di sepak bola nasional. Contohnya saja kinerja buruk wasit atau masalah tunggakan gaji pemain oleh klub. Publik langsung mengarahkan tudingannya kepada PSSI, terutama sang ketua, karena dianggap gagal membereskannya.

Belum lagi, tetap ada saja pihak yang kerap memanfaatkan momen kekacauan di PSSI untuk kepentingan mereka. Harapannya tak lain bisa masuk ke lingkaran kekuasaan itu.

PSSI pun kerap menjadi bulan-bulanan, namun tetap diburu sejumlah pihak demi sorotan yang lebih luas. Jadilah kursi panas PSSI itu tak kunjung adem dan siap mengempaskan mereka dari sana. (har)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2GuQjFI

July 26, 2019 at 02:27PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kursi Ketua PSSI Makin Sulit Dijinakkan"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.