Berdasarkan evaluasi, besaran kompensasi pemerintah pada kuartal III 2019 diperkirakan mencapai Rp20,83 triliun. Angka itu meningkat 51,9 persen dari posisi akhir kuartal II yang sebesar Rp13,71 triliun.
"Kami dari pemerintah, menjadi PLN tidak mungkin rugi, meski PLN melakukan penugasan bagi pemerintah," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana di kantornya, Selasa (2/7).
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2017, mekanisme penyesuaian tarik (tariff adjustment) pada golongan tarif nonsubsidi dilakukan apabila terjadi perubahan terhadap asumsi makro ekonomi. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan.
Sebagai informasi, asumsi makro yang dimaksud antara lain, kurs, Harga Minyak Indonesia (ICP), dan inflasi. Saat ini, terdapat 12 golongan pelanggan yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Namun dalam praktiknya, skema tariff adjustment hingga kini tak berjalan karena pemerintah memutuskan untuk menahan tarif listrik. Pasalnya, pemerintah memiliki kepentingan untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Imbasnya, pada 2018 lalu, jumlah kompensasi pemerintah yang diberikan kepada PLN tercatat Rp23,17 triliun. Kompensasi ini dicatat PLN sebagai pendapatan kompensasi yang akhirnya membuat PLN mencetak laba Rp11,57 triliun tahun lalu.
Tahun depan, lanjut Rida, pemerintah akan mengimplementasikan skema tariff adjustment sepenuhnya. Dengan penerapan skema tersebut, pemerintah tidak perlu membayar kompensasi lagi kepada PLN, sehingga dapat mengurangi beban APBN.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi menyebut berdasarkan evaluasi kuartal III 2019, besaran kompensasi pemerintah diperkirakan mencapai Rp20,83 triliun. Angka itu meningkat 51,9 persen dari posisi akhir kuartal II yang sebesar Rp13,71 triliun.
Hendra mengungkapkan kenaikan pembayaran kompensasi untuk kuartal III terjadi karena kenaikan BPP akibat melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS, meningkatkan ICP, dan terkereknya inflasi.
Pada waktu menghitung perkiraan kompensasi untuk kuartal III, indikator kurs rupiah tercatat melemah dari kuartal II Rp14.231 per dolar AS menjadi Rp14.248 per dolar AS. ICP juga meningkat 15,5 persen dari US$57,66 per barel menjadi US$66,66 per barel. Rata-rata inflasi juga terkerek dari 0,29 persen menjadi 0,41 persen.
"Semua (indikator) naik, sehingga selisihnya (tarif dengan BPP) agak melebar sedikit," ujar Hendra.
Selain membayar kompensasi, pemerintah tahun ini juga mengalokasikan anggaran senilai Rp65,32 triliun untuk subsidi tarif listrik bagi 26 golongan pelanggan PLN. Pagu tersebut dibuat dengan asumsi rata-rata ICP US$70 per barel, kurs Rp15.000 per dolar AS, volume penjualan 85,25 TeraWatthour (TWh), dan selisih BPP dan tarif tenaga listrik Rp766 per kWH.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, hingga akhir Mei 2019, subsidi listrik tahun ini telah realisasi sebesar Rp18,45 triliun atau 28,24 persen dari pagunya untuk volume penjualan 34,35 TWh.
Subsidi itu diberikan untuk menutup selisih BPP dan tarif tenaga listrik di mana per akhir Mei rata-ratanya mencapai Rp537 per kWH. Perhitungan biaya mempertimbangkan realisasi rata-rata kurs di kisaran Rp14.157 per dolar AS dan rata-rata ICP US$60,5 per barel.
Tahun depan, pagu subsidi listrik diusulkan sebesar Rp58,62 triliun. Usulan pagu tersebut dibuat dengan asumsi ICP US$60 per barel, kurs Rp14.000 per dolar AS, volume penjualan 90,65 TWh, dan selisih BPP dan TTL kWh.
[Gambas:Video CNN] (sfr/lav)
https://ift.tt/3293khM
July 03, 2019 at 03:35PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tarif Listrik Tak Naik, Kompensasi Kuartal III Bisa Rp20 T"
Posting Komentar