Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan Jokowi tidak mengedepankan penyelesaian pelanggaran HAM, tapi justru meneruskan impunitas. Hingga 100 hari kerja di periode kedua, pemerintahan Jokowi tidak menyelesaikan satu pun kasus pelanggaran HAM.
"Malah terjadi impunitas dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM, dari hari ke hari pemerintah hari ini semakin mendelegitimasi hak asasi manusia dengan keputusan dan kebijakan yang diusulkan," ucap Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS, Raden Arif.
Dia menyoroti pemerintah yang lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur dan merampas ruang hidup masyarakat. Selain itu upaya negara dalam mempermudah masuknya investasi, kata Arif, justru membatasi hak-hak sipil berpendapat dan berekspresi.
"Sekarang saja demonstrasi dianggap menghambat investasi masuk, padahal demonstrasi adalah salah satu cara warga negara untuk berpendapat dan mengekspresikan sikap politiknya," ujar Arif.
KontraS menilai pemerintah hanya membuat kebijakan yang menguntungkan swasta. RUU Omnibus Law, penghapusan IMB dan Amdal menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu maupun saat ini.
Kelanjutan kasus pelanggaran HAM berat. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
|
"Pemerintah malah mengambil jalan pintas lewat rencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sebenarnya sebuah cerminan yang keliru terhadap interpretasi UU Nomor 26 tahun 2000, kasus pelanggaran HAM harus ditempuh lewat jalur hukum," kata Kepala Divisi Advokasi Internasional KontraS, Fatia Maulidiyanti.
KontraS juga menyesali pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM selama pemerintahan Jokowi. Menurut Fatia, pernyataan Mahfud merupakan kesalahan besar dan sangat melukai para korban.
"Kita dapat definisi dari situ bahwa sebenarnya negara tidak pernah berpihak pada korban," ujarnya.
Bahaya DKN
Pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) dikhawatirkan akan mengancam gerakan masyarakat sipil. Sekretaris Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan perumusan DKN justru menegasikan gerakan masyarakat sipil.
"Ketiadaan partisipasi publik dalam pembentukan DKN ini berarti menegasi gerakan masyarakat, kita semua tahu bahwa selama ini gerakan masyarakat selalu diartikan sebagai bentuk gangguan keamanan, ini jelas berbahaya," kata Julius dalam diskusi publik "Problematika Pembentukan Dewan Keamanan Nasional" di Komnas HAM, Senin (27/1).
Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
"DKN ini urgensinya apa? kita punya Menko Polhukam yang tugasnya sebagai koordinator juga memberikan advice kepada presiden terkait persoalan keamanan, terus DKN ini dibentuk untuk apa?" kata Anam.
Dia menilai pembentukan DKN juga membatasi mobilitas masyarakat sipil yang seharusnya ikut serta merumuskan kebijakan. Sampai saat ini, usulan pembentukan DKN hanya dibahas di tingkat eksekutif. Kondisi ini menurutnya justru mengerdilkan upaya masyarakat untuk ikut memberikan aspirasi.
"Sejauh ini usulan DKN tidak melibatkan masyarakat sipil, ini artinya ada pembatasan hak-hak publik," katanya.
Selain itu, Anam menilai terminologi yang digunakan dalam pembentukan DKN juga keliru. Istilah public safety diartikan sebagai 'keamanan publik' yang semestinya 'keselamatan publik'. Mispersepsi ini nantinya akan terus meloloskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Terminologinya saja sudah keliru, mereka mengartikan keamanan publik yang artinya jika ada hal-hal yang mengganggu kepentingan nasional, ya itu akan menjadi ancaman, ini kan jelas keliru, aksi masyarakat yang turun ke jalan nanti akan menjadi ancaman publik juga?" tanyanya.
[Gambas:Video CNN] (mel/pmg)
https://ift.tt/36vSyCY
January 28, 2020 at 03:10PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "100 Hari Kerja Jokowi Mengingkari Penuntasan Pelanggaran HAM"
Posting Komentar