Wacana Brexit bermula setelah kaum anti-Uni Eropa di Inggris mengusulkan referendum agar rakyat negara Eropa Barat itu bisa memilih apakah ingin tetap bertahan atau meninggalkan Uni Eropa.
Tiga alasan utama kaum anti-Uni Eropa ingin mewujudkan Brexit adalah mereka menilai kewenangan blok itu semakin mengikis kedaulatan Inggris terutama dalam menerapkan kebijakan luar negerinya. Mereka juga menilai kebijakan Uni Eropa menghambat pertumbuhan ekonomi Inggris sebagai negara ekonomi terbesar keenam di dunia, terutama dalam hal berbisnis.
Selain itu, masalah imigran menjadi salah satu pemicu Brexit. Salah satu prinsip Uni Eropa adalah pergerakan bebas setiap warga negara anggota. Warga Inggris bisa bekerja dan tinggal dengan mudah di negara Uni Eropa, begitu juga sebaliknya.
Kaum anti-Uni Eropa menilai kebebasan mobilisasi warga Eropa itu bisa mengancam peluang kerja bagi warga Inggris di dalam negeri.Referendum Brexit akhirnya digelar pada Juni 2016 dengan hasil yang mencengangkan dunia dan mengguncang politik Inggris. Sebanyak 52 persen warga Briton yang ikut serta, memilih Inggris keluar dari Uni Eropa.
'Tongkat Estafet' Brexit di Tangan Theresa May
Hasil referendum itu mendorong perdana menteri saat itu yang pro-Uni Eropa, David Cameron, mengundurkan diri dan digantikan oleh Theresa May dari partai yang sama yakni partai berkuasa, Konservatif.
May terpilih menjadi PM pada 13 Juli 2016. Ia semula sependapat dengan Cameron yang tak ingin Inggris keluar dari Uni Eropa. Namun, May berusaha menjalankan amanah rakyat sebagai PM untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa.
Saat itu, Uni Eropa memberi tenggat waktu untuk May merampungkan negosiasi Brexit pada 29 Maret 2019. May pun resmi memulai proses Brexit pada 29 Maret 2017 setelah bolak-balik berdebat dengan Pengadilan Tinggi Inggris.
Jalan May juga tak mulus saat berunding soal hubungan masa depan Inggris-Uni Eropa pasca-Brexit dengan parlemennya. Di satu sisi, May ingin Inggris tetap memiliki hubungan dekat terutama dalam hal perdagangan dengan Uni Eropa setelah keluar dari blok itu.Namun, oposisi di parlemen Inggris mendesak agar pemerintah benar-benar memutus ketergantungan dengan Uni Eropa pasca-Brexit.
Di tengah kebuntuan ini, May meminta tenggat waktu Brexit diperpanjang. Uni Eropa mengabulkan permintaan itu dengan mengulur tenggat Brexit menjadi 30 Juni 2019.
Namun, keberuntungan tampak tak melekat pada May. Parlemen tetap berkeras tak mau mengikuti proposal Brexit gagasan May sehingga mendorongnya meminta Uni Eropa mengulur tenggat waktu Brexit menjadi 31 Oktober 2019.
Merasa gagal menyatukan pemerintah dengan parlemen, May pun memutuskan mundur sebagai PM karena merasa tak bisa melaksanakan amanah rakyat soal Brexit dengan semestinya pada 24 Mei 2019.
Kelanjutan Brexit di Tangan Boris Johnson
Pada Juli 2019, mantan menteri luar negeri Inggris, Boris Johnson, memenangkan pemilihan PM pengganti May. Berbeda dengan May, Johnson bersifat lebih keras dan saat itu berupaya membawa Brexit dengan atau tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa.
Sekitar awal Oktober, Johnson berhasil meloloskan Brexit gagasannya. Salah satu isinya yakni memastikan Inggris keluar dari Uni Eropa sebagai satu negara Britania Raya yang mencakup Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Proposal itu cukup mendapat sinyal baik dari Uni Eropa. Namun, di dalam negeri, jalan Johnson ternyata tak mulus. Parlemen tak mendukung gagasannya hingga memicu tenggat waktu Brexit kembali diperpanjang hingga 31 Januari 2020.
Pada Desember 2019, Johnson memutuskan menggelar pemilihan umum lagi demi merangkul suara mayoritas parlemen. Dan dia berhasil.
Sejak itu, pemerintahan Johnson bisa merealisasikan proposal Brexit gagasannya menjadi undang-undang. Uni Eropa meratifikasi UU Brexit itu pada 29 Januari.
Foto: CNN Indonesia/Fajrian
|
https://ift.tt/2OdCwr6
February 01, 2020 at 02:05PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jalan Panjang Inggris 'Angkat Kaki' dari Uni Eropa"
Posting Komentar