Indra mengatakan itu karena paket kebijakan Nadiem, yakni Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka belum menyentuh Sumber Daya Manusia (SDM) sama sekali. Dalam hal ini SDM yang dimaksud adalah guru dan dosen.
"Kalau hanya seperti ini ya nggak akan berjalan. Apa ya, jadi terkesan hanya seperti gimik, bukan kebijakan strategis. Padahal yang kita butuhkan transformasi nyata," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (30/1).
Kata Indra, guru dan dosen menjadi ujung tombak dari pembangunan pendidikan yang lebih baik. Namun hingga kini permasalahan pemerataan kualitas guru dan dosen masih jadi masalah besar di Indonesia.
"Ini butuh sebuah transformasi. Beliau sudah benar menyebut ada guru penggerak dan dosen penggerak. Tapi guru dan dosen ini tidak muncul dengan sendirinya, harus disiapkan dulu. Nah itu yang belum disentuh. Harusnya mulai dari situ," ujarnya.
Merinci pada kebijakan yang dimaksud, terkait kebebasan perguruan tinggi membuat prodi baru misalnya. Dalam kebijakannya Nadiem memberikan fleksibilitas untuk perguruan tinggi berakreditasi A dan B membuat prodi, asalkan punya kerja sama dengan organisasi kelas dunia.
Dengan situasi pendidikan yang belum dibenahi, kebijakan ini justru bisa memunculkan pemikiran komersil. Indra khawatir nantinya ada oknum perguruan tinggi yang mengakali kebijakan ini untuk jualan prodi ke mahasiswa.
"Misalnya ada perusahaan robotic membuat kurikulum pelajaraan robotics dari anak 1 sampai 12. Dia mencari klien karena for profit. Jadi mereka bakal senang-senang saja tanda tangan MoU dengan universitas di Indonesia misalnya. Karena tujuan mereka jualan kurikulum ini, yang sebenarnya ditujukan untuk anak SD sampai SMA," jelas Indra.
"Nah kan kalau ngelihat aturannya begini, si perguruan tinggi ini bisa lihat. Sudah lah kita kerjasama dengan mereka saja. Ternyata dia ngasih nama prodi robotica. Kan orang tertarik, wah kita akan diajari robotic. Ternyata ini buat anak SD. Tujuannya bukan untuk membangun SDM yang unggul tapi malah jualan," tambahnya lagi.
Indra menilai kebijakan Nadiem dalam memerdekakan proses belajar sebenarnya belum bisa diaplikasikan di Indonesia secara bebas. Hal itu karena budaya di Indonesia berbeda dengan di negara barat. Menurut Indra, dua kebijakan ini masih kental dengan nuansa budaya barat."Yang dilakukan Mas Nadiem ini tipikal daya berpikir orang barat. Yang memang akan membutuhkan kemerdekaan, kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]
Sejak menjabat Mendikbud, Nadiem mengeluarkan dua kebijakan terkait pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, yakni Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar.
Pada Kampus Merdeka, ia membebaskan perguruan tinggi berakreditasi A dan B mendirikan prodi. Kemudian mahasiswa juga diperbolehkan menukar 40 satuan kredit semester (SKS) dengan kegiatan di luar kuliah.
Pada kebijakan Merdeka Belajar, Nadiem mengubah sistem Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Ia juga menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan memberikan mandat sepenuhnya kepada sekolah.
Mengenai kebijakan ini Nadiem sendiri mengaku belum menyentuh permasalahan kualitas dan kesejahteraan guru. Menurutnya, program-program yang ia umumkan baru langkah awal untuk mencapai kemerdekaan belajar di Indonesia."Apa itu cukup, sudah jelas tidak cukup. Itu baru step pertama kita untuk mencapai kemerdekaan belajar," katanya di sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (13/12).
Nadiem berjanji akan mencoba membebaskan guru untuk bebas mengeluarkan pemikiran. Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari pembelajaran. (fey/osc)
https://ift.tt/2RHUT9M
January 31, 2020 at 03:37PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pengamat Kiritisi Kebijakan 'Gimik' Kampus Merdeka ala Nadiem"
Posting Komentar