Menurut dia, negara Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Indonesia akan menanggung kerugian jika terjadi konflik terbuka dengan negara besar di perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu.
"Kami ingin pastikan supaya tidak ada peperangan di kawasan ini (Laut China Selatan). Jika berlaku ketegangan di sini (Laut China Selatan), yang akan merugi adalah negara di sekitar perairan itu," kata Mat Sabu, sapaan Mohamad Sabu dalam wawancara eksklusif dengan CNNIndonesia.com di Jakarta, pada Jumat (24/1).
"Sedangkan negara besar seperti Amerika Serikat tidak akan terkena karena jauh. Yang akan tanggung dampaknya adalah kita (negara di Asia Tenggara)," tuturnya menambahkan.
Mat Sabu mengatakan sebagai negara maritim, Indonesia perlu memperkuat pertahanan negara terutama angkatan laut.
Selain itu, ia menegaskan bahwa negara di Asia Tenggara harus mengutamakan dialog dengan negara-negara besar seperti China dan AS yang kerap terlibat dalam konflik di Laut China Selatan.
"Seperti negara-negara besar yang sedang cari pengaruh (di Laut China Selatan), kita harus enggage mereka seperti AS, China, dan Rusia, supaya adakan dialog," kata dia.
China mengklaim 90 persen perairan Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Sejak itu, perairan yang kaya sumber daya alam itu menjadi rawan konflik.
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih dengan China di Laut China Selatan. Selain Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Thailand juga bersengketa dengan China di perairan itu.
Meski Pengadilan Permanen Arbitrase Internasional menolak klaim Beijing di Laut China Selatan pada 2016 lalu, pemerintahan Presiden Xi Jinping berkeras membangun sejumlah instalasi militer bahkan pulau buatan di perairan itu.
Demi mencegah konflik, negara ASEAN dan China sepakat membentuk kode etik atau code of conduct (CoC) demi mengatur sikap pihak-pihak yang bersengketa di Laut China Selatan.
Sepuluh negara ASEAN dan China akhirnya menyepakati pembacaan tahap pertama atau first reading isu CoC pada Juli 2019 lalu.
Di sisi lain, China terus menunjukkan agresivitas. Yang terbaru, puluhan kapal ikan China sempat beberapa memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau, sejak Desember lalu hingga Januari ini.
Tak hanya memasuki wilayah, puluhan kapal ikan China itu juga menangkap ikan di ZEE Indonesia dengan kawalan kapal coast guard dan kapal perang fregat pemerintah Tiongkok. Meski sempat menjauhi ZEE Indonesia setelah diusir Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), kapal-kapal China itu kembali lagi memasuki ZEE.
Indonesia melayangkan protes terhadap China, namun Beijing menolak dengan mengklaim bahwa perairan di sekitar Natuna itu bagian dari Laut China Selatan. Beijing mengatakan nelayannya sudah puluhan tahun mencari ikan di perairan itu sehingga negaranya memiliki hak historis terhadap Laut China Selatan.
Sejumlah pihak khawatir insiden China dan RI ini dapat menghambat negosiasi CoC yang sudah belasan tahun digodok.
Namun, kekhawatiran itu mereda setelah Menteri Koordinator Bidang politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut pemerintah Indonesia dan China telah bersepakat bahwa tak ada perselisihan lagi mengenai perairan Natuna. (rds/dea)
https://ift.tt/2RX5tZh
January 28, 2020 at 02:03PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Malaysia Tak Ingin Berperang di Laut China Selatan"
Posting Komentar