Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya dikritik secara formil karena proses pembahasannya yang dinilai minim partisipasi publik dan terburu-buru. Secara materiil, UU Cipta Kerja juga dinilai tidak berpihak kepada pekerja dan lingkungan demi mendatangkan investor.
Sejumlah pasal di sektor ketenagakerjaan dan lingkungan banyak disorot elemen buruh, koalisi masyarakat, aktivis lingkungan, sampai akademisi dan pakar. Mereka menilai pasal tersebut punya indikasi merugikan.
CNNIndonesia.com kembali merangkum sejumlah pasal kontroversial dalam Omnibus Cipta Kerja yang mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Pasal-pasal itu diambil dari draf Omnibus Law Cipta Kerja yang telah diterima Presiden Jokowi, yakni draf 1.187 halaman.
1. Perubahan Upah Minimum Kota/Kabupaten
UU Cipta Kerja memuat perubahan dalam pengupahan meliputi penghapusan ketentuan mengenai upah minimum provinsi atau kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Pengaturan tentang UMK dan upah minimum berdasarkan sektor itu sebelumnya tercantum dalam Pasal 89 dan Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, melalui Pasal 81 poin 26 dan 27 UU Ciptaker, pemerintah menghapuskan ketentuan Pasal 89 dan Pasal 90.
Sebagai gantinya, pemerintah memberikan kewajiban bagi gubernur untuk menetapkan upah minimum provinsi dan dapat menetapkan upah minimum
kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 poin 25 UU Ciptaker, melalui selipan pasal 88C yang sebelumnya tidak ditemui dalam UU Ketenagakerjaan.
Pemerintah juga mengubah komponen penyusun struktur dan skala upah di perusahaan. Dalam pasal 92 ayat 1 sampai 3 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Kemudian, pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Selanjutnya Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Namun, pemerintah mengubah komponen struktur dan skala upah melalui Pasal 81 poin 30 UU Ciptaker.Setelah diubah, Ketentuan Pasal 92 ayat 1-3 berbunyi:
(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2. Aturan PHK
Dalam UU Cipta Kerja perusahaan tak perlu mengajukan permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sebelumnya diatur dalam Pasal 152 UU Ketenagakerjaan.
Adapun bunyi Pasal 152 UU Ketenagakerjaan adalah: Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
UU Cipta Kerja Pasal 80 poin 39 menyatakan bahwa Pasal 152 dihapus.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga membatasi akses buruh kepada lembaga perselisihan hubungan industrial, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 171 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 171 UU Ketenagakerjaan berbunyi: Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Beleid itu dihapus dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 poin 60.
Poin lain, pemerintah menghapus kesempatan bagi pekerja untuk mengajukan PHK karena alasan tertentu yang sebelumya tertuang dalam Pasal 169 ayat 1 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 169 ayat 1 UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Ketentuan itu dihapus dalam UU Cipta Kerja Pasal 81 poin 58.
Presiden Jokowi menampik bahwa UU Cipta Kerja mempermudah perusahaan seketika melakukan PHK terhadap pekerja secara sepihak. Dia mengklaim aturan yang baru justru menghindari PHK secara sepihak.
"Ini juga tidak benar, yang benar perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (9/10).
3. Kemudahan Penyerapan Tenaga Kerja Asing
Pasal 42 ayat 1 dalam UU Ketenagakerjaan mewajibkan pengusaha yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing, terlebih dulu mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Beleid pasal itu berbunyi: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Izin tertulis itu diganti dengan rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam Pasal 81 poin 4 UU Cipta Kerja yang berbunyi: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
4. Penyusunan Amdal dan Hilang Kesempatan Menggugat
Aktivis lingkungan menilai UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan kekuatan analisis dampak lingkungan (Amdal) yang berfungsi meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar aktivitas usaha.
Pelemahan bisa terjadi karena ada aturan yang mempersempit keterlibatan masyarakat dalam penyusunan amdal. Itu tercermin dalam perubahan Pasal 25 poin C UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dalam UU Cipta Kerja.
Pasal 25 poin C dalam UU PPLH berbunyi: Dokumen Amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Masyarakat yang dimaksud, berdasarkan Pasal 26 ayat 3 UU PPLH, terdiri dari masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
Dalam Pasal 22 poin 4 Omnibus Law Cipta Kerja, aturan Pasal 25 poin C itu diubah sehingga berbunyi: Dokumen Amdal memuat saran, masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan.
Kategori masyarakat juga dihapuskan dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Tak ada lagi keterlibatan pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. Penyusunan Amdal hanya melibatkan pemrakarsa dan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring menilai pemangkasan keterlibatan khalayak luas dalam penyusunan Amdal dapat berpotensi meningkatkan konflik antara masyarakat setempat dengan pengusaha.
"Bisa jadi sekarang yang terkena dampak sekitarnya saja. Tapi ketika usaha terus berkembang dan sudah menghasilkan produksi, limbah, tenaga kerja, mungkin akan lebih banyak lagi (masyarakat yang terdampak)," imbuhnya, Senin (19/10).
UU Cipta Kerja juga menghapus pembatalan izin lingkungan oleh pengadilan, dalam hal ini PTUN. Raynaldo menyebut penghapusan itu membuat masyarakat tak bisa lagi menggugat ke PTUN seperti diatur di UU sebelumnya.
Dalam Pasal 38 UU PPLH disebut: Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Sementara dalam Pasal 22 Poin 16 Omnibus Law, Pasal 38 UU PPLH dihapus.
5. Kewenangan Pemda di Bawah Pemerintah Pusat
Wewenang pemerintah daerah yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) diambilalih di bawah kewenangan presiden. Ini diatur pada Pasal 174 UU Cipta Kerja.
"Dengan berlakunya undang-undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden," bunyi pasal tersebut.
Kewenangan pemda pada beberapa pasal pun diubah dalam UU Cipta Kerja, misalnya pada Pasal 176 Poin 9 terkait perizinan.
Sebelumnya soal perizinan itu diatur pada Pasal 350 dalam UU No. 23 Tahun 2014. Beleid pasal itu menyatakan kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan berusaha sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Namun pada Pasal 176 Poin 9 UU Cipta Kerja, urusan perizinan bisa diambilalih pemerintah pusat bila kepala daerah tidak menjalankan wewenang tersebut dan sudah ditegur dua kali.
"Menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur," tulis Pasal 350 ayat 9 UU tentang Pemda, sebagaimana diatur dalam Pasal 176 Poin 9 UU Cipta Kerja
(fey/wis)https://ift.tt/2TvpuHH
October 28, 2020 at 10:10AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Poin-poin Kontroversial Omnibus Law"
Posting Komentar