Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjajaki kerja sama alat utama sistem persenjataan (alutsista) lewat rangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Austria, Prancis, dan Turki di sepanjang Oktober ini.
Dari sekian kunjungan itu, lawatannya ke Amerika Serikat pada 15-19 Oktober lalu paling mendapat sorotan. Ini karena lawatan tersebut sekaligus menandai berakhirnya kebijakan AS yang selama sekitar 20 tahun pernah melarang kedatangan Prabowo.
Selama kurun waktu 20 tahun Prabowo tak diperbolehkan menginjakkan kaki di Amerika Serikat karena dianggap terlibat sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi menjelang dan sesudah kejatuhan Presiden Soeharto.
Sikap AS yang sekarang melunak terhadap Prabowo, ditengarai oleh pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, sebagai siasat untuk merangkul Indonesia agar tidak jatuh ke pelukan China. Dan hal ini tak lepas dari pertimbangan strategis AS terkait konflik di Laut China Selatan yang belakangan memanas.
Dalam konflik di Laut China Selatan, Beijing mengklaim hampir 90 persen wilayah di perairan itu. Klaim tersebut tumpang tindih dengan wilayah perairan dan ZEE sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei. Sementara Amerika menjadi negara yang aktif menentang klaim dan aksi sepihak China.
Indonesia sebenarnya telah berulangkali menegaskan tidak memiliki sengketa dengan China di Laut China Selatan. Namun, aktivitas sejumlah kapal ikan dan patroli China di ZEE Indonesia di sekitar Natuna jadi persoalan yang membuat khawatir Jakarta.
Pada beberapa kasus Indonesia sempat mengerahkan armada lautnya untuk mengusir kapal-kapal nelayan dan patroli China di perairan Natuna.
Dalam kompleks persoalan ini, Amerika melihat Indonesia sebagai negara penting dalam konflik di Laut China Selatan.
Kata Hikmahanto, dalam Buku Putih Departemen Pertahanan AS disebutkan bahwa China berniat untuk membangun pangkalan militer di Indonesia. AS menduga hal itu disebabkan oleh kedekatan ekonomi antara Indonesia dan China.
Dalam hubungan ekonomi tersebut Indonesia lebih bergantung pada China. Karena ketergantungan ekonomi itulah Indonesia bisa saja bergabung dengan China.
Jika skenario seperti tertulis dalam Buku Putih Departemen Pertahanan AS terwujud, maka kebijakan luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut Indonesia bisa luntur karena ekonomi.
"Indonesia diprediksi oleh AS akan jatuh ke tangan China dengan ketergantungan ekonominya dan mudah dikendalikan oleh China," ujar dia beberapa waktu lalu.
Hikmahanto menambahkan bahwa AS, lewat undangan terhadap Prabowo, juga ingin memberi pesan kepada China bahwa Indonesia berpihak kepada AS.
"Utamanya dalam ketegangan AS-China di Laut China Selatan," kata dia.
Disebutkan Hikmahanto bahwa AS tak ingin Indonesia jatuh ke tangan China karena Indonesia memang merupakan satu dari sekian banyak negara yang memiliki posisi strategis dan peran sentral di kawasan Asia Pasifik.
Pengamat Pertahanan Militer Edy Prasetyono menyebut letak geografis wilayah Indonesia yang berada di gugusan perairan Laut China Selatan mau tak mau menjadikan Indonesia sebagai salah satu medan adu pengaruh AS dan China.
Dalam posisi yang 'diperebutkan' oleh AS dan China tersebut, menurut Edy, Indonesia tetap bisa mengambil keuntungan.
Menurut dia, Indonesia bisa mengambil keuntungan jika mampu menerjemahkan letak strategisnya menjadi sebuah daya tawar yang kuat, baik dalam hubungan dengan AS maupun Tiongkok.
Sementara pengamat militer sekaligus Pendiri Marapi Consulting & Advisory Beni Sukadis menyebut posisi strategis Indonesia selain karena letak geografisnya juga ada pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang selama ini dianut pemerintah.
Keberpihakan Indonesia kepada China atau AS dapat mengganggu perimbangan kekuatan. Indonesia bisa memainkan kartu penting itu untuk meningkatkan daya tawarnya.
Caranya adalah dengan tidak berpihak pada AS maupun China. Beni menuturkan sikap tidak memihak dalam pusaran konflik AS dan China di Laut China Selatan bisa mendatangkan keuntungan lebih banyak bagi Indonesia.
Salah satu keuntungan dari posisi tidak berpihak adalah menciptakan iklim politik dalam negeri yang kondusif. "Karena kalau kita secara eksplisit menyatakan (berpihak) mungkin yang akan ribut bukan dari negara asingnya tetapi dari politik domestik," kata Beni.
Selain meminimalisir konflik di dalam maupun di luar negeri, dengan bersikap tidak memihak AS maupun China, Indonesia bisa tetap menjalin kerja sama dengan kedua negara.
"RI bisa bermain cantik dengan menerima bantuan infrastruktur ataupun membeli alutsista dengan skema yang memadai bagi program minimum essential forces (MEF) atau kekuatan pokok minimum," ujar Beni.
Sejauh ini Beni melihat Indonesia masih dalam posisi yang benar. Kunjungan Prabowo ke AS, menurutnya, tidak mencerminkan posisi Indonesia yang condong ke AS.
Beni menyebut lawatan Prabowo ke AS dan negara lain di Eropa masih dalam rangka memenuhi program MEF yang ditargetkan terpenuhi 100 persen pada 2024.
Menurut dia, safari alutsista Prabowo juga masih proporsional jika dilihat dari segi penjajakan. Negara yang sedang menjajaki kerja sama pertahanan, kata Beni, idealnya memang harus menyambangi langsung ke negara incarannya.
Dengan melakukan kunjungan langsung, utusan negara tersebut dalam hal ini Prabowo Subianto bisa langsung membahas secara spesifik teknis kerja sama pertahanan yang ingin dijalin.
Lewat safari alutsista itu, kata Beni, Indonesia juga bisa melihat kekuatan ekonomi mana selain China yang bisa diajak kerja sama dalam isu keamanan dan sekaligus Ekonomi.
Meski demikian, Beni mengingatkan bahwa upaya penjajakan yang dilakukan Prabowo tak bisa dinilai dengan cepat.
Menurut dia butuh waktu yang tidak sebentar hingga akhirnya kedua negara memutuskan untuk mengikat kerja sama dan menghasilkan sesuatu yang konkret.
"Tentunya ini butuh waktu 2 atau 3 tahun, sebelum penandatanganan kontrak. Butuh waktu yang cukup panjang," tutup Beni.
(tst/wis)https://ift.tt/3jJz3xt
October 31, 2020 at 10:05AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Safari Alutsista Prabowo di Tengah Panas Laut China Selatan"
Posting Komentar