Pertemuan puncak antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump beberapa waktu lalu telah menarik perhatian berbagai pihak.
Tapi citra Kim sebagai pemimpin negara telah dilihat secara berbeda oleh capres AS yang bertarung dalam pilpres tahun ini. Jika Trump mendeklarasikan cinta kepada Kim, maka Joe Biden mencirikan Kim sebagai seorang "preman".
Keterlibatan diplomatik yang aneh antara Trump dan Pyongyang juga telah berubah. Dari yang tadinya saling mengancam perang dan saling hina, menjadi "surat cinta" dan berbuah pertemuan pertama antara keduanya.
Dilansir AFP, pertemuan Kim-Trump kemudian berlanjut dua kali setelah pertemuan puncak di Singapura pada 2018, tapi tanpa kemajuan konkret dalam upaya denuklirisasi.
Para analis mengatakan kemenangan Biden menandai kembalinya norma diplomatik yang lebih standar. Saat kampanye, Biden mengatakan dia tidak akan bertemu Kim tanpa prasyarat dan menuduh Trump telah "memberi semangat" kepada Kim.
Dalam debat presiden terakhir pada Oktober, Biden mengecam Trump karena berteman dengan Kim dan menyamakan pemimpin Korut itu dengan Adolf Hitler.
"Dia berbicara tentang teman baiknya, yang preman. Itu seperti mengatakan kami memiliki hubungan baik dengan Hitler sebelum dia menginvasi Eropa," serang Biden kepada Trump saat itu.
Sementara itu, media pemerintah Korut belum berkomentar mengenai hasil pilpres AS. Namun sebelumnya, media setempat telah mengecam Biden. KCNA menyebutnya sebagai "anjing gila yang harus dipukuli sampai mati".
Mantan Analis CIA, Soo Kim mengatakan Pyongyang nampaknya akan sedikit kesal dengan perubahan kepemimpinan di AS.
"Rezim menyadari sekarang prospek pertemuan tingkat tinggi dengan seorang pemimpin AS akan tipis," ujarnya.
Sepanjang proses negosiasi dengan Trump, Pyongyang terus mengembangkan dan memajukan persenjataannya. Pada parade militer bulan lalu dalam ulang tahun ke-75 partai berkuasa, Korut memamerkan serangkaian senjata baru, termasuk ICBM baru yang besar.
Sejak runtuhnya Konferensi Tingkat Tinggi Kim-Trump kedua di Hanoi pada Februari 2019, Korut telah melakukan lusinan peluncuran rudal. Tapi pihaknya memastikan untuk tidak melanggar garis merah ICBM atau uji coba nuklir dari presiden AS.
Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Infografis Prediksi Kebijakan Joe Biden |
Peneliti di Institut Riset Korea untuk Strategi Nasional, Shin Beom-chul menuturkan Pyongyang mungkin menunda pengujian senjata strategis tahun ini dengan mempertimbangkan Trump akan menang.
"Korea Utara berharap Trump terpilih kembali," ujarnya kepada AFP.
Tapi di sisi lain, Pyongyang juga semakin frustrasi karena hubungan pribadi yang dibanggakan antara Kim dan Trump tidak mengarah pada pelonggaran sanksi atau konsesi substansif lainnya dari Washington.
Pada Juli, adik perempuan Kim, Kim Yo-jong mengatakan AS tampaknya bermusuhan dengan Korut, "tidak peduli seberapa baik hubungan di antara para pemimpinnya".
Profesor Hubungan Internasional di Handong Global University, Park Won-gon mengatakan kemenangan Biden akan sangat memperumit perhitungan Pyongyang.
Korut membenci Biden karena perannya dalam pemerintahan Obama yang mengadopsi kebijakan "kesabaran strategis (strategic patience)". AS menolak terlibat dengan Korut kecuali Pyongyang menawarkan konsesi terlebih dahulu atau sampai rezim itu runtuh dari dalam.
Park menyarankan, Pyongyang mungkin bisa menggunakan tindakan tingkat rendah untuk menarik perhatian Biden.
"Ada kemungkinan besar bahwa Pyongyang akan menargetkan Korea Selatan. Korut bisa menilai bahwa lebih aman untuk menciptakan ketegangan di Semenanjung Korea," kata Park.
https://ift.tt/2JWa3qJ
November 10, 2020 at 07:11AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Biden dan Hubungan Panas Dingin AS-Korea Utara"
Posting Komentar