Mengukur Kemampuan RI Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia akhirnya resmi memasuki jurang resesi ekonomi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan kuartal III 2020 minus 3,49 persen. Itu melengkapi kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 yang minus 5,32 persen

Kondisi tersebut sekaligus mematahkan ekspektasi pemerintah pada Juli hingga awal September 2020 yang masih memperkirakan Indonesia bisa menghindari resesi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar -1,1 persen hingga 0,2 persen.

Meski mengalami resesi, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan perekonomian ekonomi Indonesia kuartal III 2020 sejatinya mulai memasuki fase penyembuhan dari infeksi virus corona. Meski secara tahunan masih negatif jika dibandingkan kuartal sebelumnya.


"Ini bisa menjadi modal yang bagus untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020," ujar Suhariyanto.

Pendapat tersebut menurutnya tak berlebihan lantaran pola perbaikan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara lain yang lebih dulu terperosok ke dalam resesi seperti Singapura, Korea Selatan, Uni Eropa, hingga Amerika Serikat.

Kendati demikian, Suhariyanto tak memungkiri kalau jalan menuju pemulihan tak semudah memadamkan nyala lilin: sekali tiup mati. Apalagi, kasus harian covid-19 di dalam negeri masih mengalami peningkatan.

"Kami bisa lihat berbagai pergerakan indikator di banyak negara mengalami perbaikan, tapi perbaikan itu masih menghadapi kendala karena masih tingginya kasus covid-19," ucapnya.

[Gambas:Video CNN]

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat perbaikan ekonomi Indonesia akan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain.

Sebab, menurutnya, percepatan realisasi program PEN serta serapan kementerian dan lembaga yang telah digenjot pemerintah terbukti tidak ampuh. Target untuk memperbaiki konsumsi pemerintah dari minus 6,9 persen pada kuartal II menjadi 9,8 persen hingga 17 persen pada kuartal III, misalnya, juga meleset dan hanya mampu mencapai angka 9,76 persen.

Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang jadi lokomotif ekonomi dalam negeri dengan porsi 57 persen terhadap PDB hanya membaik sedikit dari minus 5,6 persen ke minus 4,4 persen. Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah terutama dengan berkali-kali melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Ekspor-impor, dan investasi enggak usah ditanya. Sudah pasti akan turun karena perdagangan internasional turun tajam dan outlook penanam modal juga turun. Jadi harapannya cuma konsumsi sama belanja pemerintah saja sebenarnya," ucap Rendy.

Dengan berbagai kondisi tersebut, menurutnya, hampir mustahil Indonesia keluar dari resesi di tahun ini. Ia memperkirakan perekonomian baru bisa beranjak dari resesi dan berada di zona positif pada kuartal II 2021.

Hal ini terutama karena masyarakat 20 persen berpengeluaran tinggi, yang porsi belanjanya berkontribusi 45,36 persen terhadap konsumsi rumah tangga, masih lebih memilih menabung dan berinvestasi.

"Walaupun ada diskon tiket pesawat, liburan panjang, mereka belum confident untuk bepergian. Karena potensi penularan virus bukan cuma di tempat wisata tapi juga perjalanan. Wajar kalau jumlah tabungan di bank juga masih akan meningkat, paling tidak sampai kuartal pertama tahun depan," jelas Rendy.

Di sisi lain, siklus belanja pemerintah cenderung melambat pada awal tahun. Sementara anggaran bantuan sosial dalam program PEN yang dapat menstimulasi konsumsi masyarakat berkurang cukup drastis.

Padahal isu daya beli menurutnya belum akan terselesaikan hingga tahun depan lantaran jumlah penduduk miskin akan bertambah akibat banyak orang kehilangan pekerjaan.

Berdasarkan laporan terbaru BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 menembus 7,07 persen atau naik 1,84 persen dibandingkan dengan Agustus 2019.

Menurut Rendy, ini merupakan capaian TPT terburuk di era kepemimpinan Joko Widodo. Sebab, biasanya rerata TPT di Indonesia adalah sekitar 5 persen.

Angka pengangguran Agustus 2020 pun tembus 9,77 juta dan menjadi rekor terburuk dalam 5 tahun terakhir berdasarkan keterangan BPS.

Di sisi lain, angkatan kerja membeludak ke level 138,22 juta orang dan serapan pekerja di sektor informal naik ke level 60,47 persen dengan peningkatan terbanyak pada status pekerja keluarga atau tidak dibayar.

"Bagi saya agak membingungkan melihat datanya turun, karena pemerintah mengatakan tahun depan bertambah, dan diperluas, tapi alokasinya ternyata turun. Potensi penduduk miskin akan bertambah tapi malah diturunkan," tandasnya.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menuturkan bahwa daya ungkit perekonomian masih melemah dan makin jauh dari apa yang diharapkan pemerintah.

Meski demikian menurutnya Indonesia masih berpeluang mencetak pertumbuhan positif dan keluar dari palung resesi pada kuartal IV mendatang. Hal ini tak terlepas dari beberapa indikator yang terlihat mulai membaik seperti Indeks manufaktur (Purchasing Managers Index/PMI) Oktober yang meningkat menjadi 47,8 atau naik dari September di level 47,2.

Indeks Harga Konsumen (IHK) Oktober juga mengalami kenaikan harga atau inflasi 0,07 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Oktober 2020. Inflasi ini lebih tinggi dari September 2020 yang justru mengalami deflasi sebesar minus 0,05 persen.

Di samping itu, kinerja investasi sepanjang Januari hingga September tahun ini juga lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Kalau pemerintah bisa munculkan confident, entah itu adanya vaksin atau paling enggak kurva (kasus covid-19) turun, konsumsi kuartal terakhir ini bisa meningkat. Ditambah lagi belanja pemerintah paling banyak di kuartal IV," tuturnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta optimistis pemulihan ekonomi akan berada di trek yang tepat dan Indonesia bisa kembali berpotensi masuk zona positif di akhir tahun. Apalagi, sektor-sektor tertentu kini telah mulai bergerak.

"Itu dapat tercermin dari indeks keyakinan konsumen dan indeks manufaktur yang kian membaik." tuturnya.

Menurutnya, ekonomi Indonesia jua telah mengalami banyak perbaikan dan kemajuan dibandingkan dengan kuartal II 2020 atau ketika awal pandemi terjadi di Indonesia.

Belanja pemerintah pada kuartal III yang tumbuh 9,76 persen telah memberi kontribusi senilai 9,69 persen terhadap output perekonomian. Sektor konsumsi rumah tangga pun ikut bergairah dari minus 5,5 persen menjadi minus 4,04 persen.

Pemerintah sendiri, lanjut Arif, telah membelanjakan APBN senilai Rp1.840,9 triliun atau 67,2 persen dari total belanja negara, angka ini naik 15,4 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 lalu.

Khusus untuk program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, belanja yang sudah tersalurkan hingga 23 September lalu mencapai Rp268,3 triliun atau 38,6 persen dari total pagu anggaran.

"Arahan Presiden Jokowi yang terus-menerus terhadap para menteri untuk mengefektifkan anggaran terbukti mampu memulihkan perekonomian," tegasnya.

(hrf/agt)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/3k1S1Qa

November 06, 2020 at 07:15AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mengukur Kemampuan RI Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.