Menanggapi hal tersebut, pengamat tata kota Nirwono Joga sepakat Jakarta merupakan kota yang terbuka bagi semua warga. Namun, ia mengingatkan pemprov bahwa keterbukaan Jakarta harus pula diikuti dengan antisipasi risiko masalah timbul.
"Ini yang menurut saya dari Pak Anies belum muncul. Artinya tidak antisipasi yang jelas dari pemprov DKI. Kalau ini dibiarkan akan menimbulkan masalah," ujar akademisi Universitas Trisakti itu Nirwono kepada CNNIndonesia.com, Jumat (31/5).
Nirwono mengatakan sebagai pengelola ibu kota, Anies harus mengantisipasi arus urbanisasi pascalebaran. Atas dasar itu, ia berharap Pemprov DKI tak memberi ruang bagi warga luar yang tidak memiliki keterampilan hingga tempat tinggal yang jelas ketika datang ke Jakarta pascalebaran.
Larangan terhadap pendatang yang tidak memiliki keterampilan atau tempat tinggal yang jelas, kata dia untuk mengantisipasi dampak negatif bagi ibu kota Republik Indonesia ini.
Beberapa dampak negatif dari pendatang yang tidak memiliki keterampilan dan tempat tinggal yang jelas di antaranya adalah kemunculan pemukiman kumuh, penyandang kesejahteraan sosial, dan kriminalitas.
"Kalau mereka tidak punya pekerjaan bahkan tempat tinggal, apalagi yang mau meraka lakukan? mau tidak mau, pasti paling mudah melakukan tindakan kriminal," ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (CNN Indonesia/Ciputri Hutabarat)
|
Terkait dengan potensi itu, Nirwono mengimbau Anies untuk meniru para gubernur pendahulunya. Sejak zaman Sutiyoso hingga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kata Nirwono, ada aturan yang jelas dan ketegasan terhadap para pendatang baru di Jakarta.
Sebab, ia mengaku belum pernah mendengar antisipasi apa yang dilakukan pemprov saat ini terhadap pendatang.
"Jadi tidak hanya sekedar operasi yustisi, tapi strategi apa yang akan dilakukan oleh pemprov DKI dalam antisipasi arus urbanisasi yang akan datang. Nah ini di sini yang perlu ketegasan dari seorang gubernur," ujar Nirwono.
Di sisi lain, ia meminta pihak terkait memaknai operasi yustisi bukan sebagai tindakan untuk mengusir atau penghalau pendatang. Ia mengatakan operasi yustisi sebagai pendataan ulang secara akurat terhadap pendatang.
"Dengan berbekal data yang akurat pemprov jadi tahu apa harus dilakukan. Contoh jika pendatang tidak ada keterampilan, misal menyalurkan ke proyek di sekitar DKI. Tanpa ada pendataan yang akurat pasti tidak ada kebijakan yang tepat sasaran," ujarnya.
Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna menyarankan pemprov DKI untuk melakukan operasi kependudukan terhadap pendatang pascalebaran. Ia menilai operasi itu untuk memberikan arahan dan panduan bagi pendatang agar memahami tata aturan kependudukan di Jakarta.
Misalnya, ia berkata pendatang dipersilakan untuk mencari nafkah di Jakarta namun tidak mengganggu ketertiban sebagaimana yang diatur dalam Perda.
"Artinya sejauh mana bina kependudukan itu dilakukan sepanjang tahun. Seperti kita pergi ke Singapura saja. Kenapa kita pergi ke Singapura jadi orang baik, tapi kalau masuk ke jakarta kita seperti tidak mau jadi orang baik," ujar Yayat kepada CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, ia menyinggung peran Rukun Tetangga (RT) hingga kecamatan untuk melakukan sosialisasi kependudukan. Selama ini, ia melihat tidak ada panduan yang jelas bagi warga dan pendatang di Jakarta dari aparat terdekat.
Selain itu, ia pun meminta pendatang tidak menambah masalah bagi ibu kota. Ia meminta pendatang bersikap baik dan siap bekerja.
"Jadi silakan datang ke Jakarta, tapi jangan menambah masalah di Jakarta. silakan jadi orang Jakarta, syaratnya ada yakni petarung, terampil, tahan banting, hingga tidak menjadi penyandang masalah sosial," ujarnya.
(jps/kid)http://bit.ly/2wu5aLd
June 01, 2019 at 04:10PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menakar Permasalahan Jakarta Setelah Operasi Yustisi Tiada"
Posting Komentar