Dilansir dari Reuters, Kamis (4/7), harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September menguat US$1,42 atau 2,3 persen menjadi US$63,82 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus sebesar US$1,09 atau 1,9 persen menjadi US$57,34 per barel.
Pada Selasa (2/7) kemarin, kedua harga acuan merosot lebih dari 4 persen karena kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global.
Indeks pasar saham utama AS mencetak rekor pada penutupan perdagangan kemarin. Penguatan terjadi seiring ekspektasi Bank Sentral AS The Federal AS akan cenderung mengambil kebijakan menurunkan suku bunga seiring dirilisnya data yang menambah bukti terjadi perlambatan ekonomi.
Selain itu, penguatan juga terjadi karena Baker Hughes mencatat perusahaan energi AS memangkas 5 rig pengeboran menjadi 788 rig pada pekan yang berakhir 3 Juli 2019.
Sebagai catatan, jumlah rig menjadi indikator produksi di masa depan. Produksi minyak AS yang melesat telah menekan harga minyak sepanjang tahun lalu.
Kenaikan harga minyak tertahan setelah Badan Administrasi Informasi Energi AS merilis data penurunan stok minyak mentah AS sebesar 1 juta barel pada pekan lalu. Realiasi itu jauh di bawah ekspektasi sejumlah analis yang memperkirakan penurunan mencapai 3 juta barel.
"Pasar kecewa oleh penurunan persediaan minyak mentah yang sangat sedikit. Satu-satunya sinyal kekuatan di pasar adalah terus menurunnya persediaan bensin secara wajar," ujar Kepala Lipow Oil Associates Andrew Lipow di Houston, AS.
Harga berjangka bensin AS mengerek sektor energi dengan kenaikan sebesar 2,5 persen menjadi US$1,9167 per galon.
"Pasar mengalami penurunan yang sangat tajam kemarin. Karenanya, sedikit kenaikan sudah diperkirakan. Secara global, pasar masih mengkhawatirkan potensi pertumbuhan permintaan minyak," imbuh Analis Petromatrix Olivier Jakob.
Sebelumnya, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi hingga Maret 2020.
[Gambas:Video CNN]
"Perpanjangan pemangkasan selama enam atau sembilan bulan tidak terlalu berarti jika levelnya masih sama," jelas Jakob.
Menurut dia, jika ingin menyasar tingkat persediaan, produksi Arab Saudi perlu dikurangi lebih banyak. Namun, Arab Saudi telah memangkas produksinya melampaui target pemangkasannya.
Dalam catatan Citi, kesepakatan kelompok OPEC+ itu akan mengurangi persediaan pada paruh kedua tahun ini dan mengerek harga. "Pemangkasan tetap dilakukan hingga akhir kuartal I 2020 untuk menghindari aliran minyak ke pasar selama periode permintaan musiman dan operasional kilang yang rendah," kata Citi.
Kendati demikian, sinyal perlambatan ekonomi global yang akan menghantam permintaan masih mengkhawatirkan investor. Indikatornya, manufaktur global yang mengecewakan, serta ancaman AS untuk mengenakan tarif impor lebih banyak untuk produk Eropa.
Sinyal perlambatan ekonomi juga terlihat dari defisit perdagangan AS pada Mei lalu yang melonjak ke level terlebar selama lima bulan terakhir. Data ADP dalam Laporan Ketenagakerjaan Nasional AS juga menunjukkan upah pekerja swasta naik jauh lebih kecil dari ekspektasi sejumlah ekonom.
Selanjutnya, Barclays memperkirakan laju permintaan minyak akan tumbuh paling lambat sejak 2011. Morgan Stanley juga menurunkan proyeksi harga Brent jangka panjang menjadi US$60 per barel dari sebelumnya US$65 per barel, dan menyatakan pasar minyak secara umum seimbang.
Harga minyak juga mendapatkan tekanan dari sinyal pulihnya ekspor minyak Venezuela pada Juni lalu serta pertumbuhan produksi minyak di Argentina pada Mei 2019.
(sfr/bir)
https://ift.tt/2RSxW2j
July 04, 2019 at 02:53PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sentimen Positif di Bursa Saham AS, Harga Minyak Menguat"
Posting Komentar