Namun saat tiba di Jakarta, ia bingung mendapati rumah singgahnya disatroni orang saban hari.
"Saya sendiri baru datang sudah rasa tidak nyaman, macam ragu. Baru datang jo, macam terganggu, ragu," kata remaja asli Papua itu saat ditemui CNNIndonesia.com pada pekan lalu.
Ia mengungkapkan asrama milik Pemerintah Daerah Yahukimo itu adalah salah satu yang didatangi aparat pada pekan-pekan pengujung Agustus 2019."Langsung ada polisi datang, kami tertekan. Pas nonton berita begini, dong datang, saya baru datang lagi ... Saya tertekan, kami macam terganggu, saya takut begitu. Keadaan su (sudah) begini, baru saya masuk langsung datang polisi," cerita Nico mengenang kejadian yang ia alami.
Saat itu, kata dia, sehari setelah insiden dugaan rasialisme terjadi di depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus 2019.
Buntut dari peristiwa di Jawa Timur itu, rententan aksi solidaritas antirasialisme muncul di beberapa daerah, utamanya di Papua dan Papua Barat. Beberapa di antara aksi itu berujung ricuh seperti di Jayapura, Sorong, Fakfak, Deiyai, bahkan Jakarta tepatnya di sekitar Istana Kepresidenan.
Api membakar sebuah bangunan saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, 29 Agustus 2019. (ANTARA FOTO/Indrayadi TH)
|
Ingin Pulang ke Papua
Nico menjadi saksi aksi solidaritas antirasialisme di Jakarta. Meski baru hitungan bulan menjejak ibu kota, ia tak ragu bergabung dengan massa aksi.
"Itu macam ada panggilan itu, macam ada rasa sakit hati. Kenapa kita tinggal di sini tidak diakui kalau orang Papua layak tinggal di sini. Macam sakit hati, begitu. Rasa dikhianati," ungkap Nico menjelaskan alasanya ikut berunjuk rasa.
Nico takut, karena jauh dari orangtua selain juga berada di kota baru. Tapi ia telanjur kesal melihat perlakuan yang diterima kawan-kawannya asal Papua di Malang dan Surabaya.
"Kita punya harga diri, martabat kita diledekin semacam menjatuhkan harga diri kita sebagai orang Papua. Macam tidak hidup, macam tidak bisa kuliah di sini, tidak ada rasa tenang," ungkap Nico yang juga mengaku ingin pulang ke Papua.
Bukan hanya Nico saja yang ingin kembali ke provinsi paling timur di Indonesia tersebut.
Sekretaris Aliansi Mahasiswa Papua Albert Mungguar mengatakan sudah hampir separuh penghuni berangsur pulang ke Papua. Dari total hampir 30an orang, kata dia ada sekitar 10 orang yang kembali ke Papua antara 23-28 Agustus 2019.
Albert yang sudah tujuh tahun di Jakarta pun demikian, ingin sesegera mungkin pulang setelah apa yang terjadi pada Agustus lalu.
"Ada yang beli tiket sendiri lalu pulang, ada yang tunggu koordinasi dengan Pemda baru bisa pulang karena untuk dikirim biaya. Tapi ada pula yang ingin bertahan dan berjuang," katanya.
Aksi unjuk rasa mahasiswa dan pemuda Papua di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta, 22 Agustus 2019. (CNN Indonesia/Dhio Faiz)
|
Menurut Albert insiden tahun ini menjadi puncak protes pemuda dan orang asli Papua. Pasalnya, sambung dia, perlakuan diskriminatif dinilai tersebut berulang. Dia mengingat, intimidasi dan makian rasisme serupa pernah terjadi tahun lalu.
"Dan itu mau tawaran dialog dan lain-lain tetap akan ditolak. Apalagi sekarang pendakatannya lebih militeristik, dikirimkan sudah lebih banyak," ujar Albert.
"Harapan orang Papua untuk tinggal sama-sama orang di negara ini sudah, sangat tipis. Karena rasisme mau dipadamkan langsung itu tidak bisa. Misalnya, rasisme itu api, mau kita siram air terus, tetap dia akan nyala. Karena ini rasisme, kecuali bicara lain," sambung dia lagi.
Rasa masygul terhadap tindakan rasialisme juga diungkapkan aktivis muda sekaligus seniman asal Papua, Robert Bame. Ia sepakat mengenai aksi melawan rasialisme tapi sekaligus juga kecewa ketika aksi protes berbuah perusakan fasilitas umum."Saya menghargai orang menyampaikan aspirasi, tapi kecewa ketika sampai ke perusakan dan pembakaran. Yang rugi adalah kita sebagai masyarakat. Kegiatan pembangunan jadi terhambat, aktivitas sekolah jadi terhenti," kata Robert saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (3/9).
Sekalipun menghormati kelompok muda yang menyuarakan protes melalui unjuk rasa, Rob lebih memilih untuk mengekspresikan sikapnya lewat seni.
"Kami masih berembuk untuk membuat karya untuk melawan rasisme itu. Tapi bukan menyangkut sampai ke politis, misalnya menentukan nasib sendiri," ungkap Rob yang tergabung dalam komunitas Noken Lab.
Noken Lab adalah komunitas anak-anak Papua yang fokus ke kegiatan seni dan budaya.
Rob tak menampik, kadang terbersit pikiran merasa dipinggirkan. Namun saat rasa itu muncul, Robert akan mengalihkan fokus itu ke hal lain salah satunya ke bidang seni.
"Kami anak Papua, kadang-kadang perasaan seperti merasa dipinggirkan, itu ada. Tapi untuk perasaan lebih jauh misalnya memang harus merdeka dan segala macam itu, kami lebih memilih untuk diam," katanya.
"Ini mungkin yang membikin kami sedikit berbeda dengan kawan-kawan kami lainnya--yang ketika ada sesuatu masalah langsung demo," sambung Robert.
Warga melihat di balik kaca jendela yang pecah di Jayapura, Papua, 31 Agustus 2019. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
|
"Tetapi kami juga tidak ingin berlarut -larut memikirkan itu, kalau memang pemerintah pusat berniat sungguh-sungguh memperjuangkan pembangunan untuk Indonesia Timur, ya silakan. Kalau tidak, kami akan berjuang dengan bersekolah, bekerja lebih baik. Tentu ini lebih berat," tutur dia.
Rob mengungkapkan hingga kini masih nyaman tinggal di tengah warga lain di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Di kalangan masyarakat, menurut Rob, ia telah dikenal sebagai seniman tari.
"Kalau orang bilang kami identik dengan minuman keras, coba datang ke Cikini, Kali Pasir. Kami di sana dikenal sebagai penari," tutur dia.
Senada, Boogie Y Koirewoa lebih memilih untuk menepikan diri dari gejolak Papua belakangan. Ia tak ingin banyak terlibat aksi unjuk rasa. Pemuda yang juga tergabung dalam Noken Lab ini beralasan tak ingin menambah kondisi ricuh di Papua."Karena situasi teman-teman dan saudara di Papua sedang tegang. Jadi hal-hal seperti itu yang membuatku menahan diri, jadi ada agenda di Jakarta juga tidak ikut. Bukan nggak mau tapi sedang membatasi diri," ungkap Boogie kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi Selasa (3/9).
Boogie mengatakan keluarganya berada di sekitar titik-titik kerusuhan di Sorong dan Jayapura. Ia bahkan sempat terjebak di tengah ricuh karena kebetulan saat itu tengah pulang ke Sorong.
"Jalan-jalan ditutup, fasilitas umum dibakar. Toko-toko tutup, semua jalan kaki. Situasi Sorong saat itu memang sedang kacau. Saya lihat bagaimana emosi ibu-ibu, anak, semua aparat itu yang turun ke jalan juga dimaki-maki sama ibu-ibu," ungkap Boogie.
"Jadi kami bingung juga, mau halangi yang mana. Kita halangi yang satu, yang satu marah. Kita halangi yang lain, yang satunya marah," lanjut dia.
Sekembalinya ke Jakarta, ketika ada ajakan untuk turun aksi, ia pun memilih untuk tak bergabung lebih dulu.
Boogie tak ingin merespons kelompok tertentu yang menginginkan kemerdekaan untuk Papua. Ia dan anggota lain asal Papua di komunitas keseniannya kini mendambakan situasi yang damai.
"Kami ambil keputusan tidak masuk ke wilayah politik. Komunitas yang kami yang dibangun untuk fokus ke seni," tegasnya.
(ika/kid)https://ift.tt/2MTpAb4
September 04, 2019 at 02:21PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Risau Kelompok Muda dalam Konflik Papua"
Posting Komentar