Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan Omnibus Law memberikan keringanan kepada pengusaha dengan mengurangi syarat lingkungan hidup, mempermudah perpanjangan izin usaha, dan penghapusan pidana bagi korporasi pelanggar hak.
Isnur menyebut aturan itu memperparah ketimpangan penegakan hukum, khususnya terkait konflik lahan antara masyarakat dengan korporasi.
"Selain berimplikasi pada penegakan hukum yang sangat lemah bagi perusahaan pelanggar hak dan perusak lingkungan, hal ini juga menunjukkan bagaimana penegakan hukum di Indonesia sungguh timpang," kata Isnur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/1).
YLBHI mencatat sepanjang 2019 ada 94 orang peladang tradisional, 74 orang petani, dan 25 orang buruh dikriminalisasi soal konflik lahan. Sementara perusahaan-perusahaan besar bebas melakukan pembalakan dan pembakaran hutan.
Selain itu, Isnur menyoroti penambahan kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola izin pertambangan. Aturan itu bertolak belakang dengan konsep otonomi daerah yang dibangun saat reformasi.
"Rencana pemerintah untuk mengalihkan semua kewenangan perizinan kepada Presiden tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah sebagai produk reformasi. Salah satu contohnya Omnibus Law menghapus kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batu bara," kata Isnur.
Isnur menyampaikan wewenang pemerintah dalam urusan tambang hanya delegatif, sehingga pemerintah pusat punya kuasa untuk mengambil alih pengurusan izin tambang sewaktu-waktu.
Pada periode kedua, Jokowi mengusung konsep Omnibus Law dengan dalih merampingkan berbagai macam aturan di Indonesia guna menarik investasi. Setidaknya ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.
![]() |
Sementara Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menguntungkan segelintir pengusaha batu bara.
Merah mengatakan Omnibus Law bakal mempermudah perusahaan tambang batu bara yang izinnya akan habis dalam waktu dekat.
"Di balik mereka (perusahaan tambang yang akan habis masa izinnya) ini nama-nama oligarki politik batu bara," kata Merah kepada CNNIndonesia.com.
Merah menyebutkan sejumlah perusahaan yang diuntungkan Omnibus Law.
Perusahaan-perusahaan itu diuntungkan karena Omnibus Law bakal mengubah Pasal 35 dan 36 UU Minerba. Aturan itu akan mengubah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) menjadi Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK).
"Kenapa? Karena mereka mendapat perpanjangan kontrak otomatis. Kedua, mereka tidak perlu mengikuti lelang, tidak dikembalikan negara wilayahnya. Padahal kalau kontrak habis kan harusnyanya dikembalikan ke Negara," ucap dia.
Para perusahaan tambang juga diuntungkan dengan penghapusan aturan maksimal wilayah operasi produksi maksimal 15 ribu hektare. Omnibus Law membebaskan luas wilayah pertambangan.
Merah juga bilang Omnibus Law tak lagi membatasi waktu kontrak. Sebab perusahaan tambang mendapat 30 tahun pada kontrak pertama lalu perpanjangan kontrak 10 tahun hingga usia tambang habis.
"Ini bahaya, akan menyebabkan terjadinya pengusiran terhadap masyarakat yang berada di wilayah terdekat tambang. Pasti digusur dan terusir, karena tidak ada batasan wilayah. Dia bisa terus menerus sampai tambang kering, disedot habis," tuturnya.
Sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani meminta publik tidak terpengaruh dengan draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) yang abal-abal.
Menurut Puan belum ada draf Omnibus Law RUU Cilaka yang disampaikan pemerintah ke DPR secara resmi hingga saat ini.
Dia mengaku tidak tahu tentang asal usul draf Omnibus Law RUU Cilaka yang beredar di masyarakat saat ini. Ketua DPP PDIP itu pun mengungkap kekhawatiran draf Omnibus Law RUU Cilaka yang beredar itu menimbulkan salah persepsi di tengah masyarakat
[Gambas:Video CNN] (dhf/pmg)
https://ift.tt/38wW81k
January 22, 2020 at 02:22PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "YLBHI Nilai Omnibus Law Perparah Ketimpangan Hukum"
Posting Komentar