
Pemerintah berencana menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) mulai 1 Januari 2021. Tujuannya, agar energi yang digunakan lebih ramah lingkungan dan lebih minim polusi.
"Per 1 Januari 2021, premium di Jamali khususnya itu akan dihilangkan kemudian menyusul kota-kota lainnya di Indonesia," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah, beberapa waktu lalu.
Rencana ini muncul sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buangan Kendaraan Bermotor Baru untuk Kategori M, N dan O. Beleid itu menginginkan penurunan kadar maksimal sulfur di bensin dan solar dari 500 ppm menjadi 50 ppm.
Sayangnya, tujuan dari aturan itu belum terimplementasikan karena masyarakat masih cenderung membeli BBM dengan RON rendah, yakni Premium (RON 88) dan Pertalite (RON 90). Totalnya, masing-masing menguasai 55 persen dan 33 persen dari total penjualan BBM di dalam negeri.
Untuk itu, menurutnya, dari hasil diskusi dengan PT Pertamina (Persero), rencananya penghapusan BBM berkadar RON rendah akan mulai dilakukan pada tahun depan. Caranya dengan menghapus Premium di Jamali lebih dulu.
"Ini merupakan tantangan yang harus kita hadapi bersama," tuturnya.
Kendati bertujuan baik, Ekonom CORE Indonesia Hendri Saparini mewanti-wanti pemerintah agar melakukan kajian mendalam dulu sebelum melaksanakan kebijakan itu. Khususnya, terhadap dampak penghapusan Premium pada daya beli masyarakat dan daya saing dunia usaha kecil.
"Karena yang sekarang harus sangat dijaga adalah daya beli masyarakat dan daya saing usaha, khususnya UMKM. Apakah studinya sudah benar-benar sampai ke sana?" ungkap Hendri kepada CNNIndonesia.com.
Pasalnya, kata Hendri, kendaraan yang 'minum' Premium sejatinya bukan cuma sepeda motor dan angkutan umum saja, yang menjadi andalan bagi masyarakat kecil untuk akses transportasi mereka. Premium juga masih dikonsumsi oleh truk barang dan logistik untuk mengangkut produk usaha.
Artinya, ketika Premium hilang dan diganti BBM lain yang lebih tinggi harganya, maka ada kenaikan ongkos transportasi yang harus ditanggung oleh konsumen dan dunia usaha. Perubahan ongkos, akan memberikan efek domino pada perubahan harga kebutuhan masyarakat yang pastinya akan lebih mahal.
"Tapi saya belum lakukan analisa lebih detail, misal apakah dengan tidak boleh RON rendah, maka dampak lebih lanjutnya adalah suplai pasar global akan berkurang. Ini tentu harus dilihat lagi," ujarnya.
Hanya saja, dari bayang-bayang dampak yang ditimbulkan, yaitu penurunan daya beli dan daya saing, hal ini memang tengah menjadi tantangan bagi Indonesia. Apalagi, negara ini tengah dilanda pandemi virus corona atau covid-19, sehingga semakin menambah tantangan.
Virus tengah menekan daya beli konsumen di dalam negeri. Tekanan tercermin dari inflasi secara tahun kalender sebesar 0,95 persen dan inflasi tahunan 1,44 persen.
Bahkan karena tekanan itu, Indonesia sempat mengalami deflasi dalam tiga bulan berturut-turut pada Juli, Agustus, dan September atau kuartal III lalu, meski kini sudah mulai naik secara perlahan. Menurut Hendri, penghapusan Premium dan potensi kenaikan harga akibat ongkos logistik yang meningkat, berpotensi menurunkan lagi permintaan (demand) dan daya beli masyarakat.
"Meski tidak membuat inflasi langsung naik karena sekarang justru lagi rendah karena daya beli lagi turun. Tapi inflasi ini kan karena demand berkurang, jadi inflasi ini bukan hal yang positif, ini yang perlu diperhatikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, ketika daya beli masyarakat berkurang, maka bayang-bayang lanjutannya bisa menuju ke tingkat kemiskinan dan juga pertumbuhan ekonomi. Maklum, konsumsi rumah tangga masih memegang peranan penting di struktur ekonomi nasional.
Namun, belum ada kajian mendalam mengenai dampaknya ke dua hal itu. Masalah lain yang juga jadi perhatiannya adalah penurunan daya saing dunia usaha di Indonesia.
Menurutnya, pemerintah justru harus memberikan banyak kebijakan yang mampu mendukung peningkatan daya saing produk nasional.
"Kalau masyarakat tidak dibantu dari sisi daya beli, maka efeknya daya saing juga ikut tergerus. Karena market akan selalu dikuasai oleh yang lebih kompetitif, dan kebijakan ini bisa berpengaruh ke situ," katanya.
Maka dari itu, Hendri menilai pemerintah harus memberikan publikasi atas kajian mendalam dari tujuan hingga dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan penghapusan Premium ke masyarakat. Begitu juga dengan mitigasinya nanti.
"Apakah ini karena alasan lingkungan dan teknis, atau karena ada tanggung jawab subsidi dari pemerintah ke Pertamina, apa alasannya?" tuturnya.
Sebaliknya, Ekonom INDEF Didik J. Rachbini justru melihat dari sisi lain. Menurutnya, penghapusan Premium memang akan menimbulkan dampak ekonomi ke berbagai hal. Namun, hal ini bukan satu-satunya alasan untuk tidak mencoba kebijakan itu.
Sebab, menurutnya, ada tujuan yang tetap harus dikejar dalam latar belakang kebijakan ini, yaitu penggunaan energi yang lebih bersih demi keberlanjutan lingkungan. Maka dari itu, sudah semestinya penggunaan BBM yang tak ramah lingkungan mulai dilakukan oleh pemerintah.
"Negara-negara lain sudah kurangi penggunaan BBM yang punya efek polusi kurang baik, bahkan bensin sekarang mulai digantikan oleh listrik. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, ini harus dilakukan, caranya bukan hanya agar orang pakai dari Premium ke Pertamax, tapi energi bersih," ucap Didik.
Hanya saja, Didik menggarisbawahi bahwa kebijakan ini harus dilakukan secara bertahap. Artinya, tak bisa pemerintah menghapus Premium secara serempak dan nasional dalam satu waktu.
"Tidak bisa dihapus sama sekali, tapi mungkin dimulai dulu dari penghapusan di Jakarta, Surabaya, itu bisa, tapi Indonesia bagian timur jangan dulu, jadi bertahap," katanya.
Syarat lain, kebijakan harus dilakukan dengan mengukur ketepatan waktu. Menurutnya, tak ada salahnya bila kebijakan ini mulai dilakukan pada tahun depan ketika perekonomian Indonesia diproyeksi masuk masa pemulihan usai resesi ekonomi akibat pandemi corona.
"2021-2022 mungkin bisa ketika pertumbuhan ekonomi sudah positif, di situ bisa dimulai, tapi jangan seperti sekarang ini ketika ekonomi masih minus," tekannya.
Tapi, sambung Didik, kalau kondisi ekonomi ternyata belum kondusif pada awal tahun depan, maka kebijakan ini bisa dimundurkan. Misalnya, jadi di akhir 2021.
"Intinya, lingkungan dan ekonomi harus saling menghormati, tapi orang miskin harus diakomodasi, maka lakukan secara bertahap," pungkasnya.
(agt)https://ift.tt/3pAY16s
November 17, 2020 at 07:10AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tekanan Daya Beli Mengintai dari Wacana Setop Jual Premium"
Posting Komentar